Melalui koridor batu yang panjang, sinar rembulan hanya mampu menjangkau taman di sebelah saat langkah lelaki baya itu berjalan cepat dengan perasaan gelisah bagai menyerangnya. Dia diliputi kecemasan setelah mendapat kabar bahwa ada getaran samar pada pusaka yang dia miliki itu. Seorang lelaki mengekorinya di belakang, dan tampak berusaha mengimbangi langkah di depannya.
Kabar yang didengar sampai membuat dia terkejut jelas saja bukan berita baik. Dia tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi. Dan dia pikir dengan berjalan cepat di sepanjang koridor akan membuat keresahan di benaknya hilang. Walau dia dapat tiba di tempat tujuan tanpa harus meninggalkan jejak kaki tak kasat mata di lantai batu yang berdebu. Hingga tiba di ruang utama dengan dua pilar tinggi yang besar menyangga atap, dia naik ke lantai podium dan duduk di kursi tahta yang membuat dia tampak berkuasa dihadapan belasan orang berjubah putih. Sesaat suara bercakap-cakap mereka terhenti ketika sang berkuasa sudah datang di dalam ruang tahta. Sementara seorang kakek langsung berlutut patuh di depan podium.
"Aku ingin mendengar sekali lagi kabar yang kau ketahui," kata lelaki baya ini. Aura wibawanya mengintimidasi semua orang di dalam ruangan. Ruangan yang hening seketika. Mereka mengunci mulut dan memasang telinga baik-baik. Takkan bicara jika belum diizinkan lelaki baya berjubah berat di kursi itu.
"Aku merasakan dia berusaha bangkit dari kekangan tidur panjangnya, Yang Mulia," kata kakek itu dengan nada merendah dan pandangan yang turun. Semua orang di sini paham pembicaraan ini. Sehingga benak mereka kini terbagi menjadi dua bagai buah yang dibelah ketika mendengar penuturannya. Kakek itu adalah senior bagi belasan orang yang telah hadir dibalik tudung jubah yang menutupi wajah mereka. Orang yang dituakan dan hidup lurus tidak mungkin berbicara dusta, kan? Baru kali ini mereka merasa ragu dan cemas di saat yang bersamaan. Ragu mereka sejatinya tidak menginginkan gambaran di benak akan menjadi nyata. Sedangkan cemas timbul dibalik ketakutan yang tak mereka akui.
"Pusaka itu masih hidup. Dia bergetar. Menandakan pemiliknya akan bangkit cepat atau lambat," lanjutnya. Semakin mencengangkan semua orang di sini.
"Apa kau tahu di mana dia?" Yang Mulia bertanya. Benaknya bergemuruh hebat dengan tangan mencengkram ujung lengan kursi.
"Saya tak dapat memastikannya. Tetapi ada kemungkinan terkait dengan lokasi kematian Seron yang tinggal di dunia manusia." Seron adalah vampir bangsawan muda yang ceroboh dan suka bermain-main semaunya sendiri. Kini dia sudah menjumpai ajalnya akibat terlalu meremehkan manusia.
"Saron? Bukankah dia mati karena tentara militer Nightroad Zero?" Yang Mulia mengulang kata dengan keheranan.
"Awalnya kami mengira seperti itu. Namun, setelah mendapat laporan hari ini dari tentara di sana, Saron tidak mati karena tentara pemburu. Melainkan seorang manusia lain yang berhasil membunuhnya dalam semalam. Dan tempat itu bermil-mil dari sini," jawab kakek itu. Masih menunduk. Lantai hitam menjadi objeknya selama berlutut dihadapan Yang Mulia.
Bagi Yang Mulia, kabar tersebut bukan main-main seriusnya. Pepatah lama selalu mengatakan siapa cepat dia dapat. Detik berikutnya beberapa orang berjubah itu sigap maju ke hadapan Yang Mulia ketika nama mereka disebut olehnya. "Zaros, Kent, Eltham, menyebarlah ke dunia manusia dan cari dia!" titah Yang Mulia mutlak. Dengan kompak mereka bertiga membungkuk penuh rasa hormat. "Perintah anda adalah harga diri kami," kata mereka.
"Maaf Yang Mulia," tegur suara wanita. Sontak para berjubah itu terlonjak ketika mengetahui wanita itu berada di tengah mereka. "Hamba mohon izinkan saya pergi ke kota Maria," ucapnya membungkukan badan.
"Apa yang kau lakukan di sini, Chindy!" Kent memelotot pada wanita itu dibalik tudung jubahnya. "Kau tahu tempat ini hanya boleh---" Perkataan pria itu tidak dilanjutkan ketika Chindy memotongnya cepat. "Ya, ya, aku tahu tempat ini hanya boleh dimasuki vampir bangsawan. Tidak berlaku untukku," tandas Chindy dengan nada malasnya sembari memutar mata jengah. Lantas dia kembali menunjukkan kesopanan pada Yang Mulia. "Yang Mulia, izinkan saya membawa beberapa Exval, Orco dan Herresi."
Tatapan tajam pria baya itu kelihatan mengintimidasi, terarah pada Chindy yang tampak berani memandangnya. "Aku sudah mendengar kisahmu. Kau kuizinkan pergi ke kota manusia mana pun. Dengan syarat, tidak membantai mereka semua. Aku tak ingin kelaparan. Kembalilah dengan membawa oleh-oleh," jawab Yang Mulia menyeringai. Dan kemudian derap langkah mereka saat meninggalkan ruangan menjadi awal pergerakan mantap sebuah roda takdir.
***