Diandra lahir dan besar di Jakarta. Begitu pula ayahnya Adel atau kakak satu-satunya Diandra. Keluarga mereka perantauan dari Jawa Tengah sukses, membuka toko agen sembako di wilayah utara. Namun setahun setelah pernikahan Danis, kakak Diandra, ayah mereka meninggal melawan perampok yang berusaha mengambil uang dagangan. Peristiwa itu membuat hati ibu mereka terpukul, depresi, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir tepat empat puluh hari setelah kepergian sang ayah.
Untunglah Diandra sosok wanita kuat. Bersama Danis, ia kembali meneruskan usaha orang tua mereka. Setahun berjalan lancar, meski untung yang didapat tidak sebesar dulu. Banyak pelanggan menghilang, setelah tahu pemiliknya meninggal di toko tersebut karena pembunuhan. Entah kenapa, mereka percaya tempat bekas pembunuhan membuat usaha kurang bagus. Apalagi mereka membeli untuk dijual kembali.
Dua tahun kemudian, lahirlah Adelia Putri Danis. Anak itu lahir di malam Jum'at saat hujan angin melanda Jakarta. Dengan susah payah mereka melawan terpaan hujan, menembus jalanan yang tergenang banjir menuju rumah sakit. Saat mobil berhasil parkir, ibunya pecah ketuban. Tak lama kemudian ia pun lahir, tepat di pintu UGD. Untunglah perawat sigap dan bayi itu bisa diselamatkan sebelum terjatuh di lantai.
Sejak umur tiga tahun, Adel sedikit aneh. Ia sering berbicara sendiri di bawah pohon kersen depan toko. Seringnya saat tengah hari dan sore setelah ashar. Diandra yang sering memergoki, saat ditanya ia bilang sedang berbicara dengan kakek-kakek berpeci putih. Yang membuat Diandra merinding, Adel menunjuk peci almarhum ayah yang masih tergantung di kamar shalat dan mengatakan sama dengan milik kakek-kakek yang suka berteduh di bawah pohon kersen.
Umur empat tahun, Adel sudah lancar membaca bahkan ia sangat tertarik dengan buku terutama komik. Diandra pun membelikan ia serial lengkap detektif ternama. Namun yang membuatnya menyesal, Adel menjadi kutu buku yang lupa waktu. Akhirnya di hari ulang tahun yang ke lima, terpaksa Diandra memberinya kado kacamata minus.
Hari pertama Adel masuk SD, bertepatan dengan ayahnya yang berhasil membeli mobil baru. Danis dan Amel ingin memberi kejutan putrinya dengan diam-diam menjemput pulang sekolah. Sejak pagi, setahu Adel tantenya yang akan menjemput. Ia pun menunggu di gerbang sekolah sambil berbincang dengan penjual buku loak. Seorang ibu tua berkebaya putih tulang.
Pukul 12.00, satu jam sudah Adel menunggu jemputan. Tiba-tiba sebuah mobil merah berhenti, kacanya langsung terbuka. Adel tertegun menatap mereka yang ada di dalam mobil.
"Ayah, Ibu! Tante Dian mana?" serunya sambil berdiri mendekati mobil itu. Tapi ayahnya hanya menatap jalan dengan pandangan kosong. Begitu pun ibunya, hanya diam mematung. Tiba-tiba sang ayah melambai lalu melajukan mobilnya sebelum Adel sempat menarik tuas pintu. Adel berteriak memanggil mereka, tapi mobil sudah melesat.
"Nak, kamu berteriak sama siapa?" tegur ibu penjual buku keheranan. Suasana memang sedang sepi karena anak-anak yang lain sudah pulang semua.
"Itu, ayah sama ibu. Mereka naik mobil baru tapi meninggalkan Adel," isaknya. Si ibu melongo, namun segera membaca situasi sambil menatap penuh waspada.
"Kemarilah. Duduk di sini dan tunggu tantemu," bujuknya lembut. Adel kembali duduk di kursi kecil yang disediakan.
"Kamu..bisa melihat hal lain?" tanya penjual buku itu hati-hati.
"Hal lain apa?" Adel kembali memilah buku-buku komik yang digelar di atas tikar.
"Itu..misalnya yang di bawah pohon pisang itu. Apa kamu lihat?" Bu Lastri, sang penjual buku menunjuk rumpun pisang di kebun kosong seberang jalan.
Adel menatap sejenak lalu menggeleng.
"Tidak ada siapa-siapa," gumamnya. Bu Lastri mengangguk pelan.
"Kamu tahu wetonmu?"
"Weton?" Adel mengangkat bahu. Ia menemukan sebuah komik usang dari negara Jepang. Tapi setelah tahu itu komik dewasa, ditimbunlah buku itu dengan buku-buku lain.
"Iya. Hari lahirmu dalam hitungan jawa," jelas Bu Lastri.
"Nggak tau," sahut Adel. Tapi ia menyebutkan tanggal dan tahun lahirnya. Bu Lastri terlihat memicingkan mata, lalu mengangguk dengan sedikit gelisah.
"Satu suro, malam Jum'at Legi," gumamnya.
Tak berapa lama, sebuah sepeda motor matic berhenti di depan mereka. Diandra melambai kepada Adel yang langsung menyambutnya dengan riang.
"Tante tau nggak. Tadi ayah sama ibu kesini, pakai mobil warna merah. Tapi Adel ditinggal, kirain mau jemput Adel," lapornya dengan wajah masam. Diandra mengerutkan dahi, "kapan?" tanyanya.
"Hmm, tadi sekitar jam 12," sahut Adel sambil mengamati jam tangan hitam di pergelangan tangannya. Darah Diandra berdesir, ada hawa dingin menyentuh tengkuknya.
"Ya sudah, pakai helmnya yang benar. Ikut tante sebentar, yuk." Diandra mengucapkan terima kasih ke Bu Lastri sebelum menyalakan mesin motornya kembali. Bu Lastri menangkap hal buruk dalam tatapan Diandra.
Sekitar rel kereta api sudah di pasang garis kuning. Suasana masih ramai dengan orang-orang yang berkerumun, meski sudah dihalau beberapa petugas kepolisian. Bau aroma pembakaran masih menyengat, seonggok kendaraan roda empat yang teronggok masih mengepulkan asap. Diandra melirik sekilas, sebelum akhirnya mengambil jalan ke kanan, ke arah rumah sakit.
Di parkiran, Diandra tak mampu lagi menopang raganya. Kedua lutut bergetar hebat, air mata pun berhamburan. Adel ketakutan melihat tantenya ambruk dengan tangis yang entah sebab apa.
"Tante Dian..kenapa? Huhu..tante sakit ya? Ayo kita ketemu dokter," isak Adel sambil menarik lengannya. Beberapa orang mendekat karena tangis Adel semakin kencang.
"Eh..eh kalian kenapa?" tanya seorang ibu berbadan tambun. Diandra berusaha menguasai emosi, ia perlahan bangkit dan duduk di pinggiran pot bunga besar dengan bantuan seorang gadis yang masih mengenakan helm.
"Loh, Mbaknya kan keluarga korban kecelakaan tadi? Yang kesini bareng polisi," ujar seorang juru parkir. Orang-orang makin berkerumun, Diandra langsung menarik tangan Adel dan melengang pergi.
"Korban kecelakaan di perlintasan rel itu?" cerca seorang sopir yang sedang menunggu majikannya.
"Iya. Serem banget, jasadnya hancur. Suami istri pula. Dan kabarnya, itu mobil baru," ucap juru parkir itu sambil bergidik.
Sopir itu pun memandang mobil majikannya dengan tatapan entah.
**
Diandra terbangun saat azan maghrib dengan kepala berdenyut. Ia bergegas mencari saklar lampu kamarnya yang gelap. Ruangan lain sudah benderang, terutama dapur. Terdengar denting peralatan dapur dan aroma semerbak mie goreng instan yang khas. Adel sedang mengaduk mie panas dengan taburan cabe potong lima buah.
"Tante mau?" tawarnya. Diandra menggeleng dan segera masuk kamar mandi.
Ia sering khawatir saat anak itu 'bermain' di dapur. Tapi ternyata Adel bukan bocah manja yang segalanya harus disiapkan orang dewasa. Ia terbiasa mandiri sejak kepergian orang tuanya.
Selesai mandi mereka shalat bersama. Adel selalu berlama-lama saat berdoa. Tidak pernah ada air mata, namun Diandra tahu betul kerapuhan hati kecilnya.
"Tante belum makan. Mau makan diluar?" ujarnya saat melipat mukena.
"Tau aja kamu kalau habis gajian," gurau Diandra mengacak rambut ikalnya. Adel nyengir.
"Makan martabak, yuk." Diandra meraih kunci motor dan dompetnya. Adel mengacungkan jempol.
Maghrib baru saja beranjak. Rumah mereka terbilang strategis, selain daerah komplek pusat kota, dekat dengan alun-alun juga. Diandra memutuskan untuk menjual toko dan rumah mereka di Jakarta, ia pun mengajak Adel pulang ke kampung ayahnya, di Jawa walau tidak begitu akrab dengan sanak saudara. Selain di Jakarta pun tak ada lagi saudara, ada hal lain yang membuatnya terpaksa menjauhkan Adel dari tempat kelahirannya.
Setelah kematian orang tuanya, Adel lebih sering diam dan menyendiri, hanya buku bacaan yang menemani. Diandra berusaha membawanya ke psikiater, tapi hanya sedikit perubahan yang didapat. Ia tetap menjadi anak pendiam.
Tapi bukan itu yang penting. Suatu ketika Adel menghilang saat ia sibuk melayani pembeli yang datang tanpa henti. Diandra hampir putus asa, ia tak ingin kehilangan untuk yang kesekian kalinya. Untunglah saat ia berada di kantor polisi, seseorang datang mengantarkan anak itu dalam kondisi tidak baik-baik saja. Diandra memeluknya sepanjang malam. Saat semua sudah tenang, ia mencoba mencari tahu penyebabnya.
"Adel tadi kemana saja? Kenapa pergi diam-diam?"
Anak itu mengerutkan dahi, lalu menatap pintu rumah yang terbuka.
"Tadi Adel liat ayah sama ibu, jalan kesana nggak ngajak Adel. Makanya Adel kejar, Adel mau ikut," ujarnya dengan pandangan kosong.
Diandra menghela nafas berat. Ia beranjak dan menutup pintu lalu menguncinya. Toko sejak tadi siang sudah ia tutup.
"Terus Adel kejar sampai mana?"
"Jalan yang ada kereta apinya," jawabnya singkat namun membuat Diandra terduduk lemas. Bagaimana tidak, jarak perlintasan kereta api cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Apalagi untuk kaki anak 6 tahun.
"Adel kejar ayah sama ibu, tapi mereka nggak peduli," isaknya kemudian. Diandra mengelus pundaknya lembut. Gadis itu masih terngiang ucapan bapak-bapak yang mengantarkan Adel ke kantor polisi.
"Tadi saya menemukan anak ini di tengah rel, nyaris tersambar kereta. Saat saya gendong, ia terus menunjuk tempat bekas kecelakaan beberapa bulan lalu sambil memanggil ayah dan ibu. Apa ini anak korban waktu itu?"
**
Gemerlap lampu kota membuat suasana hangat walau langit bertabur bintang. Aroma berbagai kudapan dari kedai yang berjajar membuat perut kian keroncongan.
"Tante mau wedang ronde dong," rengek Adel saat melewati gerobak beraroma jahe.
"Nanti dulu, tante udah laper banget nih. Beli martabak sama sate dulu, ya," sahut Diandra. Adel mengangguk sambil mengawasi penjual wedang ronde itu yang selalu menunduk. Sekilas anak itu melihat sesuatu di samping kiri gerobak tersebut, dekat mangkuk yang tersusun rapi. Gumpalan putih dengan lidah merah yang tejulur.
Saat di penjual martabak, mereka mendengar percakapan muda mudi yang cukup mengulik telinga.
"Aku jadi takut pulang malam. Takut ketemu perobek mulut itu," ujar gadis berbadan semampai sambil merapatkan jaket.
"Iya. Tadi denger sendiri kan, si Vika kemarin malam udah di kejar-kejar sama sosok itu. Untung ia atlet lari dan kebetulan masih ada warga di depan gang rumahnya," timpal gadis lain berambut lurus pirang. Tangannya lalu meraih ponsel yang terselip di celana jeans ketat yang membalut kaki gempalnya.
"Eh, lihat deh. Si Nur katanya mau pindah sekolah. Kebangetan juga ya Vika. Mulutnya kayak jalapeno, pedes banget. Haha."
"Iya, gila. Dia ahli banget nyari aib orang lain."
Adel tertegun memandang mereka. Perobek mulut katanya. Apa sosok itu yang kini menjadi bahan berita hangat-hangat mengerikan? Kakinya hendak melangkah mendekati mereka, namun Diandra segera mencegah.
"Ayo, katanya mau beli wedang ronde," tegurnya. Adel mendengus kesal.
"Tante nggak dengar mereka ngomongin apa? Adel penasaran," sungutnya.
"Sudah. Anak kecil jangan ikut campur, nanti kamu diketawain mereka loh," bujuk Diandra sambil menarik tangannya. Adel makin cemberut.
Melewati penjual wedang ronde, Diandra berhenti namun Adel bergeming.
"Sana buruan beli, nanti martabaknya keburu dingin," perintah Diandra. Adel menggeleng.
"Ada yang menjilati mangkuknya. Adel nggak mau," bisik anak itu. Diandra celingak-celinguk melihat sekitar gerobak. Tapi yang ia lihat hanya orang-orang yang asyik menikmati hangatnya minuman jahe itu.
"Jangan bercanda, Del," ketusnya. Adel menunjuk samping kiri gerobak.
"Itu, gumpalan kain yang diikat atasnya. Lidahnya merah."
Seketika bulu kuduk Diandra meremang. Ia pun melajukan motornya tanpa menoleh lagi.
***