Diandra selalu libur di hari Kamis. Jika hari itu tiba, Adel akan bermalas-malasan berangkat sekolah. Ia ingin libur bareng Diandra, menghabiskan waktu dengan jalan-jalan.
"Sebentar lagi kan kamu libur semesteran. Nanti tante ajak jalan-jalan, deh," janji Diandra sambil meletakkan roti bakar di piring bocah tersebut. Adel hanya bergumam malas.
"Nanti sore kita main, yuk. Mau kemana?" tawar Diandra. Adel menggigit ujung roti bakarnya dan mengunyah dengan cepat.
"Ke rumah Mbak Wina, yuk. Terus mampir ke Mbak Sandra. Dia udah berangkat belum ya?" Adel terlihat antusias. Diandra menelan ludah.
"Buat apa lagi, sih?" sungut Diandra.
"Nggak apa-apa. Ada yang ingin Adel tanyakan," sahutnya santai.
Setelah mengantar Adel, Diandra mampir ke pasar membeli beberapa kebutuhan dapur. Saat memilih ikan, ia bertemu Bu Wulan, ibunya Wina.
"Eh, Bu Wulan. Gimana kondisi Wina?" sapanya.
"Alhamdulillah sudah bisa ngobrol seperti biasa. Lukanya juga sudah mulai sembuh, tapi dia masih trauma dengan benda-benda tajam terutama gunting," keluh Bu Wulan lirih.
"Ah, maaf. Apa sudah lapor polisi?"
"Sudah, tapi tidak ada saksi di tempat kejadian. CCTV komplek juga belum menjangkau tempat kejadian, ditambah kondisi Wina yang syok, susah dimintain keterangan."
Diandra mengangguk. Ia ingat, Wina ditemukan di parit di antara jajaran pohon pisang. Meski di dalam komplek, namun daerah tersebut belum terjangkau CCTV.
"Oh ya, Bu. Kalau boleh nanti saya dan Adel mau main, kira-kira Wina bisa ditemui nggak?"
Bu Wulan berpikir sejenak. Sejak kejadian itu, Wina selalu mengurung diri di rumah. Ia pun terpaksa berhenti sampai tahun ajaran baru, untung kepala sekolah SMA itu masih ada ikatan saudara dengan ayahnya.
"Coba saja, Mbak. Saya juga khawatir dengan kondisinya yang masih trauma. Tapi siapa tau Mbak bisa menghiburnya," sahut Bu Wulan. Diandra tampak lega.
Wanita itu segera membayar dua buah ikan mas dan berpamitan dengan Bu Wulan yang masih sibuk memilih udang segar.
**
"Ayo, Tante!" teriak Adel sambil memakai sepatu. Di pundaknya tersampir tas hitam berisi alat tulis. Diandra yang sedang mencari kunci motornya mendecak kesal.
"Sebentar. Cariin kunci motor dulu, dong. Kok nggak ada ya?"
Adel masuk kembali dan mulai ikut mencari. Ia melihat kunci itu tergantung di tempatnya, sedang Diandra mengacak-acak laci di bawahnya.
"Itu ... bukannya dari tadi ada di situ?" tunjuk Adel heran campur kesal.
Diandra mendongak, ia meraih kunci itu dengan rasa tak percaya.
"Tadi nggak ada, makanya tante cari kemana-mana," gumamnya heran.
"Udah, ayo. Yang penting, kan udah ketemu," seru Adel tak sabar.
Diandra bergegas menyusul Adel keluar, lalu mengunci pintu. Sebelum pintu tertutup ia sempat melihat tempat gantungan kunci yang terasa aneh. Tadi ia benar-benar tidak melihat kunci itu di sana.
Udara sore terasa hangat, jalanan pun tidak terlalu ramai. Diandra memacu motornya dengan santai.
"Mau kemana dulu?" tanya Diandra sambil melirik spion. Adel tak menyahut.
"Del ...!"
Hening.
Diandra melambatkan motornya dan menoleh dengan kesal karena Adel dari tadi diam saja.
"Del ... kenapa diam sa ... haahh!" Diandra terpekik. Kenapa Adel tidak ada? Ia yakin betul, tadi anak itu sudah naik ke boncengan. Meski tanpa suara, tangannya sempat terasa menyentuh pundak.
Dengan gemetar, Diandra berputar arah, kembali ke rumah. Ia berusaha tenang dan meyakinkan diri bahwa Adel ketinggalan, tanpa sengaja.
Tiba di rumah, ia mendapati anak itu duduk di depan gerbang dengan wajah masam. Mulutnya mengerucut, mirip kuda laut.
"Del, kenapa bisa di sini? Bukankah tadi udah naik ...." Diandra bertanya dengan bingung.
"Tadi, Adel kan, lagi benerin tali sepatu. Eh ... tante udah kabur aja," sungutnya.
"Ta ... tapi, beneran tadi tante merasa kamu udah naik, kok. Tante tanya diem aja, pas sampai perempatan sana, kamu nggak ada," sanggah Diandra.
"Ya, nggak ada. Orang aku belum naik." Adel menghentakkan kakinya sebelum naik ke boncengan.
Benar. Tadi Adel naik seperti ini, menyentuh pundaknya, lalu Diandra memutar gas. Ah, apa ia yang kecapekan hingga berhalusinasi?
**
Diandra menghentikan motornya di depan rumah bercat hijau. Sebelumnya mereka pernah ke sini, rumah masih tampak sama. Sepi seperti tak ada penghuni. Bahkan halaman rumahnya mulai ditumbuhi rumput liar dan daun-daun kering berserakan. Apa Sandra sudah berangkat ke Jakarta?
"Assalamu'alaikum ...." Adel mendekat ke pintu pagar yang roboh karena berkarat.
"Kayaknya nggak ada orang, Del," sela Diandra sambil mematikan mesin motornya.
"Ah iya, Tante, kan ada nomor teleponnya. Coba hubungi," pinta Adel.
Diandra mengecek ponselnya, mencari nomor Sandra yang telah ia simpan. Adel pun sebenarnya sudah menyimpan nomor tersebut, tapi ponselnya tertinggal.
"Nggak aktif," gumam Diandra.
Adel celingak celinguk, memandang jendela kamar Sandra. Tertutup rapat dan sepertinya cukup lama tidak di buka. Banyak sarang laba-laba menghiasi sisi luar daunnya.
"Ya sudah, kita ke rumah Wina aja, yuk. Tapi beli brownies dulu di toko bakery dekat alun-alun itu. Lumayan enak," ujar Diandra menarik tangan Adel.
Baru beberapa meter meluncur, tiba-tiba mesin motor mati, tepat di tikungan. Jalanan daerah rumah Sandra hanya jalan kecil yang jarang di lewati pemotor. Jadi tidak ada siapa pun di sana.
"Duh, kenapa?" Adel turun karena Diandra kesulitan menyalakan motornya kembali.
"Nggak tau, nih. Bensin masih ada. Mungkin kurang panas mesinnya," cetus Diandra.
Adel duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan Diandra yang berusaha mengotak atik selang bensin. Samar ia mendengar suara motor dari arah belakang, namun berhenti tak jauh dari mereka.
"Siapa, Del? Coba minta bantuan, gih ...," perintah Diandra.
Tanpa di suruh dua kali Adel bangkit. Pemotor itu tidak terlihat karena terhalang tikungan.
"Eh, berhenti di depan rumah Mbak Sandra!" seru Adel sambil berbalik arah.
"Hah, siapa? Sandra?"
"Sepertinya bukan, lihat sendiri, deh," tunjuk Adel.
Diandra segera menstandarkan motornya dan melihat ke arah Adel menunjuk. Rumah Sandra masih terlihat karena terletak paling ujung tempat mereka berdiri. Seseorang celingak celinguk mencurigakan. Tanpa melepas helm, melangkahi pagar yang ambruk dan menuju samping rumah itu.
"Eh ... kayak kenal motor sama helm itu. Sekar ...," ucap Diandra ragu.
"Sekar, teman kerja Tante?"
Diandra mengangguk. Mereka memperhatikan Sekara yang menghilang di balik tembok samping rumah. Apa yang ia lakukan?
Sampai beberapa menit mereka hanya mematung, hingga seorang pengendara motor lewat dan mengklakson karena motor Diandra menghalangi jalan.
"Maaf, Mas. Anu ... itu motor saya mogok. Bengkel terdekat di mana, ya?" Diandra meminggirkan motornya ke sisi sebelah kiri.
"Wah, jauh Mbak. Itu, putar balik terus lurus terus sampai ada pertigaan yang menuju pasar. Ada pos ronda, sebelahnya bengkel. Kalau di dorong, lumayan capek."
Diandra memandang Adel. Bocah itu cemberut seperti tadi saat tertinggal di rumah.
"Coba saya lihat dulu. Kebetulan saya sekolah jurusan mesin," tawar pemuda itu yang lalu mematikan mesin motornya.
Diandra mempersilakan.
"Mbak yakin, ini mogok? Nggak ada masalah tuh," ucap pemuda itu beberapa saat lalu memutar kunci dan menekan tombol starter. Menyala.
Diandra menatap Adel, meminta keyakinannya bahwa tadi memang benar-benar mogok. Bocah itu mengangguk, meyakinkan pemuda belasan tahun tersebut.
"Ya sudah, nih udah nyala. Hati-hati kalau lewat tikungan sini harus klakson," ujarnya sebelum meninggalkan mereka yang terbengong.
"Kenapa?" Adel masih sempat bertanya.
"Harus tahu banget, ya?" ketus pemuda berambut ala punk tersebut. "Ada yang jaga. Apalagi sejak anak SD di rumah itu bunuh diri," tunjuknya ke arah rumah Sandra. Mereka mengikuti arah tunjuk pemuda itu dan terkejut. Motor yang tadi berhenti di depan rumah tersebut sudah tidak ada.
Diandra segera menarik tangan Adel dan melajukan motornya, meninggalkan jalanan sepi yang membuatnya tidak nyaman.
Sepanjang jalan mereka terdiam, hingga tiba di alun-alun Adel mengingatkan mampir toko kue.
"Del, kamu nggak lihat apa-apa di sana?" senggol Diandra saat mereka di parkiran.
"Lihat apa? Hantu gitu? Kan Adel udah bilang, bukan indigo yang bisa lihat sembarang makhluk halus," sungutnya.
"Tapi kamu bisa lihat hantu anak kecil itu?" sangsi Diandra.
"Entah, ya ...." Adel mangangkat bahu.
Mereka membeli satu kotak brownies untuk di bawa ke rumah Wina dan setengah lusin donat untuk Adel. Bocah yang sepanjang jalan tadi merengut kini kembali ceria.
Di rumah Wina.
Bu Wulan sedang menyapu teras saat mereka datang. Dengan ramah, wanita itu mempersilakan masuk dan ke belakang memanggil Wina.
"Wina, ada Mbak Diandra sama Adel, tuh. Ayo keluar dulu," ajak Bu Wulan. Wina meletakkan ponselnya dan keluar dengan malas.
"Hai, Win. Maaf ya, kalau kami mengganggu. Apa kabar? Sudah lama nggak kelihatan makanya kami mampir," ujar Diandra menyerahkan kotak brownies ke tangan gadis bertubuh jangkung itu.
Wina hanya mengangguk dan menatap Adel dengan segan.
"Kami baru dari rumah Mbak Sandra, tapi sepertinya dia sudah berangkat ke Jakarta," celetuk Adel. Wina mengangkat alis, terlihat begitu terkejut.
"Buat apa ke sana?" tanyanya curiga.
"Eh, nggak ada apa-apa, kok. Kebetulan aku kenal keluarganya dan Sandra bilang waktu itu mau pindah ke Jakarta. Makanya mampir," kilah Diandra. Ia menyenggol lengan Adel, kesal.
"Sandra, kan nggak punya keluarga?" cetus Wina makin curiga. Diandra salah tingkah.
"Oh ya? Eh, itu pokoknya kami kenal dengan Sandra. Apalagi dia sering belanja ke toko tempatku bekerja," senyum Diandra menutupi kebohongannya tadi. Wina hanya menatap mereka dengan dingin.
"Jangan dekat-dekat Sandra," ucapnya lirih saat mereka akan pamitan.
"Eh ...?"
"Kalian nggak tau, dia anak aneh. Apalagi semenjak adiknya meninggal bunuh diri," gumam Wina lalu menutup pintu, membiarkan Diandra dan Adel terpaku, memandang bayangan masing-masing lewat kaca hitam pintu tersebut.
"Wina! Kamu usir mereka?" Terdengar suara Bu Wulan dari arah dapur. Wina tak menjawab, hanya suara pintu lain dibanting, lalu hening.
Diandra menarik tangan Adel. Mereka meninggalkan rumah Wina dengan serentet pertanyaan dalam benak masing-masing.
**
Malam itu, Adel sudah membulatkan tekad. Mengungkap siapa hantu anak kecil tersebut dan siapa 'Kakak' yang ia maksud.
Dengan ditemani Diandra, ia menggenggam kertas berisi tulisan jawa, pemberian Sandra. Ia yakin kertas itu media pemanggil si hantu.
Dengan dada berdebar, ia memejamkan mata. Mencoba melafalkan kalimat demi kalimat yang berhasil ia terjemahkan. Tak lupa kata terakhir, 'Titi Wanci' ia rapalkan dalam hati berulang-ulang.
Sudah lima menit ia mencoba, namun hantu yang kini ia harapkan kehadirannya malah tidak muncul. Dengan jengkel ia meremas kertas tersebut.
"Gimana, Del?"
"Entahlah. Kemana hantu jelek itu, ya? Padahal waktu itu setiap kali Adel memikirkan tulisan ini, ia akan muncul."
Diandra memeriksa tulisan denga coretan pensil hasil terjemahan Adel. Membacanya berulang-ulang.
'Ja ngan di (h)am sa ja. (H)a ku (h)a kan me nun tas kan sa kit ha ti mu. Ti ti wan ci'
"Hmm. Apa mungkin, hantu itu adiknya Sandra yang bunuh diri?"
Adel terperanjat. Benar juga. Dan yang dimaksud 'Kakak', adalah Sandra? Tapi kenapa ia minta tolong? Kenapa dengan Sandra? Apa ia berada di bawah tekanan seseorang?
Seseorang. Jangan-jangan si perobek mulut itu telah menemui Sandra dan menyuruh gadis itu untuk bungkam akan identitasnya. Itu sebabnya Sandra pindah ke Jakarta.
Diandra menyuruh Adel untuk tidur. Mereka kini tidur sekamar, gara-gara kejadian waktu itu. Padahal Adel sudah tidak apa-apa, tapi Diandra yang trauma dan juga ... takut
Adel menarik selimut, mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Tante, yang waktu itu di pos ronda, korban setelah Mbak Wina, siapa namanya?"
"Sarah. Kenapa?"
"Tahu rumahnya?"
"Nggak. Kalau mau tahu, coba tanya sama satpam waktu itu. Mungkin tahu," jawab Diandra sambil memejamkan mata.
"Nah, sejak kejadian Mbak Sarah, hantu itu muncul dengan jelas. Mengikutiku sampai rumah," bisik Adel. Tapi Diandra tak menanggapi. Ia sudah terlelap.
***