Chereads / The Silver Queen / Chapter 11 - Talking Between Men  Talking Fierce Between Men

Chapter 11 - Talking Between Men  Talking Fierce Between Men

Kavaleri Nightorad Zero berjalan perlahan dengan longgar dibawah kanopi dedaunan pohon. Langit biru membentang cerah mengiringi perjalanan mereka di hutan. Suara-suara obrolan terdengar dari barisan depan di mana Bernandes dan anggota inti berada, terkecuali Julian yang memimpin lini belakang. Bernandes suka sekali pada wanita. Melihat seorang gadis buta seperti Axelia adalah pemandangan yang agak berbeda karena beberapa faktor. Tanda tanya juga menghiasi benak pria berotot besar itu.

Kenapa Vincent membawanya?

Kalau lelaki muda bernama Aiden yang dibawa dalam rombongan mereka, itu hal yang masuk akal karena tujuan mereka adalah bertemu keturunan terakhir Hellius dan membawanya bergabung ke dalam pasukan khusus Nightroad Zero. "Hoi, Aiden!" panggilnya. Aiden hanya menoleh. Dia duduk di punggung kuda bersama Axelia di belakangnya. "Apa kau pelayan nona cantik ini?"

"Aku adalah saudaranya," tegas Aiden. Membungkam pertanyaan Bernandes.

"Apa kau ingin mengenal gadis cantik ini?" ujar Hannah. Bernada sindiran yang dapat didengar. "Tentu saja, aku perlu tahu nama-nama wanita cantik." Bernandes mengarahkan kudanya maju pada kuda Aiden. "Jangan mendekati Axelia!" galak Aiden. Menyentak kaget Bernandes. "Pria cabul sepertimu tidak baik untuk Axelia."

"Apaa! Aku bu---" Suara 'plak' menghentikan ocehan Bernandes ketika satu telapak tangan mendarat keras di kepala botaknya. "Aw! Sakit, Hannah!" Dia memegangi kepalanya di mana denyut bekas tamparan terasa. Dan mata Bernandes memicing sengit ke arah samping, tapi tak berarti apa-apa bagi wanita itu. Hannah duduk tegak di punggung kudanya sambil mengendalikan pelana.

"Itu untuk memulihkan alzheimermu bahwa kau terlalu tua untuk jadi playboy, orang tua." Kalimatnya sengaja mengejek. Bagi Hannah, pria berbadan besar dengan kepala botak tidak lain terlihat seperti lelaki tua yang cukup makan meski tidak memiliki perut buncit.

"Beh! Nenek sihir tidak seharusnya menyebutku lelaki tua."

"Kurasa kita belum berkenalan dengan benar," kata Hannah kepada Axelia dan Aiden -mengabaikan ocehan Bernandes. "Namaku Hannah. Aku memiliki perisai terkuat di Atledrich berkat ayahku yang menempa perisai dan... cambuk ini terbuat dari besi panas tapi lentur." Tampak senjata itu tersimpan di sabuknya. "Kalau pria tua tadi itu namanya Bernandes, beruang besar yang sudah uzur masih kuat membawa kapak besi. Pemuda pendek berambut pirang itu adalah Cellios. Dia ahli dalam pengobatan di kelompok kami. Dan kalau yang bermuka kuda dibarisan paling belakang kami adalah Julian. Dia seorang pemanah handal yang tak pernah meleset, separuh penyihir."

Julian tiba-tiba merasakan hal ganjil di benaknya. Sebuah perasaan yang mengesalkan, tapi tidak tahu penyebabnya. Dia jadi bersikap awas pada sekitar -menduga ada bahaya sedang mengintai.

Kembali pada lini depan, suara Axelia mengudara dengan lembut. "Berapa lama kita akan sampai di kota Maria?" tanyanya. "Enam hari berkuda, nona. Dan sepuluh hari jika berjalan kaki." Bukan waktu yang singkat. Enam hari sama jauhnya dengan jarak dari desa terpencil Rumh ke sebuah kota yang padat penduduk. Perjalanan ini adalah kali pertama Axelia bepergian selama itu. Padahal sebelumnya dia nyaris tidak pernah meninggalkan desa Rumh kecuali hari ini. "Di mana kita akan menginap?" Begitulah yang diucapkan bibir Axelia.

"Saat hari mulai gelap, di sanalah kita akan berhenti," jawab Cellios, kemudian dia mendongak ke atas. Memandang silau dengan mata yang menyipit. "Dan sore sebentar lagi datang."

***

Api unggun membumbung. Merobek udara dingin dan mereka duduk mengelilinginya. Malam yang panjang akan mereka lalui dengan berkemah di tanah terbuka sementara perbukitan berada satu kilo di depan. Mereka duduk mengelompok untuk menikmati kehangatan api unggun, mengobrol tentang wanita, meminum anggur, mengasah pedang dan kegiatan lainnya.

Satu sate daging disodorkan ke depan wajah Axelia. "Kau perlu makan." kata Aiden. Menyentak lamunan Axelia yang duduk memeluk lutut di hadapan api unggun. Lantas mengambilnya dari tangan Aiden, satu tusuk sate berukuran lumayan besar. Aromanya yang dibakar matang membelai hidung gadis itu. Perlahan dia mengarahkan satenya ke mulut sebelum digigit, lalu kunyahan pertama langsung membuatnya ketagihan. Aiden tersenyum melihat gadis itu makan dengan lahap.

Tiba-tiba ringkihan kuda mengalihkan perhatian Aiden. Kuda-kuda itu terlihat gelisah. Beberapa orang mencoba menenangkan kuda mereka, menarik-narik pelananya, mengelus-elus kepalanya. Kemudian Aiden beranjak ke tempat lain, ke arah kudanya yang diikatkan di batang pohon. Bahkan kuda miliknya juga tidak mau diam. "Sssh!" bisik Aiden sambil membelai kuda cokelat itu.

Axelia hampir berhenti mengunyah. Kunyahannya melambat ketika kegaduhan di sekitar terjadi. Hannah berjalan menghampirinya yang tampak sendirian di depan api unggun kecil. "Bagaimana rasa sate babinya? Kami mendapatkannya beberapa jam lalu di hutan," kata Hannah seraya mendudukkan diri dengan satu sate di tangan.

Axelia hanya menoleh. Terlihat bayangan putih duduk di sana. Bayangan putih yang terlihat oleh matanya adalah bayangan Hannah. "Di mana Vincent?" Dan di antara bayangan putih-buram itu dia tidak menemukan keberadaan sang komandan.

"Aku tak melihat komandan. Mungkin sedang berpatroli, aku tak tahu," jawab Hannah sebelum menarik daging babinya dari tusukan. Mata cokelat wanita itu melirik. Memperhatikan Axelia lamat-lamat sambil berpikir. "Apa kau bisa melihat semua yang ada di sini?" herannya. "Setelah kupikir-pikir lagi, saat kau melakukan operasi di desa tadi, sudah menjadi hal janggal bagiku. Karena orang yang tidak bisa melihat, tidak akan mampu melakukan kegiatan seberat itu. Terlebih mengoperasi tubuh manusia." Hannah tidak dapat menahan keingintahuannya. Lidahnya sudah gatal melontarkan kata-kata penuh tanda tanya.

"Aku bisa melihat jiwa semua makhluk hidup. Dan selebihnya berdasarkan insting. Anehnya tubuhnya dapat bergerak sendiri seolah dia memiliki mata," jawab Axelia. Kedengaran tidak masuk akal tapi begitulah yang Hannah dengar sendiri dari narasumber langsung. Wanita itu tercengang. Antara percaya dan tidak percaya. Lalu dia mendengus tersenyum setelah memahami sesuatu. "Dunia ini menyimpang. Hal yang mustahil bagi nalar manusia, ternyata mereka hadir di tengah-tengah kita. Misalnya saja para vampir yang masih bersembunyi seperti tikus got." Dia mencela. Menenggak angguknya lalu mendesah lega. Hannah menengok ke samping. "Bagaimana wujudku yang terlihat di matamu?" tanyanya.

"Semua wujud makhluk hidup sama. Mereka memiliki bayangan putih yang agak buram. Begitu pula kuda-kuda di sana."

Hannah terpukau sekali lagi.

***

Aiden baru saja membuat kudanya tenang ketika Julian lewat, memanjat pohon dan duduk di dahannya yang kokoh. Dia berselonjor memangku sebuah buku. Perhatian Aiden beralih dengan menengok ke belakang saat salah satu tentara menendang dua pria asing -diluar kelompok mereka. Aiden mengeryit aneh mendapati tangan kedua pria itu diikat tali. Lalu didudukkan ke tanah. Wajah babak belur mereka menimbulkan pertanyaan di benak Aiden.

Julian melirik malas pada dua pria itu. "Para perampok yang memanfaatkan wanita sebagai pemuas napsu," ujar Julian santai. Sebuah informasi baru bagi Aiden tanpa sempat bertanya. "Orang macam mereka diberi pilihan antara kebiri atau hukuman mati. Kebanyakan lebih memilih di kebiri sih. Hh!" Julian mendengus geli. "Hanya berani pada wanita tapi takut mati." Julian menggeleng-geleng mencela.

"Apa mereka akan ikut dalam rombongan ini?" tanya Aiden.

"Tentu saja. Mereka akan diadili di kota seperti keluargamu," pungkas Julian sepedas cabe di kebun. Menyinggung perasaan Aiden yang bereaksi geram. Dia melayangkan sorot tajam pada Julian yang tampak duduk malas membaca bukunya. Kalau saja dia tidak bisa mengendalikan emosi, maka pedang di pinggangnya dapat berpindah tempat. "Oh, apa aku mengatakan hal yang salah?" kata Julian santai, menggeser tatapannya ke bawah, pada Aiden.

Dia membalik lembar halamannya lagi. Sambil membaca, dia bicara. "Ah, benar. Keluargamu tidak diadili tapi langsung dieksekusi di tempat."

"Kalau kau bertanya dengan benar, aku akan bercerita," balas Aiden sengit.