"Joy, buka pintunya." Simon berbisik, dengan penekanan di setiap kalimatnya.
Joy yang berada di dalam, langsung menggeser lemari dan sound system-nya. Sedangkan boneka, dia lempar asal ke belakang.
"Tunggu gue, Sim. Gue pasti nyelamatin lo."
Setelah semuanya gak halangin pintu lagi, Joy langsung buka pintu, dan terdapat Simon yang lagi noleh ke arah tangga.
Psikopat itu.
"Sim, ayo masuk!" Cewek itu mulai narik-narik tangan cowoknya. "Simon!"
Simon menoleh dengan tatapan sayunya. Lalu ia menarik Joy ke dalam pelukannya. Memeluk erat, sangat erat. Seperti tanda perpisahan.
"Joy, aku sayang banget sama kamu. Jaga diri kamu, ya. Gak usah takut. Aku di sini. Oh, enggak. Kalo kamu takut, kamu masuk ke dalem kamar, lakukan seperti tadi."
"Sim, kamu kenapa, sih?" Joy mau lepas pelukannya, tapi Simon makin eratin.
"Simon, aku gak bercanda! Maksud kamu
ap— what the?"
Orang dengan pakaian serba hitam itu, tersenyum kecil. Joy sempat merhatiin gestur tubuhnya yang sama persis kayak Hery.
Enggak. Pasti itu bukan Hery.
Joy salah sangka.
"Dia udah di belakang aku, ya?" Simon melepas pelukannya, beralih mengusap pipi lembut Joy.
"Masuk ke kamar."
Grep
Orang itu menarik baju belakang Simon, lalu membantingnya, hingga punggungnya terbentur tembok.
Bodohnya, Joy tidak langsung menuruti permintaan Simon. Dia masih berdiri tegak di ambang pintu. Melihat kejadian, saat orang itu mencongkel mata kanan Simon, sampai dia menjerit sekeras-kerasnya.
Kedua kaki Joy rasanya udah lemes aja. Dia pengen diperlakukan yang sama dengan pacarnya. Tapi, laki-laki itu gak mau ceweknya pergi bersama.
Tapi akan pergi secara perlahan.
"S-Simon."
Bola mata milik Simon bergelinding, tepat mengenai ibu jarinya.
Seketika, psikopat itu menoleh ke belakang. Dengan cepat, Joy membanting pintu itu. Menyenderkan punggungnya di balik pintu, menutup rapat-rapat kedua telinganya.
Rasanya Joy pengen muntah, sekarang. Tapi dia berusaha tahan, dan fokus sama Simon.
Sayangnya, Joy lupain Hery yang udah nelepon dia beberapa kali. Joy lupa, Hery khawatir sama dia.
Sreet sreet, BRAK
Berakhir, sampai sini. Nyawa Joy memang selamat. Tapi hatinya, hancur berkeping-keping.
Dia buka perlahan pintu kamarnya. Terlihat lantai yang sepertinya sedang banjir darah. Dan bola mata yang mengenai jempol kakinya.
Kedua wanita itu memeluk Joy. Membiarkan ia menangis, meluapkan kehilangannya terhadap orang uang dicintai.
"G-gitu ceritanya."
JANE TUH PENGEN NGEJERIT. Tapi mau gak mau, dia harus tahan, sampe keadaannya berubah jadi tenang lagi.
"Kalian jangan temenan sama gue lagi." Jolie elus-elus pinggangnya Joy. Dia gak mau temen sengkleknya ini depresi.
"Kalo gue gak temenan sama lo, gue gak punya temen lagi, Joy. Tetep jadi temen gila gue, ya." Gak lama, Jolie nepok pinggangnya Joy.
"Gak usah drama ya, kampret."
"Tau lo, Joy. Jaga omongannya, ngapa," kata Jane, yang gak sadar, kalo air matanya udah ngalir di pipi.
Joy semakin nangis diginiin. Siapa sih yang gak terharu, punya sahabat setia kayak mereka berdua? 'Kan langka banget.
Dia rangkul kedua temennya itu. Usap-usap kepala mereka. "Jane 'kan masih punya Jolie, Jolie juga masih punya Jane. Kenapa—"
"GAK ADA YANG MAU TEMENAN SAMA JANE // JOLIE!" seru mereka, bersamaan.
Jolie lepas pelukannya. "Bola matanya dimana, Joy? Gue pengen liat."
Jane menggeplak kepala cewek aneh, menurutnya itu. "Ngapain lo liat-liat bola mata orang? Kayak gak pernah ngeliat mata aja."
"Do I care, what are you talking about?"
"Ngajak ribut nih orang." Jane mau berdiri, tapi tangannya ditahan sama Joy.
"Tolong respect sama gue, kali ini aja. Gue lagi kehilangan cowok gue, selama-lamanya."
Jane ngehela napas halus, terus duduk di sebelah Joy lagi. "Maapin."
Dia ngangguk pelan. "Apa gue salah ya, deket sama Hery dan ninggalin Simon seenaknya? Daritadi, gue juga gak angkat telepon dari Hery, kok. Berarti 'kan, pembunuhnya bukan dia."
Joy noleh ke Jolie yang lagi naikin alis kanannya. "Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?"
"Lo 'kan bilang, lo curigain Hery. Padahal Hery gak ngapa-ngapain. Buktinya, dia bisa neleponin Joy," jelas Jane.
Yaudah lah, Jolie nyerah aja. Mereka berdua emang susah dibilangin. Liat aja, paling kena batunya.
"Enggak, sekarang gue udah gak curiga lagi. Cuma saran gue : lo berdua tetep waspada sama tuh orang. Feeling gue gak enak," ucap Jolie, menghaluskan kata-katanya sebaik mungkin.
"Jangan bikin gue tambah pusing, Jol. Lama-lama gue bisa gila, denger lo ngelantur terus."
'Nih berdua kenapa jadi mojokin gue, sih?' kesal Jolie, dalam hatinya.
"Tuh, dengerin." Ucapan Jane, memancing kedua tangan Jolie yang ingin memberi bogeman di pipinya.
"Coba cek hp lo dulu, Joy. Siapa tau si Hery nelepon lo lagi," ujar Jolie, yang diangguki Joy.
Benar saja. Saat Joy menyalakan hp-nya, tertera nama Hery di sana.
"Angkat, nih?"
Jolie mengangguk mantap. "Angkat, angkat. Loud speaker."
Joy memencet lingkaran hijau itu. "Halo,
Sim— eum sorry. Maksud gue Hery.
Jane dan Jolie menghela napas bersama.
"Gapapa, Joy. Btw, lo gak kenapa-napa, 'kan?"
"Enggak, Her. Tadi gue liat orang yang nguntit gue. Waktu Simon mau nyelametin gue, dia malah congkel matanya di depan mata gue, dan mungkin udah bunuh Simon. Sampe sekarang, gue gak tau Simon dibawa kemana."
"Yaudah, lo tenang aja. Biar gue sama temen-temen gue yang bantu cari jasad Simon."
"Iya, Her. Makasih."
"Berarti darahnya berceceran di situ semua, ya?"
"Iya, emang kenapa?"
"Mau gue bantu bersihin? Gue langsung ke sana, malem ini."
"Eum ...." Joy natap Jane dan Jolie bergantian. Menunggu jawaban mereka. Tak lama, dua sejoli itu mengangguk ragu.
"Boleh, Her."
"Okey. Gue tutup dulu, ya, mau mandi." Joy mendehem.
Tut.
"Jadi, si Hery mau ke sini?" tanya Jolie, dengan ekspresi datarnya.
"Iya, nanti malem."
"Eh, guys." Semua menoleh pada Jane. "My mom mau kita nginep di villa sementara. Mereka mau pergi. 'Kan pas banget ya buat lo, Joy. Biar fresh."
"Boleh, tuh. Villa mana?" tanya Jolie, yang lagi garuk-garuk lengannya.
"Jogja. Besok kita berangkat. Jadi siapin baju-baju lo pada, ya."
"Gila ya lo, Jane?" Dahi Jolie mengkerut. "Joy lagi sendirian di sini. Kita juga mesti beres-beres darah yang di depan. Gue juga belom mandi."
"Pake baju gue aja." Jane mengangguk setuju dengan usulan Joy.
"Pinter dikit ngapa, sih," cibirnya. "Besok pagi, kita ke rumah Jolie dulu, terus langsung ke rumah gue."
Jolie mendecak, lalu memindahkan posisi duduknya di sudut tembok.
"Btw, lo kenapa santai banget, Joy?"
Joy menoleh pada Jolie. "Santai apaan?"
"Lo kenapa gak depresi, gila atau apa, gitu? Barusan lo liat pacar lo sendiri dibunuh di depan mata lo. Bahkan matanya dicongkel, sampe gelinding ke kaki lo."
"Gue gak pernah cinta sama Simon." Kedua mata Jolie membelak sempurna, begitupun Jane.
"Oh, gue lupa bilang, ya? Gue sama dia cuma dijodohin. Walaupun ada rasa nyesel, dan sakit kehilangan dia. Itu gak sesakit, saat lo curiga sama Hery."