Axelia terbangun tengah malam karena terganggu dengan tenggorokannya yang terasa kering. Praktisnya, nakas samping tempat tidur sudah tersedia segelas air. Lalu dia meneguknya sampai habis. Kasur di sebelah ditempati Hannah yang masih terlelap tenang. Axelia baru akan kembali tidur ketika rungunya menangkap suara samar-samar dari luar.
Suara dentingan khas piano menggema di lorong gelap nan sepi. Lembut dan begitu anggun terdengar. Seolah-olah setiap tarian jemari lentiknya diciptakan untuk menekan tuts hitam-putih. Suaranya seakan memanggil. Membuat Axelia tidak bisa kembali tidur dengan tenang lagi. Selimut di kakinya lantas disingkap ketika dia beranjak turun dari kasur. Bukan terganggu, melainkan dia tidak dapat mengabaikan suara itu.
Saat pintu kamar dibuka perlahan, Axelia tidak tidur sambil berjalan. Dia sadar betul apa yang sedang dilakukannya sekarang. Sekalipun hal itu membuat dia seperti dibawah pengaruh hipnotis. Suara anggun piano itulah yang menggerakkan kakinya. Ketika otak dan hati menjadi singkron, maka tidak ada lagi keraguan dalam setiap langkahnya. Walaupun lorong panjang yang dia lalui tidak memiliki cahaya terang, hanya lampu berpenerangan rendah yang membuat sekitar jadi remang-remang, toh kedua matanya terbiasa dengan kegelapan.
Dia hanya perlu mengikuti asal suara itu, merayap dengan tangan meraba pada dinding batu di sepanjang lorong. Mengabaikan dingin lantai marmer yang menusuk telapak kakinya. Axelia terus berjalan maju.
Setelah melewati dua tikungan, suara piano itu semakin jelas terdengar. Beberapa langkah lagi dia akan sampai. Suaranya berasal dari salah satu pintu di lorong. Pintu single itu tidak tertutup sempurna. Axelia merambat ke dekat celah pintu yang sedikit terbuka. Sekarang, dia mendengar suara piano dengan sangat jelas dari balik pintu ini.
Okey, keinginan hati sudah terpenuhi untuk mengikuti asal suara piano itu. Waktunya kembali ke kamar. Harusnya begitu, kembali ke kamar. Namun, ketika pintu di depan hidungnya bergerak membuka dengan sendirinya -setelah tak sengaja Axelia sentuh- niat berbalik ke kamar asramanya ditunda sejenak.
Siapa yang memainkan piano tengah malam begini?
Satu pertanyaan dibenak mendorong Axelia untuk mengetahui lebih sedikit lagi. Tapi ketika otak menghakimi bahwa siapa pun orang itu, Axelia tidak akan bisa melihatnya, maka hati memaku kaki gadis itu hingga tidak kuasa bergerak. Rupanya hanya sampai di sini otak dan hatinya dapat bekerja sama. Sisanya Axelia harus berperang dengan batin.
Between go or stay.
Perlahan gadis itu merunduk dan berjongkok. Bingung. Di satu sisi warasnya, dia harus kembali ke kamar. Di lain sisi instingnya menahan dia di sini.
"Axelia?"
Seseorang menyebut namanya. Axelia terhenyak seketika. Bergulat dalam pikiran, membuatnya terlambat menyadari bahwa seseorang mengetahui keberadaannya di sini. Wajah Axelia mendongak dari posisinya yang berjongkok. Bayangan putih-kabur dengan bentuk manusia, sudah berdiri dibalik pintu ini. Itu artinya dia dipergoki? Axelia mematung. Otaknya cepat-cepat mencari alasan jikalau orang itu menginterogasinya.
Tapi, tunggu dulu. Barusan orang itu memanggil namanya. Sayang, Axelia tak sempat mendengar jenis suara orang itu lantaran panik. Katakanlah sekali lagi, maka Axelia akan mencoba mengenali pemilik suara itu.
Terdengar obrolan dua orang dari lorong lain. Suara mereka mendekat. Axelia dilanda panik lagi. Kalau sampai ada orang lain memergokinya lagi... Dia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Mengingat asrama ini begitu ketat dalam penjagaannya.
"Masuklah!"
Satu detik perintah orang itu, Axelia bergegas masuk ke dalam ruangan. Dan dalam seperkian detik suara itu, pula Axelia langsung mengetahui siapa pria ini.
"Komandan Vincent, anda belum tidur?" kata salah satu penjaga yang sedang berpatroli. Melirik ke dalam kamar di mana lampu kamar Vincent masih menyala terang. Sementara Axelia bersembunyi was-was dibalik pintu, di samping pria itu.
"Aku baru akan tidur. Terima kasih atas penjagaan kalian pada asrama ini," tutup Vincent tidak berminat bicara lebih lama. Dan dua penjaga memahami hal itu segera pamit.
Setelah mengamati punggung mereka yang menjauh, barulah Vincent menutup pintu rapat-rapat sambil memutar kuncinya. Saklar di dekat kusen pintu dimatikan. Seketika gelap menaungi mereka berdua. Berhadapan digaris sinar pucat yang menjangkau separuh ruangan dari jendela dengan tirai terbuka lebar.
Ditatapnya Axelia dengan banyak tanda tanya. "Apa yang sedang kau lakukan dengan berkeliaran di asrama pria, Axelia?" Nadanya jelas terheran.
"Aku mendengar suara piano. Karena penasaran, aku mengikutinya dan ternyata yang memainkannya adalah kau," jujur Axelia.
"Kau... Mendengar suara piano dari kamarku?" Ada kalimat tercengang diucapkan dengan ekspresi Vincent yang tetap tenang.
Axelia mengangguk. Dan Vincent dibuat terbengong. Pria itu mencerna perkataan Axelia. Tidak bisa dikatakan dekat jarak antara koridor asrama pria dengan asrama wanita meskipun mereka berada dalam satu bangunan. Asrama pria dan wanita dipisahkan oleh lobi yang luas nan lebar.
Bagaimana bisa suara pianonya dapat terdengar sampai ke asrama wanita? Apakah sebegitu berisik dia memainkan piano? Vincent pikir kamarnya cukup kedap suara. "Baiklah. Sekarang, kau sudah tahu siapa yang memainkan piano di sini. Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Vincent.
"Mmm, bagaimana kalau kau memainkan satu lagu lagi?" tawar Axelia.
Vincent mengerjap. Kemudian dia berbalik. Tanpa mengatakan apa pun. Pria itu mendudukkan diri di bangku beludru. Kedua lengannya terangkat dan dia bersiap menarikan sepuluh jemarinya di atas tuts piano. Dalam sekejap keheningan dilenyapkan ketika denting piano mengalun sempurna. Diam-diam Axelia tersenyum kecil.
Setelah beberapa menit terlewati, dan Vincent menyelesaikan satu lagu, dia menemukan Axelia sudah terlelap dengan duduk bersandar pada tembok di lantai. Vincent bangkit. Lalu menarik langkah mendekati gadis itu. Tubuh terkulai Axelia diangkat perlahan tanpa berniat membangunkan. Menjadikan kedua lengan kokohnya sebagai gendongan yang nyaman. Derap kaki pria itu yang berjalan tenang, nyaris sehalus udara yang tak memiliki suara.
Hanya gelap yang terlihat di depan mata. Namun, Vincent dapat berjalan tanpa hambatan di lorong marmer. Seolah-olah dia bisa melihat apa yang ada di depan langkahnya.
***
Axelia terbangun dengan perasaan segar. Jarang sekali dia merasakan tidur begitu nyenyak semalam. Benar, semalam... Sontak Axelia terduduk. Ingatannya masih jernih untuk memutar ingatan tentang tadi malam.
Piano dan Vincent.
Serta, terakhir dia ingat, adalah dirinya tertidur di kamar pria itu selagi mendengarkannya memainkan piano. "Nona Axelia?" tegur suara seorang perempuan. Terdengar asing. Axelia belum mendengar suara perempuan ini selain Hannah saja. Dia menoleh ke arah suara, dan bayangan jiwa seseorang berdiam di dekat ranjangnya.
"Kau siapa?" tanya Axelia.
"Perkenalkan, namaku Isabel." Isabel namanya. Seorang gadis yang tampak lebih muda dari Axelia. Seragam kepolisian militer melekat pas di badan langsingnya. Duduk memperhatikan dengan lekat sosok Axelia selama sepagian ini sambil kepalanya menebak-nebak heran tentangnya sebelum dia terbangun.
"Apa aku ada di kamarku?" Pertanyaannya mengundang kernyitan di kening Isabel. "Kupikir ini adalah ruangan tempatmu tidur, bukan?" aneh Isabel.
"Apakah tidak ada piano di ruangan ini?" Axelia tidak tahu. Dia bingung.
"Tidak ada..." jawab Isabel. Lalu Axelia menurunkan bahu lega. Lantas, apakah Vincent yang mengantarkannya ke kamar semula? "Di mana Hannah sekarang?" tanyanya kemudian.
"Hannah?" Sesaat Isabel mencoba mengingat wajah seseorang bernama Hannah. "Oh... Satu-satunya wanita yang bersama rombongan Nightroad Zero? Dia sudah pergi dengan kelompoknya."
"Ke mana?" Axelia dapat merasakan detak jantungnya berdegup kencang tiba-tiba. "Jangan bilang Aiden juga...."
"Ya. Mereka akan berangkat ke tembok Berlin. Markas Nightroad Zero," tandas Isabel. Tanpa berlama-lama terbengong di kamar, Axelia menyingkap selimut. Dai terburu-buru ke luar asrama. Isabel di belakangnya berlari kecil mengikuti. "Kau mau pergi ke mana?" Seruan Isabel tidak ditanggapi gadis itu. Axelia berlari tanpa hambatan di lorong.