"Kau benar-benar menyukai, William? Eli, kau tidak serius kan?" ucap seorang perempuan berambut kecoklatan sebahu itu tidak percaya atas apa yang Eli tadi katakan kepadanya.
Merasa diberi pertanyaan, Eli hanya mengangguk sebagai tanggapan. Karena Jane adalah sahabatnya, maka dari itu ia secara terang-terangan bercerita jika dirinya menyukai kakak tirinya sendiri. Tapi karena Jane juga tahu bagaimana perlakuan William kepadanya dan betapa tidak sukanya pria itu dengannya, Jane menyatakan tidak setuju dengan perasaannya.
"Iya, aku menyukainya." kata Eli.
Jane menggeleng-gelengkan kepalanya masih tidak percaya dengan pengakuan sahabatnya itu, Bahkan Jane yang malah berjalan mondar-mandir merasa gelisah. Ya, setelah acara seminar selesai, Jane langsung menggiring Eli menuju ke ruang kelas yang masih kosong untuk membahas masalah ini. Jane mengkhawatirkan keadaan gadis itu jika hal ini terus dibiarkan.
"Apakah dia tahu?" tanyanya lagi.
Eli kali ini mendengus menanggapi pertanyaan dari Jane. Yang benar saja, jika William tahu dia pasti akan sangat membencinya.
"Apa kau gila? Tentu saja tidak, Jane. Pria itu tidak mengetahui aku memiliki perasaan lebih padanya." jelasnya dan mendapatkan hembusan nafas lega dari Jane. Apa dia memang sekhawatir itu?
"Syukurlah. Eli, aku tidak mau kau kenapa-kenapa." ucapnya dengan ekspresi sendu di wajahnya.
"Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja kok." katanya menenangkan sahabatnya itu.
Kepala Jane menggeleng dan ia memberingsut mendekati Eli sambil menyentuh tangannya, "Tapi Eli, William itukan--"
"Jane!" Eli memotong kalimat Jane cepat, ekspresinya pun tampak berubah dingin nan kaku. Sementara itu, Jane tersentak karena intonasi suara Eli barusan terdengar sedikit meninggi.
"Sudah kubilang jangan mengkhawatirkan apapun. Lagipula aku tidak akan mungkin berani mengatakan apapun padanya. Mengerti?"
Jane menghela nafas, ia pun mengangguk pelan, "Sebaiknya kau pegang kata-katamu. Aku tidak mau melihatmu terluka, Eli."
Eli menahan nafas, namun kemudian memaksakan senyumnya sebagai tanggapan dari perkataan Jane. Ia merasa berterima kasih atas perhatian dan kekhawatiran gadis itu, tapi disisi lain ia juga menginginkan keadaan dimana suatu hari nanti William juga memiliki perasaannya yang sama seperti dirinya.
******
"Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda." ucap asistennya memberi tahu.
Seorang pria yang awalnya sibuk menandatangani proposal yang menumpuk di mejanya itu ganti memandang asistennya, "Siapa? Aku sibuk." jawabnya acuh.
"Roseane, sir."
William mengetatkan rahangnya setelah mendengar nama itu disebut, ia pun mengisyaratkan pada asistennya untuk mempersilahkan wanita itu masuk. Dan tak berapa lama, wanita yang dimaksud tadi masuk dengan wajah berseri memandang ke arah William.
"Wil!" panggilnya tampak akrab.
William mendengus, "Mengapa kau datang kemari? Apa uangku kemarin kurang?"
Ekspresi Roseane yang awalnya antusias bertemu William langsung berubah sendu, "Aku tidak membutuhkan uang itu. Yang aku butuhkan adalah--"
"Anne, jika tidak ada pembicaraan penting sebaiknya kau keluar sekarang! Aku tidak ada waktu untuk meladenimu. Aku sibuk!" ujar William memotong kalimat Roseane.
Sementara itu wanita itu tampak bersedih, namun kemudian ia melakukan hal gila dengan melepas kancing blouse-nya satu persatu. Kemudian terpampanglah bra yang sedang dipakai-nya yaitu berwarna pink tidak selaras dengan warna kulitnya yang putih pucat.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!" bentak William merasa tidak percaya akan aksi jalang wanita itu.
Mata Roseane makin berkaca-kaca, "Jika kau hanya menganggap aku sebagai wanita one night stand-mu begitu saja. Maka, sentuh aku yang terakhir kalinya dan kemudian aku akan pergi menjauh dari kehidupanmu!" pintanya.
"Apa kau gila? Aku tak akan mengabulkan permintaanmu. Memangnya kau siapa? Prinsipku tidak pernah berubah. Sampai kapanpun kau hanya pasangan one night standku saja." tegasnya.
Roseane memang hanyalah satu dari banyaknya wanita yang pernah William jadikan sebagai pasangan one night stand-nya. Dan wanita itu bukan yang pertama baginya, bahkan yang lainpun tidak seribet Roseane yang selalu mendatanginya dengan tujuan agar mau mengakuinya sebagai kekasihnya. Apa dia gila? tentu saja dia gila.
Baginya, one night stand hanya boleh melakukan adegan seks sekali dan selepas itu tidak akan ada seks lagi karena prinsip mereka hanyalah untuk bersenang-senang dan sama-sama mencari kenikmatan. Bahkan dari sekian wanita yang sudah menjadi pasangannya, ia tidak pernah mengingat nama mereka walaupun sudah berkenalan diawal.
Dan bagaimana dirinya ingat dengan Roseane? karena wanita itu terus-menerus menerornya dengan mengatakan hal-hal gila. William tidak pernah menyangka bisa mendapatkan pasangan seperti wanita itu.
"Sebaiknya kau bergegas pergi dari sini atau kupanggilkan security untuk menyeretmu pergi dari sini!"
Roseane tersenyum miring, "Dan kemudian semua karyawanmu akan salah paham melihatku dalam keadaan seperti ini. Begitu?"
Brakk!
William baru saja menggebrak mejanya begitu keras sambil menatap tajam mata Roseane. Wanita itu sudah membuatnya merasa emosi.
"Kau menantangku?!"
Roseane berdecih, "Apapun akan aku lakukan agar kau mau menerimaku!"
"Jangan buat aku memilih melukaimu!" ancam William.
Roseane tertawa, dia seakan menganggap remeh ucapan William barusan. Namun kemudian terdengar bunyi keras yang cukup memekik bagi pendengarnya, sementara itu Roseane tampak sudah menutup kedua telinganya begitu syok.
Dorrr!
Ternyata suara itu berasal dari pistol yang William miliki yang awalnya terpajang di tembok sebagai hiasan, namun kini berfungsi memperingatkan seorang Roseane yang amat bebal dan mengganggunya.
"Jika kuisi peluru di pistol ini sekarang, kau tidak akan selamat!"
Nafas Roseane tampak tidak beraturan, ia bahkan tak berani mengkangkat wajahnya hanya untuk sekedar memandang William. Ia kemudian membenarkan kancing-kancingnya yang sengaja ia buka tadi dengan terburu-buru. Ya, wanita itu sudah salah meremehkan seorang William Martinez.
"Aku akan pergi!" Roseane berniat untuk pergi, namun terdengar suara tembakan kedua dan hal itu membuatnya sontak jatuh terduduk ketakutan.
"Hanya itu?" tanya William.
"Aku tidak akan kemari lagi!" jawabnya dengan suara bergetar.
Dorrr!
Terdengar suara tembakan ketiga, meskipun tanpa peluru, bunyi yang berasal dari letupan pistol itu begitu menakutkan.
"Aku janji! Aku tak akan mengganggumu lagi, Wil! Aku janji!" ucap Roseane menyerah.
"Jika kau tak bisa memegang janjimu! Aku tidak akan main-main menembak kepalamu itu! Sekarang pergilah!" usirnya.
Dan Roseane segera keluar dari ruangan itu dengan berlari terbirit-birit seperti baru saja melihat hantu. Sepeninggal Roseane, William mencium pistolnya merasa terselamatkan.
"Kau memang bisa diandalkan. Sekarang, aku akan mengembalikanmu ke tempatmu." ucapnya sambil menempelkan pistol itu ke tempat semula.
Dan bertepatan dengan itu, tiba-tiba pintunya terbuka dari luar dan ternyata dia adalah asistennya tadi.
William menoleh, "Ada apa, Christ?" tanyanya.
Christ membungkuk memberi hormat, "Sir, nyonya datang berkunjung bersama nona Eli."
Mata William sontak membulat karena kaget, "Apakah Mama melihat Roseane yang baru saja keluar dari ruanganku?"
Christ tampak berdiri dengan gelisah, ia segera bersimpuh di bawah kaki William meminta maaf karena keteledorannya barusan.
"Maafkan saya, sir. Saya tidak mengantisipasi kedatangan nyonya--"
"Sudahlah! Aku bisa mengatasinya. Sekarang biarkan Mama masuk." katanya.
Dan kemudian, Mama William masuk ke dalam ruangannya diikuti seorang gadis dibelakangnya dimana dia adalah Eli. William menyambut kedatangan Mama-nya dengan senyum ramahnya.
"Mama, mengapa tidak memberitahuku jika mau berkunjung?" sapanya sambil memeluk Mama-nya
Lea, Mama William justru malah menampakkan berekspresi dingin kepada putranya itu. Sementara itu, Eli tampak menunduk di belakang Lea. William memandang Eli tajam dan mengisyaratkan pada gadis itu agar keluar dari ruangannya namun Lea mencegahnya.
"Hormati adik tirimu, Wil. Dia kemari karena aku yang mengajaknya!" kata Lea.
William menghela nafas kesal, "Ma?!" protesnya.
"Saya akan keluar--"
"Tidak, Eli! Kau tetap disini!" cegah Lea. Dan kemudian Lea menatap William tajam,
"Siapa wanita tadi, Wil?" tanyanya.
William sudah menduganya jika mama-nya itu akan mempertanyakan siapa Roseane.
"Itu privasiku, ma."
Kepala Lea menggeleng tak percaya karena jawaban William, sementara Eli yang mendengar pertengkaran kecil antara mama dan kakak tirinya itu hanya bisa diam menyimak. Ia bahkan tidak berani bergerak sedikitpun dari posisinya.
"William?!"
"Mama, aku sudah besar. Umurku tahun ini sudah menginjak 25 tahun. Aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri tanpa bantuan mama. Toh, papa juga yang mengajariku--"
"Wil, jangan melibatkan mendiang papa-mu dalam permasalahan ini. Aku tahu kau sudah dewasa. Tapi, apakah aku salah jika mengkhawatirkan putraku yang jarang pulang untuk mengunjungi mama-nya sendiri?" tanya Lea.
Eli menggigit bibirnya karena gugup, rasanya ia ingin beranjak pergi dari sana karena percakapan mereka semakin mengarah pribadi. Namun sialnya lagi-lagi ia hanya bisa diam menunduk.
Mendengar ucapan Lea, William melirik Eli yang berada di belakang mama-nya. Kemudian ia menatap Lea kembali, "Kita bisa berbicara lagi nanti, ma. Berdua." tekannya.
Deg!
Eli merasa hatinya teremas sakit. Sebenci itukah William padanya? Ia mengangkat kepalanya perlahan untuk menatap pria itu yang ternyata juga tengah menatapnya tajam. Disaat mata mereka bertemu, entah mendapatkan keberanian darimana, Eli yang hampir tidak pernah berani menatap William itu, justru kini secara terang-terangan membalas tatapannya.
Kemudian Eli kembali menunduk lemas setelah William yang menghentikan tatapan mereka barusan. Eli mengepalkan tangannya kuat sampai jari kukunya memutih.
Bagaimana mungkin aku bisa menyukaimu? batinnya.