"Mom?" Jane duduk di sebelah Ibunya, yang lagi sibuk main handphone.
"Nih." Wanita itu nunjukin foto villa ke Jane.
"Gimana? Kamu tinggal di situ selama seminggu. Sendiri atau ajak temen, terserah. Mom sama Dad ada urusan kantor."
"Lah, emangnya buat apa, Mom? Jane 'kan udah biasa sendiri di rumah."
"Biar kamu lebih mandiri, lah. Bisa jalan-jalan ke mana aja."
Anak itu noleh ke Ibunya. "Emang ini di mana, Mom?"
"Di Jogja. Bagus gak villa-nya?"
Jane ngegeleng pelan, sambil merhatiin gambar itu. "Rumahnya serem. Jane gak suka rumah kayu."
"Masa, sih? Kayu itu lebih nyaman, dingin, pokoknya kamu bakalan suka."
"Ih tapi— hah ... Mom dapet foto ini dari mana? Biasanya gak pernah kayak gini."
"Eh? Emang gak pernah, ya? Setau Mom, pernah kok." Dia matiin hp-nya, ditaruh di meja.
"Udah lah, pokoknya kamu harus tinggal sementara di situ. Ditambah lagi, harganya juga murah banget. Di sana ada pemandunya juga."
"Tapi, Jane tetep takut, Mom. Why you forced me?"
Ibu itu membelai rambut anaknya, lalu mengecup keningnya. "Kalo kamu takut, kamu ajak Jolie sama Joy aja. Kalian bisa jalan-jalan ke Malioboro, Candi Borobudur, atau kemana pun."
Jane mendesah pasrah, gak lama ngangguk. "Iya, nanti Jane bilang sama mereka berdua. Jane mau ke kamar lagi."
"Besok, ajak mereka ke sini, ya. Mom mau pesen tiketnya dulu."
"Iya, Mom. Up to you." Dia berdiri, balik ke kamarnya.
Ting!
Jobohong
jane, gue udah di rumahnya joy
Jane mendecak. "What the hell?"
——☠
Jolie berhentiin motornya di depan rumah Joy. Pintu rumahnya ketutup rapet banget.
"Kok gak ada orang, sih?"
Rumah Joy itu gak ada semak-semak segala macem. Mentok-mentok cuma ada tanaman adenium.
Jolie turun dari motor, ngendap-ngendap masuk ke dalem rumah Joy.
Dia buka pelan pintunya yang gak dikunci itu.
Karena gak mau buang waktu, Jolie langsung lari ke kamar Joy. Tapi, belom sampe depan pintunya, dia udah ngerasa mual, dan mau keluarin isi perutnya.
Salah satu temen Joy itu, langsung gedor-gedor pintu kamarnya. Dia gak tahan lagi sama bau di belakang badannya.
"JOY, BUKA!"
Selang beberapa detik, pintu langsung dibuka sama Joy. Dia tarik tangan Jolie ke dalem kamarnya yang sangat-sangat berantakan.
"J-Joy, sebenernya kenapa?"
Joy angkat kepalanya, natap mata Jolie. "Lo ngapain ke sini?
Sedangkan Jolie berusaha natap balik mata Joy yang merah, sembab, dan berkaca-kaca.
"LO NGAPAIN KE SINI?!"
Dia kembali nundukin kepalanya, juga keluarin air matanya. Rasa penyesalan, selalu datang di akhir. Dan Joy sedang mengalaminya sekarang.
Jolie maju selangkah, bawa Joy ke dalem dekapannya. Masa bodo sama baju bagian bahunya yang udah basah, dan telinga kirinya yang berdengung karena isakan temennya.
Tenggorokannya mulai tercekat. Jolie gak tega sama Joy. Dia gak ngelakuin apa-apa, tapi harus liat pembunuhan secara langsung.
Jolie semakin eratin pelukannya, bersamaan dengan air yang turun dari matanya. Joy gak berhenti nangis, tapi tubuhnya semakin lemes.
"Peluk gue balik, Joy. Tumpahin semua perasaan lo ke gue."
Belom lama Jolie ngomong, perlahan Joy lingkarin kedua tangannya ke punggung cewek di dekapannya.
"Duduk, yuk." Joy ngangguk. Dengan sergap, Jolie tuntun Joy duduk di tepi kasurnya.
"Gue ambilin minum dulu, ya."
Jolie lari ke arah dapur, tapi pas gelasnya udah dipegang, tiba-tiba dia gak bisa nahan rasa mualnya lagi.
Cewek dengan hoodie item itu, beralih ke arah kamar mandi. Keluarin isi perutnya, sekaligus rasa kerongkongannya sangat sakit.
"Ah, gila. Gara-gara padang, kerongkongan gue jadi pedes banget." Jolie mem-flush toilet.
Waktu dia balik badan, tubuhnya langsung menegang hebat.
"S-Simon," ucapnya, terbata-bata.
"Eum, Jol. Gue minta maaf, atas kesalahan gue selama gue masih injek tanah. Terutama Joy. Tolong sampein ke dia, gue sungguh-sungguh minta maaf."
"Simon? Lo masih hidup?" Jolie tersenyum. Tapi saat dia mau nyentuh pundaknya, tangannya malah jatoh.
"S-Simon ... gue gak bercanda."
"Tolong kasih tau Joy, ya. Hery bukan orang yang baik. Dia yang buat gue gila, dan akhirnya jadi overprotect sama Joy. Gue gak mau dia kenapa-napa lagi. Once again ; tolong jaga dia, Jol."
Bukannya terus menatap, Jolie malah mengedipkan matanya. Itu membuat dia tidak bisa lagi melihat mahluk bernama Simon.
Jolie mengambil gelas tadi, lalu berjalan cepat menuju kamar Joy.
Dia menyodorkan gelas itu padanya.
"Joy, tadi Simon nunjukin dirinya. Dia minta maaf. Dia juga bilang : Hery bukan orang yang baik. Jadi gue mohon, lo jauhin Hery dan berhenti nge-fans sama dia."
Joy menggeleng pelan. Meremas gelasnya, sampai jari-jarinya memutih.
"Hery orang yang baik, Jol. Dia gak mungkin nyakitin gue, apa lagi bunuh Simon!"
"Lo bener-bener udah diracunin, ya? Lo harusnya ngerti. Orang ganteng, good looking, perfect, gak meyakinkan he is a good person!" Dia netralin napasnya. "Use your brain!"
Jolie mendesah kecil, sebelum ia mengulum bibirnya sendiri. Sedikit menyesal karena udah marahin Joy di situasi kayak gini.
"Lo kemanain mayatnya Simon?" tanya Jolie, sambil duduk di sebelah temannya.
"Kayaknya dia udah diseret sama orang itu." Joy gelengin kepalanya. "Gue gak tau Simon dikubur layak atau enggak. Daritadi gue di kamar."
"Cerita ke gue, gimana kejadiannya?" Belom juga Joy keluarin huruf pertamanya, suara langkah kaki mendekati mereka.
Tangan Jolie menindih leher Joy. Mereka sama-sama tiarap di atas kasur.
Kenapa Jolie keliatan bodoh banget?
Mereka tiarap di atas kasur, fungsinya untuk apa?
Seseorang mendorong keras pintu kamar.
"OH MY GOD, I WANT TO PUKE! Banyak banget darah di depan kamar lo—"
Jolie melempar bantal ke muka seseorang itu. "Berengsek. Lagi kayak gini, lo malah bercanda."
Sedetik setelah cewek itu protes, orang di depannya memasang muka datar.
"Lo kira gue bercanda, hah?!" Orang itu melempar balik bantal, pada cewek yang melempar ke mukanya.
"Mikir, dong! Lo juga pasti jijik!"
"Jane!" Orang yang dipanggil Jane itu, menoleh ke Joy. "Jangan berantem."
"Dia yang pancing dulu—"
"Jane, please." Jane terdiam, saat Joy mulai menatap matanya.
"Tutup pintunya, goblok," perintah Jolie. Wanita itu langsung saja membantingnya.
"Ini rumah gue. Jangan seenaknya rusakin benda-benda di sini."
Jane menghela napasnya, lalu dengan amat terpaksa, ia duduk di samping Joy.
"Kalo rusak, gue yang ganti."
"Ups, sorry. Itu bukan duit lo pada. Duit orangtua lo. Gak usah begaya— aduh." Jolie elus-elus jidatnya, gara-gara Jane ngejitak.
"Songong."
Jolie melirik sinis Jane. "Yaudah, Joy. Ceritain."
"Jadi, ceritanya gini ...."
—
a/n : guys, aku boleh minta rating untuk book ini? biar aku tau, cerita aku bagus apa enggak. terimakasih.