Blam!
Eli menutup pintu mobil William cukup keras setibanya mereka di rumah, gadis itu bergegas masuk ke dalam tidak menghiraukan William yang memanggil namanya berkali-kali untuk mencoba menghentikannya.
"El, kubilang berhenti!" William kini berhasil menghentikan Eli dengan menahan lengannya.
Sementara itu Eli nampak enggan menghadapi William yang nampak ingin mengajaknya untuk berbicara serius, semua ini gara-gara Leon karena insiden di taman tadi. Bisa-bisanya mereka berdua tahu jika curhatan tentang temannya tadi jika dia menyukai kakak tirinya hanyalah alibinya untuk mencurahkan kebimbangannya pada William.
"El, kau tidak bisa terus-terusan menghindar. Kita harus bicara!" tegas William.
"Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan kak." elak Eli.
"Demi Tuhan, Elyana Anderson. Jika kau tidak mendengarkan aku, aku bisa bertindak lebih jauh daripada ini." ucap William begitu tegas sehingga membuat Eli mau tidak mau berhenti menghindar. Ia menghela nafas panjang dan mulai memerhatikan pria itu.
"Mengapa kau suka sekali memaksa sih, kak?" heran Eli.
"Aku tidak akan begini jika kau mau menurut, El."
"Iya, dan sekarang apa?"
William menatap Eli serius, kemudian ia meraih tangan Eli dan menggenggam tangannya yang terasa mungil dalam genggamannya. Hal itu tentu saja membuat Eli hampir kehilangan kewarasannya, kenapa sih dengan pria itu? apakah dia tidak tahu jika sekarang jantungnya seperti mau melompat keluar karena sikapnya ini.
"Apakah itu benar? selama ini kau menyukaiku?" tanya William membuka suara.
Eli menghela nafas, mau bagaimana lagi? ia sudah tidak punya cara lain untuk mengelak. Lagipula mungkin ini kesempatannya untuk mengatakan kepada William jika selama ini ia menyukai pria itu. Eli tahu dengan status mereka, tapi sebenarnya ia juga penasaran dengan perasaan William kepadanya.
"El?" panggil William.
"Benar, selama ini aku menyukaimu kak Wil. Bahkan dari pertemuan pertama kita, aku sudah jatuh cinta kepadamu," Eli mulai mengungkapkan perasaannya kepada William.
"Tapi aku sadar kak pada status kita, jadi aku hanya menahannya dan berusaha menyembunyikannya darimu. Lagipula waktu itu kau juga terlihat sangat membenciku--"
Diluar dugaan, tiba-tiba William memotong kalimatnya dengan sebuah ciuman di bibir. Sontak matanya membulat karena terkejut, William menatap Eli dengan mata elangnya. Dan kemudian mendekatkan wajahnya kembali melanjutkan ciuman itu, dia dengan lihai mengeksplorasi setiap sudut bibir Eli. Sangat lembut, hingga Eli pun sampai terbuai. Kini tangan gadis itu sudah mengalung pada leher William dan mulai membalas ciuman bibir William.
Dan tidak berapa lama, William melepaskan tautan bibirnya dengan Eli. Gadis itu langsung menghirup pasokan udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi oksigen di jalur pernafasannya. William tersenyum seraya mengusap bibir Eli yang nampak membengkak hasil perbuatannya.
"Aku tidak pernah membencimu, hanya saja aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapimu. Dan mungkin caraku selama ini salah dan membuatmu salah paham."
"Bagaimana aku tidak salah paham? kau bahkan membuatku takut, kak." protes Eli dan disambut tawa renyah William yang menggema di ruang tamu itu.
"Aku tidak bermaksud menakutimu, sungguh." William nampak bersungguh-sungguh dengan kalimatnya dan hal itu membuat Eli tersenyum.
"Mungkin kau benar, setelah mengenalmu hingga detik ini, kau memang tidak menakutkan, tapi lebih tepatnya pemaksa sih."
William mengernyitkan dahinya. "Maaf, nona. Aku bukan orang yang seperti itu."
"Tapi ada buktinya, sir."
"Dan apa itu?"
"Christ!"
Lagi-lagi kalimat Eli membuat dahi William mengernyit. "Aku tidak pernah memaksanya, tapi jika maksudmu sering menyuruhnya, aku sering melakukannya. Kan dia dibayar untuk itu." jelas William begitu logis, Eli pun menyerah.
"Kau benar, sir. Sepertinya aku sudah salah menyebutmu begitu."
William terkekeh. "Seharusnya kau mencari data yang valid, jika mau menyerangku."
"Oke, aku akan membuka lowongan detektif terpercaya besok." jawab Eli nampak serius. William pun dibuat gemas.
"Tidak perlu jauh-jauh menyewa detektif, aku akan memberitahumu apa kelemahanku dari mulutku sendiri. Bukankah itu lebih valid?"
Eli terdiam. "Kak, kau tidak boleh menyerah sebelum perang dimulai."
"Ah, jadi secara terang-terangan kau mau mengajakku perang?"
"Entahlah, jika ini disebut perang, apa yang sedang kita perebutkan?" heran Eli pada dirinya sendiri.
William ikut berpikir, katakan ini konyol. Kecanggungan mereka sontak menghilang digantikan obrolan yang membuat hatinya menghangat. Eli selalu tahu bagaimana caranya mengobrol dengan seru walaupun dengan topik yang berbobot.
"Kak Wil, aku serius. Kenapa kita mau perang?"
"Karena kau yang memulainya."
"Aku? tidak, justru kak Wil yang memulainya dulu."
"Benarkah? kalau begitu tidak jadi perang. Kita berdamai saja."
Eli terkekeh. "Kak Wil, semakin kesini humormu semakin membaik."
"Hei, humorku itu selalu bisa membuat orang tertawa dari dulu." ucap William tidak terima.
"Apakah kau membayar mereka agar tertawa setelah mendengar candaanmu?"
"Hei, nona. Dimana letak sopan santunmu? apakah kau sedang meroastingku, atau semacamnya?"
"Tidak, sir. Ini bukan ajang stand up comedy, jadi kenapa aku harus?"
William mengangkat kedua tangannya ke atas mengisyaratkan jika ia menyerah. "Mari kita akhiri percakapan ini, kau harus tidur, El."
"Mungkin kau benar kak, besok kita akan menghadiri acara pernikahan Dylan."
Ah, Eli benar. Besok Sissy akan menikah juga.
********
"Kau sudah siap?"
Eli mengangguk. William pun menggandeng gadis itu setelah turut dari dalam mobil. Blitz lampu dari kamera langsung menyambut kedatangan mereka. Hari ini adalah pernikahan Dylan dan Sissy, William maupun Eli diundang sebagai tamu undangan. Dan kini mereka datang sebagai partner.
"Tolong berpose!" ucap salah satu wartawan.
William menaruh tangannya di pinggang Eli dan mulai berpose mengikuti arahan wartawan yang datang ke acara itu. Ia mengutuk Sissy, mengapa harus disediakan karpet merah untuk tamu undangan.
"Tuan William, anda sudah lama tidak menghadiri acara resmi. Dan sekarang tiba-tiba anda datang bersama seorang perempuan. Apakah dia kekasih anda?"
Eli yang dari awal sudah merasa gugup mencengkram lengan milik William, pria itu melirik tangan Eli dan kemudian kembali memandang para wartawan sambil tersenyum.
"Kami bukan sepasang kekasih, tapi tidak tahu nanti."
Eli menatap William, pria itu tersenyum.
"Kami akan sangat menantikan kabar kalian berdua selanjutnya."
"Terima kasih, tapi aku tidak ingin mengeksposnya. Karena bagiku, itu adalah rahasia pribadi." tegasnya.
Dan mereka pun pergi dari sana setelah William pamit untuk masuk, meskipun para wartawan masih ingin menanyakan banyak hal tentangnya.
Eli nampak menghela nafas lega. "Ah, rasanya aku hampir mati ketika berdiri disana tadi."
"Tenangkan dirimu, El. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, aku akan menjagamu." William mengatakan itu dengan serius.
"Terima kasih, kak."
"Hei kalian!" tiba-tiba Sissy dan Dylan berjalan mendekati mereka. Sissy nampak cantik dengan gaun putihnya, sementara Dylan terlihat tampan dengan tuxedo hitamnya. Benar-benar pasangan yang sangat serasi.
"Selamat ya atas pernikahan kalian berdua." ucap Eli begitu tulus,
"Terima kasih. Wah, apakah kalian datang sebagai partner malam ini?"
"Tentu saja, mereka kan sepasang kekasih." goda Sissy.
"Tidak, apa yang sedang kau bicarakan huh?"
"Oh iya, kalian berdua minggu depan ikut ke Hawaii kan?"
"Tentu saja!" jawab Eli antusias, William hanya menggelengkan kepalanya melihat Eli yang merubah moodnya begitu cepat.
"Eh, ngomong-ngomong, mengapa Christ tidak datang hari ini? Padahal aku sudah mengundangnya." tanya Sissy.
"Dia izin cuti selama dua minggu dan lusa mungkin sudah masuk."
"Benarkah? Lalu mengapa Lily juga tidak datang?"
"Akhir-akhir ini dia sering diajak kekasihnya untuk mendampinginya tour dunia."
"Oh iya, Lily pacaran dengan idol terkenal itukan?" tanya Sissy memastikan.
"Siapa?" bingung Dylan yang tidak pernah mengikuti berita artis.
"Itu yang tampan."
"Aku maksudnya?" jawab Dylan percaya diri.
Sissy berdecak, "Kau bukan idol, sayang."
"Lagian kau memuji pria lain tampan di depanku." ucap Dylan nampak cemburu.
Eli dan William memutar bola matanya jengah melihat interaksi pengantin baru itu.
"Ah, kalian berdua membuatku ingin muntah." beo Jungkook.
Dylan mengedikkan bahunya dan secara terang-terangan kemudian mencium pipi Sissy.
"Nikmatnya jadi pasangan sah di mata agama dan negara."
William mencebik.
"Ter-se-rah!"