Eli berusaha melepaskan cekalan kuat tangan William di lengannya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca menahan perih di tangan sekaligus hatinya itu. Sementara William malah memandang Eli dengan penuh kebencian.
"Kau puas melihatku dimarahi habis-habisan oleh mamaku kan?" katanya menuduh Eli.
Tentu saja Eli langsung menggelengkan kepalanya menampik tuduhan William yang dilayangkan kepadanya. Bagaimana mungkin ia bersikap senang diatas penderitaan orang lain? Eli masih punya hati. Bahkan ia tadi berdiri tidak nyaman diposisinya dan ingin sekali pergi untuk memberikan ruang bagi mereka, namun Lea malah mencegahnya. Dan kini ia terkena imbasnya karena William malah melampiaskan marahnya padanya.
Ya, walaupun tadi ia turut mendengar pengakuan pria itu jika wanita yang dilihat Lea keluar terburu-buru dari ruangannya tadi ternyata adalah pasangan one night stand-nya. Eli bisa apa? dia kan juga ada di dalam ruangan itu saat dia mengaku.
"Mana mungkin aku senang melihat kakak seperti itu tadi? Aku tidak sejahat itu." ujar Eli membela dirinya sendiri.
William berdecih, "Benarkah kau tidak merasa senang? Kau pikir aku percaya? bukankah kau dan pria itu datang hanya untuk menghancurkan keluargaku?!" kata William tidak percaya dengan penjelasan Eli.
Dada Eli bertambah sesak ketika William semakin menuduhnya yang tidak-tidak dan malah menyudutkannya. Terlebih lagi, dia juga sama sekali tidak memiliki rasa sopan santun pada papa-nya.
Selama ini, Eli mungkin akan diam saja disaat William memandangnya dengan penuh kebencian. Namun jika pria itu sudah menyangkut pautkan dengan papa-nya, tentu saja Eli berhak tidak terima kan?
"Bisakah sedikit saja kau menghormati papaku? baiklah, aku tahu kau membenci kami, tapi papaku lebih tua darimu."
William marah besar, ia pun menyudutkan Eli ke sudut ruangannya. Kebetulan Lea sedang berada dickamar mandi sekarang, dan meninggalkan Eli berduaan dengannya. Tentu saja William tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyadari posisi gadis itu di keluarganya. Karena William sangat membencinya.
"Kau menyuruhku apa? hormat? Cih! Mengapa aku harus melakukannya dan kenapa juga aku harus menghormatinya?"
Dada Eli makin terasa sesak, ia menahan tangisnya sekarang sampai menggigit bibirnya begitu keras. Eli merasa harga dirinya diinjak-injak karena ayahnya direndahkan sampai serendah-rendahnya. William yang melihat itu mencengkram dagu Eli agar menatapnya.
"Mau menangis, eh?" ejeknya.
Eli berusaha melepaskan diri, namun William malah tidak memberinya ruang dan semakin menyudutkannya.
"Kau merasa tersakiti dengan ucapanku barusan? Kau mau aku meminta maaf padamu?" tanya William seraya mendekatkan kepalanya hingga kini jarak wajahnya dengan wajah Eli hanya berjarak beberapa senti.
"Kau hanya orang miskin. Jika pria itu tidak menggoda mamaku, kau tidak akan hidup enak seperti sekarang. Mengerti?" jelas William kepada Eli sehingga membuatnya mengepalkan tangannya kuat sampai kuku jarinya memutih.
Setelahnya, William melepaskan cengkraman tangannya pada dagu Eli sampai meninggalkan beberapa jejak garis-garis kecil membentol di area itu.
Dan bertepatan dengan itu, tak berapa lama Lea keluar dari kamar mandi memandang William dan Eli bergantian.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
William mengedikkan bahunya acuh, "Mama memakai kamar mandiku terlalu lama." kata William lalu ganti masuk ke dalam kamar mandi setelah Lea keluar dari sana.
Lea kemudian memandang Eli khawatir, "Eli, apa William melakukan sesuatu padamu?"
Eli menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, ma. Kak Wil baik kok."
Mendengar itu Lea menghela nafas lega, "Ah syukurlah. Sudah waktunya makan siang, bagaimana jika kita makan bersama dengan William--"
"Tidak, ma. Aku harus kembali ke kampus karena aku ada jadwal kelas sore." tolak Eli halus.
"Benarkah? Bagaimana jika kita makan siang dulu? lagipula sore kan masih lama."
Eli menggeleng pelan, "Aku harus datang lebih awal karena hari ini aku ada jadwal menjadi asisten dosen."
Lea tampak terlihat kecewa, namun kemudian ia memahami putri tirinya itu.
"Baiklah, kalau begitu kita makan malam saja di rumah nanti. Bagaimana jika kau sekarang kuantar ke kampus?" tawarnya.
Karena merasa tidak enak sudah menolak ajakan makan siang Lea, Eli pun mengiyakan tawaran wanita itu untuk mengantarnya ke kampus. Mungkin dengan begini bisa mengurangi kekecewaan Lea.
"Boleh, ma."
"Baiklah, ayo!" ajak Lea pergi dari ruangan itu.
Dan tanpa sepengetahuan mereka, terdengar suara desahan panjang dari dalam kamar mandi dimana William berada.
********
"Hati-hati dijalan!" kata Eli pada Lea yang sudah melaju pergi dengan mobilnya setelah mengantarnya selamat sampai kampus.
Ia menengok jam tangannya dan kelas sorenya masih kurang beberapa jam lagi. Sebenarnya ia tidak ada jadwal menjadi asisten dosen tadi, itu hanya alasannya saja menghindari ajakan makan siang Lea. Bukannya ia tidak suka makan bersama wanita itu, berhubung dia tadi mau mengajak William, jadi ia memilih mencari alasan untuk menolaknya terlebih lagi setelah insiden di kantor tadi.
Eli menghembuskan nafasnya kasar, "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Kau tidak boleh banyak pikiran." ucapnya menyemangati diri sendiri.
Meskipun dadanya masih sedikit terasa sakit, Eli tidak mau terlalu larut memendam kesedihan. Menurut mendiang ibunya dulu, manusia tidak boleh memendam kesedihan terlalu lama, nanti mereka bisa sakit.
Eli tidak mau merasakan sakit, ia ingin selalu sehat karena dirinya memiliki banyak mimpi yang harus ia gapai. Dan salah satunya adalah membahagiakan papa-nya yang sudah menjaganya dengan baik sepeninggal mendiang ibunya.
Apakah ibunya dulu meninggal karena sakit? jawabannya tidak. Ibunya dulu meninggal karena kecelakaan. Eli menggeleng ketika ingatan itu muncul kembali. Ia tidak mau mengingat detik-detik terakhir kepergian ibunya dari dunia ini, karena sejak insiden itu ia berjanji untuk selalu mengenang kebahagiaan yang sudah diciptakan ibunya padanya.
Dan jujur saja kini Eli sangat merindukan ibunya.
Disaat Eli masih saja diam diposisinya semenjak tadi, tiba-tiba seseorang datang dan menyentuh bahunya dari belakang.
"Eli?" panggil orang itu. Hal itu membuat Eli kaget, ia menoleh sambil menyentuh dadanya yang berdegup kencang.
"Astaga, kau mengagetkanku Junior."
Junior yang kini berdiri di depan Eli itu tampak terkekeh, "Maafkan aku, Eli. Lagipula kenapa kau melamun sih? apa kau tidak merasa kepanasan?"
Eli tersenyum canggung menyadari teguran pria itu, "Junior, apakah kau mau menemaniku makan siang di kantin kampus?" ujar Eli mengalihkan topik.
Lelaki bernama Junior yang juga teman sejurusan Eli itu mengangguk, tidak lupa ia selalu menunjukkan senyum ramah miliknya. Bukan untuk dirinya saja, tapi ke semua orang juga karena Junior tipikal orang yang supel. Maka dari itu banyak yang mau jadi temannya. Tidak terkecuali dirinya yang berteman dekat dengan lelaki itu sejak awal masuk kampus ini sampai semester akhir seperti sekarang.
"Ide yang bagus, Eli." katanya mengiyakan ajakan Eli.
Eli mengangguk, ia pun menarik tangan Junior agar mengikutinya. Seluruh pasang mata kini melihat pemandangan manis kedua orang itu, tidak terkecuali seorang pria berjas kantoran itu dari dalam mobilnya.
"Kau sudah membuatku berfantasi liar hari ini dan mau tidak mau aku harus mengorbankan tanganku untuk memanjakan milikku. Dan sekarang dengan terang-terangan kau bersama pria lain? Jalang, Kau harus diberi pelajaran!"