"Di sini aja, Her." Joy nepok bahu kanannya Hery. Segeralah Hery berhentiin motornya.
"Beneran, nih? Emang rumah lo yang mana, sih?"
"Nomor 10, catnya warna putih semua." Hery ngangguk, dan turun dari motornya.
Joy maju ke depan. "Makasih ya, Her. Udah nganterin gue."
Dia terkekeh, terus acak halus rambutnya Joy. "Sama-sama, Joy. Kalo ada apa-apa, cerita ke gue ya. Pasti gue langsung dateng buat lo."
"A-apaan sih, lo." Joy belakangin rambutnya ke belakang telinga.
"Lah, pipinya merah." Cowok itu cubit pipinya Joy. "Udah sana, langsung pulang. Nanti dicariin bonyok lo, lagi."
"Gue lagi sendirian, Her. Jadi ya, gak ada yang nyariin gue."
"Ow, lagi sendiri. Bukan kodein gue buat nemenin lo, 'kan?" Dia senyum semanis-manisnya ke Joy.
"Enggak, lah. Gila aja, lo."
"Siapa tau aja. Gue 'kan ganteng. Single, lagi. So perfect, yass." Hery nyisir rambutnya ke belakang, pake tangannya.
"Cih, sok ganteng." Joy mulai starter motornya. "Gue duluan ya, Her."
Dia ngangguk. "Iya, hati-hati di rumah. Kalo ada yang aneh-aneh, langsung telepon gue."
"Iya," balesnya, sebelum jalanin motornya ke rumah.
Joy gak sadar aja, orang yang ada di belakangnya lagi ketawa tanpa suara.
"Hadeh, akhirnya." Dia duduk di sofa, dan langsung nyetel tv-nya.
"Enak juga, ya. Punya cowok cadangan yang bisa ngertiin gue, dibanding pacar gak guna."
Oh, c'mon. Siapapun tolong keplak kepala Joy, sekali aja. Kayaknya dia udah gak waras.
"Mandi dulu, ah."
Joy jalan ke kamarnya, taruh tas, sekalian ambil baju sama dalemannya. Waktu di kamar mandi, dia denger sesuatu yang ngeganggu telinganya.
Dia langsung berhentiin aktifitasnya. "Itu suara apaan, sih? Ganggu banget."
DOGH! DOGH! DOGH!
"Eh, gila." Joy mulai panik. Dia cepet-cepet bilas badannya yang penuh busa itu.
DOGH! DOGH! DOGH!
"Woy, itu suara apa?" Dia gemeteran, pas mau pake bajunya. Alhasil, bajunya jatoh ke lantai basah itu.
"Oh, f-fuck."
DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH!
"Shit, shit, shit, shit, shit." Joy gak berhenti mengumpat, saat dia masukin baju kotornya ke dalem keranjang, dan lari ke kamarnya.
Dia lompat ke kasur, dengan hp yang ada di tangannya. Bergetar hebat, sampe ngetik sesuatu pun susah.
"J-Jane, J-Jolie tolong gue." Seketika salah satu benda terlintas di pikirannya.
Joy turun dari kasur, lari ke arah dapur, lalu ambil pisau yang paling tajem dan yang paling jarang dipake untuk motong makanan.
Dia kembali ke kamarnya.
DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH! DOGH!
Cewek ini udah coba telepon Jolie berkali-kali, tapi tetep gak diangkat-angkat. Akhirnya, dia nelepon Jane.
"J-Jane." Joy pencet lambang telepon rumah itu.
"Halo, Jo—"
"J-Jane, I need your help. Please, help me. I'm scared."
"What happend, Joy?"
"A-ada orang yang gedor-gedor pintu rumah g-gue, Jane. Gue gak tau itu siapa. Gue belom liat. Gue takut. Tolong gue, Jane." Wanita 21 tahun ini mulai terisak, dengan gigitan di bibir bawahnya.
"Iya, ok. Calm down. Tarik napas, buang." Joy ikutin kata-kata Jane.
"Lo kunci pintunya, 'kan?"
"Selalu!"
"Coba lo intip dari jendela. Kamar lo 'kan di atas, tuh. Dia pasti gak bakalan ngeliat."
"Tapi gimana, kalo dia—"
"Coba dulu, Joy. Gue tetep di sini."
Joy nelen air liurnya di ketegangannya. Tangannya berusaha kuat megang pisau, biar gak jatoh.
Perlahan, dia geser kordennya.
Terdapat seseorang, pake baju serba hitam. Dia merhatiin orang itu yang lagi gedor-gedor pintu rumahnya.
Pantesan Joy gak ngelakuin kesalahan, tapi kenapa dia—
"My God!" Dia langsung tutup korden, saat orang itu mengangkat kepalanya, dan nunjuk Joy yang lagi ngintip
"Kenapa, Joy?"
"Dia tau, gue lagi ngintip."
"Kunci kamar lo! Tutupin pintu lo pake sesuatu yang berat, supaya dia gak bisa masuk."
"Iya, iya!"
Joy langsung berdiri. Dia kunci dan tutupin pintu kamarnya pake lemari, sound system, juga boneka-bonekanya.
"Udah?"
"Iya, udah. Tapi gue masih takut, Jane. Gue belom mau mati."
"Mending lo telepon pacar lo atau temen-temen cowok. Biar mereka bisa nenangin lo."
"Ok, gue matiin, ya."
Tut.
Belom sempet pencet lambang teleponnya, dia udah nelepon duluan.
"Joy, kamu baik-baik aja 'kan? Aku khawatir sama kamu."
"E-enggak, Sim. Ada orang yang mau—"
DOGH! DOGH! DOGH!
Bukannya kembali dalam percakapan, Joy malah menangis. Terisak, tak tahan dengan kondisinya sekarang.
Dia takut banget. Sangat-sangat takut.
Diambang antara mati dan hidup.
"JOY, KAMU KENAPA?! JAWAB AKU!"
Joy semakin sesegukkan. Dia ngerasa bersalah, karena udah nuduh pacarnya yang enggak-enggak. Padahal Simon, orangnya care banget sama dia.
"A-aku ... ada orang yang gak dikenal, gedor-gedor pintu rumah aku, kenceng banget. Kayaknya dia mau bunuh aku."
"Tadi kamu pulang sama siapa?"
"H-Hery."
"HERY? Aku langsung ke sana."
"Tapi kenapa, Sim? Kok kayaknya kamu—"
Tut.
"Sial."
——☠☠
"Aku pulang." Waktu Jolie mau jalan ke kamarnya, kakaknya tarik kerah belakang dia.
"Cuci kaki, cuci tangan, cuci muka, makan, baru masuk kamar. Lebih bagus, kalo mandi."
"Apa sih, Kak? Mager."
"Cepet, gak! Aduin bunda, nih." Jolie mendecak, dan jalan menuju kamar mandi.
Abis itu, dia duduk melingkar bareng bunda sama kakaknya. Nasi padang yang udah di depan mata.
"Bunda gak beliin buat ayah?" tanya Jolie pada Ibunya yang sedang membuka bungkus kertas nasi padangnya.
"Dibeliin. Tapi yang gak pake nasi."
Jolie menganggukkan kepalanya beberapa kali, sebelum nasi padanya habis dalam 5 menit sekaligus.
"Aku duluan." Dia jalan menuju wastafel cuci piring, dan langsung mencuci piring bekasnya.
Sesudah itu, Jolie kembali ke kamarnya. Mengecek hp-nya yang belom disentuh sejak tadi.
Ada 10 miscall dari Joy, 2 miscall dari Jane.
Drrrtt drrrtt
"Kenapa, Jane? Miscall gue, dua kali."
"Jol, si Joy lagi ngadepin psikopat. Dia pengen banget masuk ke rumah Joy. Udah tau, rumahnya cuma dihuni sama dia."
"Anjir, bener 'kan! Tadi dia nafsu banget mau dianterin sama Hery. Dari awal, gue udah curiga sama dia."
"Lah, emang kenapa?"
"Cara dia mandang Joy, aneh. Waktu dia jalan ke parkiran bareng Joy, dia noleh ke gue, terus senyum creepy gitu. Gue takut hal aneh kejadian sama Joy."
"Enggak, semoga enggak."
"Tapi gue curiga si Hery yang lakuin ini ke Joy."
"Gak mungkin, Jol. Hery tuh baik banget. Dia gak bakal ada niat nyelakain Joy."
Jolie mendecak. "Kenapa kita gak ke rumah dia aja, sih?"
"Jangan! Dia lagi ditolongin sama pacarnya. Biar cowok aja yang ngurus masalah dia." Seketika keributan terjadi di rumah Jane.
"Eum, Jol. Bentar ya, gue dipanggil nyokap."
Tut.
"Aduh, gue khawatir banget sama si Joy. Apa gue ke sana aja, ya?" Jolie berpikir keras, sebelum ia mendapatkan keputusan yang paling tepat.
"Iya, gue harus ke sana!"