Percakapan nenek dan anak perempuan itu membuat Aiden bertambah kebingungan, sementara orang-orang desa sedang berjalan naik ke bukit. Jawaban tadi dari nenek ini sama sekali tidak menjelaskan secara spesifik. Sehingga menimbulkan tanda tanya lagi di otak Aiden.
"Sebenarnya ada apa? Siapa yang akan dihukum mati?" desak Aiden. Pada detik itu Aiden tersentak menyadari sesuatu, bahwa sebelumnya dia tidak terlalu peduli pada masalah orang lain, tetapi kini benaknya bagai dipaksa harus mengetahui apa yang sedang terjadi malam ini. Bahkan tidak biasanya Aiden merasakan jantungnya berdebar kencang. Apakah dirinya sedang gugup menanti jawaban mereka?
"Nona Axelia akan dibakar hidup-hidup di alun-alun desa. Kami semua harus melihat proses hukuman mati itu berlangsung," jelas anak perempuan itu lugas. Langsung saja dunia Aiden menjadi beku. Tiupan angin terasa jadi sangat dingin saat membelai seluruh tubuhnya walau tertutupi jubah tebal. Aiden menggertakkan giginya.
"Di mana Axelia sekarang!"
***
Bunyi jeruji besi dibuka, dua penjaga masuk dan memakaikan pengekang leher dengan rantai besi di leher gadis yang menunduk itu. Lalu mereka beralih memasangkan rantai untuk mengikat pergelangan tangannya di depan tubuh. Tampak jari jemari itu memerah gelap, memperlihatkan daging dan darah menetes sesekali dari jari tanpa kuku.
Tali rantai di lehernya ditarik tiba-tiba untuk mulai berjalan, sehingga gadis itu hampir tercekik sesaat sebelum mengayunkan langkah maju. Dia berjalan perlahan-lahan tanpa bisa melihat jalan. Karena sebuah kain putih kusam, menutupi kedua matanya dibalik juntaian rambut panjang kusut itu. Serta langkah demi langkahnya bergerak lambat karena sambil menarik bola besi yang merantai kaki kanan.
***
Penjara bawah tanah ada di atas perbukitan itu, berdasarkan arahan dari anak perempuan tadi, kini Aiden menelusuri jalan tikus berupa lorong gang dengan mulus pada awalnya. Hingga penyusupannya segera dipergoki penjaga, dan Aiden berhenti seketika. "Siapa kau?" seru orang itu. Aiden memutar tumit, tapi dua orang lagi sudah menghadang jalan keluarnya. Terjebak di gang remang-remang, Aiden tidak memiliki banyak waktu untuk menghadapi empat orang itu. "Ck!" Mencebikkan lidah, hatinya jadi kesal saat harus berada dalam situasi seperti ini.
"Aku sangat terburu-buru, jadi bisakah kalian biarkan aku lewat?" Aiden mencoba cara damai.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Justru disahut dengan wajah tidak ramah. Aiden menghela napas panjang, berusaha sabar dan sedikitnya berharap dia tidak terlambat. "Di mana gadis yang kalian anggap sebagai penyihir itu?" Melempar tanya kepada mereka, Aiden perlu tahu sebentar sembari mempersiapkan aksi.
"Hah! Dia sudah dibawa ke panggung penghakiman." Penjaga dari sisi belakang itu menjawabnya. Membuat darah Aiden jadi mendidih seketika. Tangannya mengepal erat sampai urat-uratnya muncul. Gertakan saja tidak cukup untuk mereka membukakan jalan. "Jangan menghalangi jalanku," tekan Aiden dalam. Mereka langsung bersiaga. Ada yang mengangkat pedang, pula tombak kayu diarahkan ke Aiden.
"Dia sudah pasti temannya gadis itu!" Suara lain terdengar di tengah-tengah pertemuan menegangkan mereka. Beralih pandang ke sumber suara di atas, terlihat seorang dua pria berdiri di balkon. Dilihat dari penampilannya yang mengenakan jubah agamis dengan kalung bertanda salib, tidak perlu diragukan lagi kalau pria itu adalah orang gereja yang berkuasa. "Bunuh penyihir jahat itu!" Karena perintah orang agamis tersebut dipatuhi ke-empat penjaga. Sehingga tanpa ragu-ragu mereka menyerbu Aiden dari dua sisi.
Lagi, Aiden mencebik kesal saat tangan kanannya masuk ke dalam jubah. "Aku tak ingin membuang amunisi berharga ini hanya untuk manusia keparat seperti kalian!" Teriakan berang Aiden bersamaan dengan dikeluarkannya sebuah pedang. Aiden melakukan gerakan memutar, menebas dua tombak kayu sekaligus yang menyerangnya dari belakang. Kemudian berbalik cepat dan menampik pedang lawan. Sesaat terdengar suara benturan pedang yang saling beradu.
Dua lawan satu. Di satu sisi, mereka berpikir bisa menang karena jumlah. Akan tetapi, Aiden tidak pernah merasa terpojok dalam pertarungan ini. Trang! Aiden menghentak pedang lawan sampai terlontar tinggi ke udara, sedetik satu tebasan menggores dada lawan, Aiden bersalto: menendang pedang yang belum terjatuh itu hingga langsung tertanam di dahi orang gereja di sana. Rekannya terkejut horror, lalu berbalik ketakutan.
Waktu Aiden semakin sempit. Kini Aiden tidak segan lagi untuk membunuh mereka. Sisa satu penjaga yang kini terlihat gemetaran.
Prajurit penjaga yang masih dibawah pimpinan uskup gereja selalu memusuhi orang yang dianggap penyihir ilmu hitam. Kebencian itu membutakan mata hati mereka, termasuk bagaimana melihat Aiden seperti melihat iblis yang wajib dihancurkan. Dengan sisa kekuatannya, dia berlari sambil menghunuskan pedang ke Aiden.
Saat itu Aiden mendengus berat, hingga satu gerakan pedangnya langsung menghempaskan lawan. Wajah terbengong prajurit penjaga penjara itu menatap tangannya. Satu pedang pun terjatuh ke tanah bersama sepotong tangan manusia. Aiden memutar tubuh dengan cuek ketika jeritan prajurit itu memekik di belakang langkahnya.
"Tangkap penyihir itu!" Tudingan diarahkan kepada Aiden, dan seluruh warga desa mengangkat senjata tajam serta obor. Rupanya pendeta yang melarikan diri tadi, pergi memanggil warga. Karena dia ada di sana menyuruh warga mengeroyoknya.
"Ya ampun, gawat!" Aiden mundur, berputar arah dan berlari. Namun, gerombolan warga dari arah lain telah berhasil menghentikan pelarian Aiden. Sehingga kini lelaki itu tersudut di dinding batu yang memblokir jalan keluarnya, sementara warga telah mengelilingi garis depan. Mereka bergerak maju, dan Aiden melangkah mundur.
Aiden mungkin tak segan membunuh prajurit gereja maupun orang gereja seperti tadi, tetapi membantai warga tidak termasuk ke dalam aksinya. Bagaimana pun Aiden bimbang saat ini. Jika mereka menyerang dan dia tidak melawan, tentu dirinya akan mati. Jika dirinya melawan, jelas mereka akan terluka.
Ck! Apa yang harus dia lakukan?
Ketika itu suara rombongan kaki kuda berdatangan dan mencuri atensi mereka. Para penunggang kuda segera berhenti, dengan kuda putih memimpin barisan. Berseragam hitam dengan garis emas di setiap sisi. Jubah segelap malam bergaris kuning menutupi pundak mereka. Tampak pula jahitan emas berbentuk gambar Phoenix sedang melebarkan sayap dan bentuk perisai sebagai badannya, di dada kiri jubah para penunggang kuda.
Siapa yang tidak tahu gambar kebanggaan para warga? Logo khas Kekaisaran Atledrich!
Kedatangan mereka mengubah raut tegang warga yang berangsur-angsur meluruh. Digantikan dengan ekspresi bersemringah lebar. "Nightroad Zero datang!" seru warga dan sorakan gembira menyambut kelompok penunggang kuda.
"Yang di depan itu pasti komandannya!" pekik mereka, menunjuk satu-satunya seorang pria bertopi di antara penunggang kuda lainnya. Pria itu tampak angkuh dengan fitur wajah dinginnya. Seorang komandan pasukan Nightroad Zero.
"Mereka keren!"
"Ada gadis cantik juga di sana."
"Kalian sedang apa bergerombol seperti kawanan domba?" Mulut Julian bicara sangat mulus. Lelaki dengan puluhan stok anak panah yang tersimpan di quiver itu berada di barisan ke-tiga.
Lalu seorang pendeta menyeruak dari warga, berjalan ke depan kuda Nightroad Zero saat komandannya melompat turun. "Apa yang terjadi di sini?" tanya sang komandan. Dia adalah seorang pria rupawan yang terlihat dingin sekaligus tegas. Aura kewibawaannya membuat orang lain menjaga jarak segan.
"Kami sedang persiapan untuk membakar penyihir, tetapi karena ada penyihir iblis lain, jadi kami berencana membunuhnya di tempat," jelas pendeta tersebut.
"Siapa yang kalian maksud?" Kalimat tanya sang komandan segera membuat gerombolan warga menyingkirkan diri. Sehingga membuka jalan bagi Aiden yang kini keduanya berdiri bersebrangan.