***
Gedung tahanan sudah menjadi reruntuhan batu. Di sanalah Aiden terkubur bersama Dergon, yang mungkin telah lenyap. Fakta itu melemahkan kedua tungkai kurus Axelia. Dia merosot seketika dan terduduk lemas di tanah. Kini otaknya menjadi kosong. Tidak ada lagi yang terpikirkan di kepalanya selain perasaan duka mendekap hati dengan erat.
Aiden tidak terselamatkan di sana. Lelaki itu meninggal karena menolongnya. Kalau saja dia tidak datang menyelamatkan dirinya ke ruang tahanan bawah tanah, mungkin Aiden tidak akan berada dibawah puing-puing berat itu bersama Dergon.
Memikirkan tentang lelaki itu, perlahan-lahan napas Axelia bak dicekik. Gadis itu mencengkram dadanya kuat. Rasa sesak ini nyaris membuatnya kehabisan oksigen. Perasaan yang tidak bisa dibendung lagi, air mata langsung tumpah membanjiri wajah pucat Axelia. Dia menangis histeris. Jika dibandingkan dengan rasa sakit pada fisiknya karena siksaan keji, Axelia lebih memilih dirinya disiksa daripada melihat Aiden mati.
Sementara Vincent tampak berdiri tegap menatap datar reruntuhan di hadapannya. Hingga angin bertiup sepoi membelai lembut kulit pipinya yang putih, saat itu cahaya menyeruak diufuk timur. Seperti asa yang terlahir di tengah keputusasaan, sinarnya membelah cakrawala gulita. Langit fajar mengusir monster malam. Mereka berlarian mencari tempat sembunyi, meninggalkan desa Rumh yang segera diliputi keheningan mencekam.
Vincent mengerling ke bawah. Menatap Axelia yang terlihat putus asa. "Axelia," sebut deep voice Vincent dengan tegas.
Axelia tidak mendengarkan. Gadis itu tetap menangis memilukan. Helaan napas keluar dari celah bibir tipis Vincent. Entah untuk menyiasati sikap sabar atau menahan diri atas sebuah duka. Hingga sedetik kemudian kedua bahu sempit Axelia dipegang erat oleh sepasang tangan bersarung tangan putih. Vincent sudah berlutut di hadapan gadis itu. "Dengar, Axelia!" sentaknya tegas.
Seketika Axelia terkejut, dan tangisannya tertahan sejenak. Setelah melihat tidak ada reaksi dari gadis itu, Vincent melanjutkan ucapan yang ingin disampaikannya. "Ikutlah bersamaku. Aku akan membuatmu nyaman dan aman di sana."
Axelia tidak mengerti. "Apa... Maksudmu?" Tidak ada satu dugaan yang masuk akal di otak Axelia untuk menebak tujuan pria ini.
"Aku mungkin bisa membantumu mengingat masa lalumu," pungkas Vincent.
Mulut Axelia terkuak. "Kenapa... Kau tahu hal itu?" kata Axelia dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Merasa tertarik dengan apa yang diucapkan pria itu.
Vincent tidak segera menjawab. Dia menatap Axelia untuk beberapa saat, hingga suara derak terdengar di belakangnya. Sesuatu bergerak dari bawah gundukan bebatuan. Seolah-olah sedang mencoba keluar. Lalu, sebuah tangan tampak menggapai permukaan batu di atas. Melihat tontonan seperti itu membuat Vincent mendengus kecil sambil menutup matanya.
Sedangkan tangis Axelia mereda perlahan-lahan. Meskipun penglihatan gadis itu disirap kegelapan, bukan berarti seluruh indranya dimatikan. Intuisinya menjadi sangat sensitif. Sehingga presensi apa pun di sekitar dapat terdeteksi oleh benaknya tanpa bantuan fungsi mata. Menggantikan penglihatan yang memberi informasi ke otak. Seperti itulah Axelia hidup tanpa cahaya nyata. Benar, Axelia adalah seorang gadis buta yang nampak tidak berdaya.
Ekspresi gadis itu terkuak pelan seiring sosok di sana meloloskan diri. Sungguh tidak terduga bilamana seorang manusia dapat bertahan hidup dari bencana yang menimpanya. Mentari menyirami perwujudan nyata Aiden yang kini berdiri di atas puing bangunan. Kemudian lelaki itu melompati batu dan berpijak di tanah datar. Menarik sepuluh langkah maju, lelaki itu berlutut di depan Axelia yang bersimpuh terbengong. "Axelia..." panggil Aiden lembut. Suaranya masih sama seperti sebelumnya.
Axelia berharap ini bukan ilusi atau kesalahan indra tubuhnya dalam menerjemahkan sesuatu. Dia mengangkat lengannya yang terkulai lemas. Gadis itu perlu merasakan wujud Aiden secara nyata. Hingga saat berhasil menyentuh kedua pipi Aiden dengan dua tangannya, perasaan lega menggantikan duka dalam seketika. Bibir gadis itu meringis-ringis, sebelum langsung menarik Aiden ke pelukan. Kali ini air mata yang turun bukan bentuk kesedihan. Melainkan rasa haru sekaligus bahagia menghinggapi relungnya.
Aiden tersenyum dibalik bahu gadis ini. Tidak ada kata yang tersemat di tengah pelukan mereka. Lidah Axelia terlalu kelu untuk mengungkapkan rasa syukurnya yang tak terhingga. Kemudian Aiden mengurai pelukan lebih dulu dan menatap wajah Axelia yang tampak lusuh. "Aku bersyukur jika kau baik-baik saja sekarang." Ucapan tulus lelaki itu tidak disukai Axelia yang mengeryitkan dahi. "Aiden, akan jadi percuma jika kau mati karenaku. Aku hanyalah beban untukmu," kata Axelia.
"Kau bukan beban. Jangan pernah berpikir seperti itu. Kita adalah keluarga, jadi apa pun yang terjadi, kita akan melaluinya bersama."
"Hellius," tegur Vincent. Aiden lantas membantu Axelia berdiri. "Kau belum menjawab tawaranku." Vincent menuntut jawaban.
Aiden termenung berpikir. Dia masih ingat saat dirinya berbicara berdua dengan Vincent beberapa jam lalu.
Flashback.
"Yang kukatakan di depan warga desa tadi merupakan fakta. Kau akan dihukum mati oleh Kaisar." Demikian lah Vincent memberitahu. Kedua pria itu berdiri lumayan jauh dari sekumpulan warga di sana.
"Aku belum boleh mati! Dan aku telah memiliki sumpah pada keluargaku."
"Sumpah sebagai pelayan ratu bayangan?" Vincent menyela cepat.
"Bagaimana kau---" Aiden hampir kehabisan kata-kata.
"Aku mengetahui sedikit tentang sejarah empat pahlawan dalam Perang Tanpa Akhir tiga ratus tahun lalu." Penjelasan Vincent membungkam mulut Aiden. Lelaki Hellius itu terdiam kaget.
"Kenapa kau menginginkan kekuatanku di kelompokmu?"
"Kami kekurangan orang. Bergabunglah bersama kami, maka hukumanmu akan dihapuskan." Tepat setelah itu serbuan monster malam membuat gaduh suasana.
Ini membingungkan Aiden. Tawarannya kedengaran menguntungkan. Kalau menolak, mungkin dia akan menjadi buronan seumur hidup. Siapa yang mau hidup dalam kejaran walau tidak bersalah sekalipun. Sedangkan untuk keinginan mati tak pernah terlintas dipikiran lelaki itu. Di sepanjang petualangannya melalui bahaya, Aiden menempa diri agar menjadi lebih kuat demi seseorang. Benar, perjalananya baru dimulai sejak datang di desa Rumh. Tujuannya adalah... "Aku akan menjawabnya setelah bertemu dengan Axelia." Lantas dia berlalu dari hadapan Vincent. Berlari melewati monster malam, lelaki itu menghindari pertarungan dengan mereka secara lihai.
Sementara Vincent mengeluarkan pedang dari sarungnya sambil tetap mematung. Membuat gerakan menebas di udara, tubuh monster terbelah seketika di belakangnya. Sang komandan mengayunkan langkah ke depan dengan wajah dinginnya yang khas.
Flashback end.
Aiden mendengus dengan tangan di pinggang. "Axelia, apa rencanamu setelah ini? Warga desa tidak menerimamu di sini, sedangkan rumahmu sudah dibakar oleh antek-antek gereja."
"Kalau begitu, aku tidak memiliki tempat tinggal lagi. Aiden, aku harus ke mana?" Axelia mendongak pada lelaki itu dengan melas.
"Aku memiliki syarat," kata Aiden seraya mengerling kepada Vincent. Sejenak dia beralih dari Axelia.
"Apa?" tanya pria tinggi itu.
"Berikan gadis ini tempat tinggal yang layak dan makanan yang enak."
"Bagaimana Axelia?" ujar Vincent dengan nada yang ringan. Namun Axelia peka bahwa kalimat tanya ini ditujukan untuk pernyataan tadi. Axelia berpikir, jika dia menolaknya, maka dia akan kesulitan untuk mendapatkan kembali tentang siapa dirinya. "Apa kau bisa membantuku?" Axelia melempar tanya guna memastikan sesuatu.
"Ya. Apa pun itu." Percakapan mereka hanya Vincent dan Axelia yang saling memahami. "Kalau begitu, aku tak punya pilihan lain, aku ikut denganmu," tandas Axelia mantap.
"Baiklah. Permintaanmu akan terpenuhi." Senyum Vincent mengembang menatap Aiden. Tetapi sorot matanya menyimpan arti lain.
Vincent melirik Axelia, tetapi lelaki itu tidak mengatakan apa pun.
***