***
"AAAARRGHH!!!" Jeritan pedih itu bak membelah langit malam yang membentang hampa tanpa kilau bintang. Berasal dari ruang bawah tanah sebuah bangunan batu di atas perbukitan, dia duduk dengan kedua tangan terikat di lengan kursi, dan kedua kaki ringkihnya yang pucat telah dikekang kuat. Di hadapannya, kehadiran dua pria di ruangan gelap untuk ke sekian kali ini, membawa lara lagi dan lagi ketika darah segar menetes dari penjepit besi di tangan salah seorang itu.
"Akui saja kalau kau penyihir iblis, agar penyiksaan ini menjadi lebih ringan," ujar orang yang berdiri angkuh itu.
"Aku bukan penyihir iblis! Aku manusia!" Suara seorang gadis berkelakar keras. Kalimat yang sama terus terucap berulang kali. Membangkang perintah mereka untuk mengakui sebagai penyihir iblis. Tetapi, mereka tetap memberinya penyiksaan seperti ini.
"Baiklah kalau seperti itu. Ini kuku yang ke sembilan," kata pria yang berjongkok itu. Kemudian mendekatkan lagi penjepit besi di tangannya ke jari kiri gadis tersebut. Dalam sedetik rasa sakit itu hanya bisa diungkapkan dengan satu teriakan. "AAAARRGHHH!!!" Mulutnya terbuka lebar seraya wajah mendongak ke atas. Otak tak dapat berpikir lagi ketika seluruh dunianya terfokus pada sakit tak tertahankan seiring kuku dicabut paksa dari jemari.
Kuku yang ke sembilan, itu artinya sembilan jari dia telah kehilangan kukunya yang sekarang darah mengalir jatuh ke bawah kaki. Bahkan darah jari kanan belum benar-benar kering. Sekeras apa pun dia berteriak sekarat, tidak ada seorang pun sudi meloloskannya dari siksaan keji mereka. Hampir setiap malam ruangan remang sebuah penjara bawah tanah, lengkingan suara gadis itu menggaung di seluruh koridor.
Tidak ada orang waras yang merasa nikmat disiksa secara fisik seperti ini. Ditikam langsung ke jantung itu jauh lebih baik untuk menghindari penderitaan di tengah kesadaran normal. Hari demi hari yang berlalu, tidak satu pun dilalui dengan tenang dan damai selain setiap harinya dan satu per satu bagian tubuhnya dirusak. Penyiksaan di luar kata manusiawi rupanya takdir buruk bagi hidup seseorang yang tak mendapat keadilan setimpal.
***
Jangan berkeliaran di luar rumah pada malam hari. Larangan seperti itu dari para orang tua kepada anak-anaknya bukan sebuah dongeng yang boleh diabaikan. Karena malam yang menjadi waktu istirahat bagi manusia adalah waktu aktif bagi makhluk nokturnal. Manusia menyebutnya monster malam walau bentuk mereka berbeda-beda.
Cakar tajam dari tubuh setinggi dua meter itu nyaris merobek wajah seorang pemuda pendek yang berhasil menahannya dengan belati kecil. "Cih! Dasar merepotkan!" Dia terdesak sampai tidak bisa bergerak melawan selain mempertahankan diri dari tekanan.
Dari arah lain, anak panah meluncur cepat dan menancap telak ke mata monster. Sosok di dahan pohon itu menggerakkan bibirnya: "terbakarlah." Dengan nada berbisik pelan. Dalam sekejap api muncul dari anak panah, dan monster bersisik mengerang. Serangan diam-diamnya membuat pemuda pendek dengan tudung jubah yang masih bertengger di kepala itu merasa tertolong.
Seolah tidak puas, satu anak panah lagi diluncurkan olehnya dan membakar mata kedua monster dengan lengan bersirip di sana. Melihat peluang bagus, pemuda pendek itu memanfaatkan momen. Dengan tangan kiri mencengkram pergelangan kanan, dia mempererat pegangan belatinya, dan kemudian berlari maju. Menusukkan belatinya ke perut besar monster itu, lalu memperdalam tusukannya dengan segenap tenaga sambil menggeram saat menggeser belatinya ke samping. "HYAAAA!!!"
Lawannya adalah monster berkulit putih, tanpa memiliki mata, ujung telinga yang runcing, serta seluruh giginya seperti belasan duri berdiri, tampak mengerikan. Pria berotot di sana harus melompat mundur ketika tangan panjang itu hendak menggapainya. "Hup! Heheh! Sekarang giliranku!" Dia terkekeh dengan suara berat bernada seraknya seperti pria mesum yang menemukan wanita seksi.
Beberapa meter di sekitar tanah terbuka itu,
tiga monster berwujud hewan purba, menyerbu seorang wanita dengan perisai di lengan kirinya. Dia tetap diam di posisi bertahan untuk siap pada serangan mereka. "Datanglah!" geramnya tertahan, lalu melayangkan rantai cambuk dengan gerakan mantap. Tiga monster berekor satu itu segera terpental jauh.
Masih dengan kelompok yang sama, kali ini pria tinggi misterius berdiri gagah memegang pedang panjang di tangan kanan berlapis sarung tangan putih. Di hadapannya, monster raksasa menjadi lawan paling besar di antara monster yang dihadapi ke-empat rekannya. "Lancang sekali makhluk kotor menghambat perjalananku." Sederet kalimat merendahkan diucapkan dengan dingin oleh pria bersurai segelap malam ini.
***
Langkah-langkah perlahan milik sepasang sepatu boots cokelat lusuh itu segera berhenti, dan dia berdiri di bawah gapura dengan pintu gerbang terbuka lebar. Jubah cokelat yang kelihatan tebal dan berat itu menjuntai di punggung sekokoh tembok dan menutupi kedua bahu lebarnya. Helaian rambut cokelat tua telah tumbuh menyentuh telinga. Sedikit acak-acakan tapi tidak membuat lelaki itu terlihat kotor. Lalu, satu embusan napas mendesah dari mulutnya yang sedikit terbuka. "Setelah sekian lama, aku kembali lagi ke desa ini." Suara lelaki itu bergumam dengan perasaan yang terkenang pada desa di hadapannya.
Seorang penjaga di depan, menahan Aiden sejenak. "Siapa kau? Dan mau apa masuk ke desa ini?" Begitulah yang dikatakan penjaga gerbang dengan wajah waspada sembari menilai penampilan seorang pendatang. Tidak ada barang bawaan dari lelaki berjubah cokelat itu.
Lelaki ini mendengus ringan. Lalu berkata. "Aku Aiden. Mungkin kau tidak tahu tentangku di desa ini yaah itu tak penting, dan aku hanya seorang pengembara. Bisakah kau membiarkanku beristirahat di desa ini?" Aiden mengatakannya dengan nada bosan.
Sang penjaga terdiam sejenak mempertimbangkan perkataan lelaki itu. "Baiklah." Keputusan positifnya sedikit melegakan. Ya, lega, karena dia tidak harus bersusah payah menyingkirkan penjaga itu dengan tenaganya. Aiden tidak mau membuang tenaga hanya untuk seorang manusia tak berarti baginya. Lalu dia melanjutkan langkah kakinya dengan tanpa hambatan lagi.
Pandangan Aiden berpendar mengamati sekeliling. Suasana kelihatan sepi di bawah permadani malam yang diterangi obor di setiap rumah. Tungkai kokoh lelaki itu terus bergerak maju dengan santai, melewati beberapa lapak pedagang yang sedang merapikan barang dagangannya untuk tutup. Setelah berjalan di atas jembatan kecil, sebuah bar sederhana menarik lelaki itu untuk disinggahi sejenak.
Di lain sisi, rombongan kuda berderap membelah kegelapan hutan. Seluruh penunggangnya bagai bayangan hitam yang melintas cepat. Tudung jubah hitam menghalau wajah mereka.
Kembali lagi di dalam bar, celetukan seorang pria membuka topik yang terkesan horror. "Para monster malam itu konon berasal dari neraka!" Dua gelas bir untuk dua orang pria kelihatan sudah setengah habis di meja bartender. "Selama aku hidup di desa ini, desa ini belum pernah diserang monster malam. Bagaimana jika mereka menemukan desa ini?" Sahutan dari rekan berperut bulat terdengar cemas.
"Mungkin penyihir memanggil mereka untuk balas dendam kepada kita," kata bartender kurus itu sambil mengelap gelas kacanya. Kedua pelanggan di depannya tertawa bersama. "Hahah! Karena kita membakar para penyihir itu," ujar pria gempal tersebut remeh.
"Ngomong-ngomong soal penyihir, kudengar pengikutnya masih ada di masa sekarang. Klan apa itu namanya...?" kata pria itu seraya mengelus kumis tipisnya ke bawah. Kemudian bartender menyambung ucapan pelanggannya. "Klan Hellius maksudmu?" Nama sebuah keluarga disebutkan di tengah obrolan ringan mereka.