Chereads / DUA RAGA SATU CINTA / Chapter 3 - PART 3 - KU MULAI JATUH CINTA

Chapter 3 - PART 3 - KU MULAI JATUH CINTA

ALPHA MULAI RESAH

Pikiran ku masih berselimut kabut hitam. Menjawab teka – teki ini seolah seperti mencari jarum dalam jerami. Apakah aku hidup dalam sebuah negeri dongeng, hingga ilusi ini begitu nyata. Aku mencoba membiasakan pikiran itu. Melawannya. Membuyarkannya. Aku berharap bahwa ini hanyalah mimpi di siang bolong. Tapi, ternyata aku salah. Mimpi ini begitu nyata.

Apa yang harus aku lakukan dengan kondisi ku saat ini. Melewatinya dengan senyuman atau terhempit oleh tanda tanya yang tak berkesudahan. Aku bingung. Aku mencoba menatap langit biru berselimut awan. Seraya berharap mendapatkan secercah harapan. Harapan yang seolah membawa ku pada sebuah jawaban tentang ini semua.

Jika memang jawaban itu adalah sebuah teka – teki yang mesti aku tebak sendiri, jelaskan pada ku bagaimana caranya. Jelaskan pada ku bagaimana caranya agar aku bisa menjalani kehidupan ini dengan dua raga yang berbeda.

Aku ingin sekali mengulang waktu dan berharap ini tidak terjadi. Andai, hanya kata itu yang bisa aku ucapakan. Tapi, rasanya itu mustahil. Aku kini tidak boleh meratapi apa yang telah terjadi. Bukankah ini semua adalah keinginan ku. Lalu, mengapa seolah aku mengacuhkannya. Apakah aku begitu denial.

…..

Sang mentari telah pamit. Bintang – bintang sudah menampakan dirinya. Raga ku pun sudah tak sama. Aku bukan lagi Alpha, melainkan Vani.

Malam itu untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Jaff dengan raga sebagai Vani. Ia telah menunggu ku di sebuah cafe bernuansa klasik. Interior dari cafe ini pun nampak sedikit jadul, tapi meski begitu para pengujung yang datang kesini rata – rata adalah kaum milenial. Cafe ini memang klasik, tapi suasananya seakan membawa pengunjung ke tahun 90'an. Mungkin itulah yang menjadi keunggulan cafe ini di kalangan kuam milenial.

Aku berjalan perlahan – lahan, melihat seisi ruangan itu. Mencari sosok yang paling aku benci saat diriku menjadi Alpha. Pria dengan kemeja putih disudut kanan itu melambaikan tangan. Mata ku langsung tertuju padanya. Aku pun berjalan menghampirinya. Ku lihat matanya nampak begitu bersinar. Ia begitu bahagia melihat diriku. Senyum manis yang tak pernah aku lihat di kampus, seolah kini ia tampakan.

"Kau cantik sekali malam ini Van" Pujinya.

Aku membalas dengan senyum penuh kapalsuan. Ku biarkan ia terpesona melihat ku dan larut dalam permainan ku.

Seorang pelayanan membawa pesanan kami. Jaff lalu mempersilakan ku untuk meminumnya.

"Setalah sekian lama kita hanya saling chat di Instagram, akhirnya bisa ketemu juga ya" ujarnya.

Aku menyilangkan kaki ku. Rok pendek yang aku kenakan pun tidak bisa menutupi seluruh paha ku. Aku menggodanya dengan bahasa tubuh. Aku ingin tahu apakah pria sepertinya akan mudah tergoda atau tidak.

"Iya, akhirnya kita ketemu juga ya".

Jaff memalingkan wajahnya. Ia menatap ke jendela. Seolah ia sedang menghindari sesuatu yang tak ia suka.

"Ada apa? Apakah ada yang salah dengan penampilan ku?"

"Rok mu. Bukankah itu terlalu pendek?" Tanyanya. Jaff menggigit bibirnya. Ia seolah menahan sesuatu.

Aku meraih tangannya. Rasanya begitu dingin. Mengapa pria yang tak berperasaan ini seakan tersipu malu melihat ku.

"Maaf ya, kalau kau jadi kurang berkenan" kata ku dengan memohon.

Aku lalu terdiam. Sembari mengaduk – ngaduk minuman ku.

"Hay, aku tidak bermaksud" ujarnya dengan memohon.

Aku mengacuhkannya. Tapi Jaff terus mencoba merayu ku. Hati yang kaku ini pun akhirnya luluh.

…..

Jaff memberhentikan mobilnya di tepi jalan, kurang lebih sekitar 500 meter dari jarak rumah ku. Di dalam mobilnya ia kembali menatap ku. Meraih tangan ku. Jarak diantara kami pun seakan tak ada lagi. Kedua bibir kami pun hampir bersentuhan. Tapi aku mencoba menghalaunya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku rasa, ini bukan saatnya" ujar ku dengan sedikit rasa ketakutan.

Apa jadinya jika aku berciuman dengan Jaff. Astaga, membayangkannya saja rasanya ingin muntah, apalagi sampai itu terjadi.

KESOKAN HARINYA DI KAMPUS

Aku berlari sekencang mungkin, menerobos kempungan manusia yang ada dihadapan ku.

"Ahh". Aku memegang kepala ku. Sepertinya membentur sesuatu. Keras, tapi bukan seperti tembok. Aku membuka mata ku perlahan – lahan. Jaff berdiri dihadapan ku dengan wajah yang penuh kesombongan.

"Kau lagi?. Ia mendekati ku. "Ini kampus bukan tempat lari" bisiknya.

Aku mengepalkan tangan ku.

"Kenapa? Kau ingin memukul ku? Silakan." Katanya sembari mendekatkan wajahnya.

Jaff si manusia paling menyebalkan di dunia ini memang amat berbeda jika aku sedang berada dalam raga ku sendiri. Ia pria yang begitu menyebalkan, bahkan lebih menyebalkan dari plankton yang selalu ingin mencuri resep kraby patty.

Lihat saja kau Jaff, di raga ku yang ini kau memang menang, tapi tidak di raga Vani. Tadinya aku berfikir bahwa dengan memiliki dua raga yang berbeda, aku menjadi bimbang dan seolah ragu untuk melangkah. Tapi, kini aku tahu bahwa itu semua salah. Keraguan itu telah menjadi sebuah jawaban atau lebih tepatnya balas dendam.

Dengan raga sebagai Alpha aku memang akan selalu kalah dengan Jaff, bahkan mustahil menang. Tapi dengan raga Vani, kau adalah tawanan. Tak akan ku biarkan dirimu menang. Kau harus masuk ke dalam permainan ku. Kita lihat saja nanti, kau akan berlutut dihadapan ku.

.....

Segelas teh dingin menemaniku yang sedang asyik membaca buku dibawah pohon rindang. Untung saja kampus ku memiliki tempat yang asyik untuk menyendiri. Lagi pula bosan jugakan membaca di perpustakan. Sekali – kali, bolehlah di bawah pohon.

"Ini" ujarnya sembari memberikan ku segelas jus manga.

Aku menatapnya dengan sinis. "Apa maksudnya?"

"Ayo, ambilah. Anggap saja ini sebagai permohonan maaf ku soal kejadian tadi". Ia menaruh segelas jus mangga itu tempat disamping ku. Lalu pergi begitu saja.

Ada apa dengan Jaff, mengapa ia seakan berubah menjadi malaikat. Pikiran ku mencoba mencari tahu. Ah, atau jangan – jangan minuman ini ia kasih racun tikus. Astaga, apakah dia ingin membunuh ku. Wait, wait, mengapa aku jadi terlalu dramatis.

Aku mencicipi jus mangga itu. Rasanya tidak ada yang berbeda, persis seperti jus mangga pada umumnya. Tapi, mengapa. Ah, sudahlah. Lagi pula untuk apa memikirkannya, nanti kesombongannya akan muncul lagi.

…..

Aku berlari mengejar waktu. Apa, mengejar waktu? Bukankah waktu adalah sesuatu hal yang tidak dapat dikejar. Waktu ku hampir habis. Sesekali aku melihat melihat Mentari yang mulai terbenam. Tidak, ayolah. Jangan sampai aku sudah berubah wujud tapi belum sampai dirumah. Bisa gawat ini.

Perlahan – lahan Mentari mulai terbenam. Tubuh ku mulai bereaksi. Nafas ku terengah – engah tapat di depan pintu rumah. Tanpa memberi salam aku bergegas masuk kedalam kamar.

Hampir saja. Aku menghelas nafas.

….

Memiliki dua raga yang berbeda memang terkadang menyenangkan, tapi disatu sisi itu justru menyulitkan. Aku harus berpacu dengan waktu. Melampauinya dan menembus segala yang ada.

...

Sore itu pengunjung mall nampak begitu ramai, maklum saja mungkin karena akhir pekan. Aku dan Rin menyempatkan menonton film yang baru saja tayang beberapa hari lalu. Film yang menceritakan sebuah nuansa romantika masa – masa remaja menjadi pilihan kami berdua.

…..

Sesaat film sedang diputar tiba – tiba saja ada sebuah pesan masuk. Dari nada deringnya itu seperti Direct Massage Instagram. Pesan masuk itu ternyata dari Jaff, ia mengajak ku ketemu malam ini. Namun, aku tak membalas pesannya tersebut.

Waktu hampir menunjukan pukul 6 sore, sang Mentari mulai meredupkan cahayanya. Aku mulai gelisah.

"Hay kau kenapa?" . Rin menyentuh tangan ku "Kau sedang sakit, tangan mu dingin sekali".

"Rin, aku segera pulang"

"Pulang? Tapi inikan belum malam. Kenapa mesti buru – buru?"

Tangan ku semakin mengigil. Rasanya aku ingin berlari tanpa pamit dengannya.

"Hay"

Aku melepaskan tanggannya. Berlari sekencang mungkin.

"Alpha!!!!" teriak rin.

Aku mengacuhkannya.

Maaf Rin, tapi jika aku terus disana sampai sang Mentari terbenam kau pasti terkejut melihat ku.

Aku terus berlari menerjang segala kerumunan manusia. Aku tak peduli apapun yang aku lalui. Yang aku pikirkan adalah bisa segera lari dari tempat ini, dan mencari tempat tersembuyi.

….

Aku berlindung dibawah sebuah pohon besar yang jauh dari kerumunan manusia, sembari menanti sang Mentari terbenam.

…..

Rasanya lelah sekali jika harus memiliki dua raga seperti ini. Aku seperti bertarung dengan waktu. Saat Mentari terbenam aku selalu mencari tempat aman, agar orang lain tidak tahu siapa aku sesungguhnya. Aku ingin segera ini berlalu. Aku harus membuat Jaff jatuh cinta pada ku. Agar aku bisa membayar semua kepedihan yang telah dirasakan oleh Adik ku.

….

Sebuah mobil berwarna merah menyorotkan lampunya ke arah ku yang sedang berjalan. Aku menghalau dengan kedua tangan ku. Lalu seseorang pria berdiri dihadapan ku. Ia lalu memegang tangan ku dengan penuh kehangatan. Tubuhnya yang gagah perkasa seolah menghalau sorot lampu mobil tersebut.

"Van, sedang disini?"

"A, aku, baru dari rumah teman" Jawab ku dengan sedikit terbata – bata.

….

Langit malam bertabur bintang seolah menemani perjalanan ku dengan Jaff pada malam itu. Sesekali ia melirik kepada ku. Entah mengapa aku melihat Jaff pada saat ini sangat berbeda dengan ia saat di kampus. Wajahnya saat bersama ku seolah begitu menampakan kebahagiaan. Apakah aku sudah berhasil mencuri hatinya ataukah ini hanya perasaan ku semata.

Beberapa ratus meter sebelum persimpangan jalan Jaff tiba – tiba saja memberhentikan laju kendaraannya.

Aku menoleh dengan penuh rasa curiga. "Mengapa kau berhenti?".

"Kau lupa ya, ini kan sudah dekat rumah mu. Kau kau bilang tidak mau aku antar sampai depan rumah kan".

Aku tersipu malu. Wajah ku nampak merah merona. Aku melepaskan seat belt. "Terima kasih sudah mengatarkan ku".

Jaff meraih tangan ku. "Tunggu"

"Ada hal lain yang ingin kau bicarakan?"

Jaff begitu risau, ia seolah menyembuyikan sesuatu.

Tiba – tiba saja sorot matanya berubah. Begitu tajam, layaknya sebuah pedang. Ia mendekati ku. Wangi pria yang aku benci saat dikampus ini seolah membiaskan pikiran ku. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga ku.

"Boleh aku mencium mu?" bisiknya.

Aku tak mengiyakannya, tapi juga tak menolaknya. Aku menutup mata ku. Dan merasakan manisnya bibir pria yang paling ku benci itu. Malam itu semua terasa begitu manis. Kami pun saling membalas. Keganasannya seolah membuat langit tersipu malu. Bintang – bintang pun seakan meredupkan cahayanya. Kini, ku biarkan diri ini larut dalam permainan mu.

…..

Ku biarkan diri ini larut dalam permainan mu

Membiarkan mu melumat habis apa yang kau mau

...

Bersambung