"Aku duluan, Jane." pamit Eli kepada sahabatnya yang juga satu jurusan kuliah dengannya.
"Oh, kenapa buru-buru? makan bareng yuk!" ajak Jane.
Eli menggelengkan kepalanya menolak ajakan Jane. Pasalnya tadi siang Lea sudah mengajaknya makan malam bersama. Jadi setelah kelas selesai, ia mau cepat-cepat pulang saja.
"Aku sudah janji makan malam di rumah. Maaf ya Jane, makan bersamanya lain kali saja. Nanti aku yang traktir." kini ganti Eli yang menawari Jane dan hal itu langsung disambut kekehan oleh gadis itu.
"Iya, iya. Ya sudah, pulang sana!" katanya.
Dan setelah memasukkan semua bukunya, Eli pun bergegas pulang dengan taksi. Namun, disaat itu tiba-tiba seorang gadis berambut pirang menghadang jalannya.
"Tunggu, kau Elyana kan?" tanyanya.
Eli mengernyitkan dahinya merasa tidak kenal dengan gadis itu, namun meskipun begitu ia mengangguk menanggapinya.
"Iya, aku Elyana. Ada apa ya?" tanya Eli balik.
"Tadi ada seseorang menyuruhku untuk mencarimu karena katanya dia sudah menunggumu di depan. Aku duluan ya, kelasku sebentar lagi akan dimulai. Bye!" gadis itu buru-buru pergi setelah berhasil menyampaikan amanatnya. Sementara itu, Eli diam termangu di tempatnya memikirkan siapa orang itu.
"Apakah mama menjemputku? tapi kenapa dia tidak mengabariku?"
Akhirnya ia pun bergegas menuju ke tempat dimana gadis tadi memberitahunya. Dan sesampainya disana, Eli mengernyitkan dahinya ketika tidak mendapati mobil Lea atau bahkan ayahnya disana.
"Apa dia mengerjaiku ya? tidak ada mama, papa, ataupun Lily disini."
Lily adalah adik tirinya yang tidak lain adalah adik kandung William. Berbeda dengan kakaknya yang begitu sangat membencinya, justru Lily bersikap baik padanya. Gadis itu benar-benar dekat dengannya karena usia mereka tidak terlalu jauh hanya berbeda dua bulan saja. Dia juga sedang kuliah, namun di universitas yang berbeda.
Mereka tidak mungkin pergi begitu saja karena terlalu lama menunggunya kan? Eli pun memilih menghubungi Lea. Setelah nada tersambung, suara orang itu langsung menyambutnya.
"Halo?"
********
"Kosongkan jadwalku selama tiga hari, Christ. Apa? Tidak, aku hanya ingin liburan."
Klik.
William mematikan ponselnya setelah menghubungi asisten pribadinya itu. Kemudian ia menaruh ponsel itu kembali ke dalam sakunya dan tatapannya kembali menuju ke arah seorang gadis yang berada tak jauh dari mobilnya yang terparkir. Sudah belasan menit berlalu, dia masih tampak sedang menunggu. Kali ini, ekspresinya berubah kaget setelah menghubungi seseorang.
William terkekeh, "Mulai menyadari ada yang salah, eh?" kemudian ia melepaskan seatbelt-nya dan keluar dari dalam mobilnya mendekati gadis itu.
"Ini artinya sudah waktunya, Eli." lirihnya.
Blam!
Eli menoleh ke arah dimana sumber suara berasal yang ternyata pintu mobil yang baru saja ditutup pemiliknya. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya setelah mengetahui siapa orang yang memiliki mobil itu.
"Kak William?" ucapnya tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Bagaimana dia bisa ada disini? apakah Lea yang menyuruhnya kemari? tapi, tidak mungkin kan? pria itu membenci-- tidak, maksudnya sangat-sangat membencinya.
Sementara itu William semakin melangkah mendekati Eli dengan mata yang mengarah tajam kepadanya. Eli yang masih terpaku ditempatnya tak sadar jika kini William sudah berdiri menjulang tinggi tepat di depannya. Ia yang baru menyadari jaraknya hampir terkikis beberapa senti langsung memberingsut mundur. Namun diluar dugaan, William justru menarik pinggangnya kuat sampai tubuhnya limbung dan menabrak bagian depan badan pria itu.
Eli tak mampu memekik cukup keras, terlebih lagi disaat ia bisa merasakan dengan jelas bagian depan badannya menempel dengan bagian depan badan milik William. Karena posisi mereka terlihat seperti sedang berpelukan.
Suasana benar-benar terasa hening meskipun banyak orang-orang berlalu lalang keluar dari kampus atau sekedar melewati trotoar. Eli yang masih belum memahami situasi hanya turut hanyut menikmati situasi ini.
Tapi setelah ia menyadari semuanya, lagi-lagi disaat ia akan memberingsut menjauh justru kali ini William makin mengeratkan pelukannya. Ia meneguk ludahnya susah payah, jantungnya pun sudah terpacu begitu cepat seperti habis berlari maraton.
Karena ingin cepat-cepat mengakhiri situasi dimana ia merasa 'sakit' dikarenakan ketidaknormalan kinerja tubuhnya, dengan sisa-sisa keberaniannya ia mau menyuarakan hatinya yang dipenuhi berbagai kata apa, mengapa, dan kenapa.
Apa yang sedang dipikirkan William sekarang, apa dia mabuk?
Mengapa dia bisa ada disini?
Dan, Kenapa ia bersikap seperti ini?
Namun, bukan hal itu yang ditanyakan Eli pada Willliam, ada pertanyaan yang setidaknya lebih sopan dan tak mengusik untuk didengarkan.
"Kak Wil, apa kau baik-baik saja?" tanyanya.
William yang mendengar pertanyaan Eli berdecih, dalam hatinya pria itu mengumpat merendahkannya. Ia sedikit memberi ruang antara dirinya dan Eli, gadis itu juga tengah mendongak untuk memandangnya. Dalam kesempatan seperti itu, William langsung mencengkram dagu Eli kuat.
"Sudah berapa banyak pria yang berani memelukmu-- tidak, maksudku menidurimu!?" tanyanya pelan namun menusuk pendengaran Eli.
"Kak, apa maksudmu?!" kaget Eli.
Cengkraman tangan William pada dagu Eli semakin menguat dan hal itu membuat Eli meringis kesakitan sampai tangannya menahan cengkraman tangan William.
"Kak, sakit."
"Jangan berpura-pura polos, Eli. Kau kira aku tidak tahu perempuan seperti apa kau ini?!" intonasi suara William terdengar meninggi.
"Maksud kak Wil apa? aku tidak mengerti! Dan bisakah kau melepaskan tanganmu dari daguku? rasanya sakit!"
Tawa keras tercelos dari mulut seorang William seakan menertawakan permintaan Eli, "Sakit? bagaimana jika aku sembuhkan dengan kenikmatan yang rasanya tiada tara?"
Tanpa meminta persetujuan Eli lebih lanjut, William melepaskan cengkraman tangannya di dagu wanita itu dan kemudian memaks Eli masuk ke dalam mobilnya.
"Kak, kau mau membawaku kemana?"
William mengabaikan segala pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Eli dan lebih memilih melajukan mobilnya pergi dari sana menuju ke suatu tempat. Sementara Eli, kini ia jadi berubah panik. Pikirannya melayang kemana-mana, William tidak akan berbuat sesuatu padanya kan karena insiden di kantor siang tadi?
"Kak, kita mau kemana?" tanya Eli lagi meskipun William terus mengabaikannya dan fokus pada kemudinya. Namun, kali ini ia beruntung karena pria itu mau menoleh dan membalas tatapannya.
"Menyembuhkan rasa sakitmu." jawabnya singkat.
Mendengar itupun bukan merasa lebih baik, justru semakin membuat Eli jauh lebih khawatir. William tak pernah sudi berdekatan dengannya, tapi kini pria itu malah menjemputnya dan mengajaknya paksa dengan alasan yang tidak biasa. Bukankah artinya itu sangat tidak masuk akal dan berbahaya? memang seharusnya ia tidak boleh berpikir macam-macam kepada kakak tirinya itu, namun William malam ini terlihat berbeda tidak seperti yang pernah ia temui. Normalnya, pria itu akan mengabaikannya dan tak memperdulikannya.
Setelah perjalanan itu diisi dengan penuh keheningan, akhirnya mobil itu berhenti setelah memasuki basemen apartemen ternama di Gangnam. Eli menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya jika sedang merasa gugup.
William keluar dari dalam mobilnya terlebih dahulu, lalu membukakan pintu mobil milik Eli dan langsung menarik lengan gadis itu kembali untuk keluar dari dalam mobil namun caranya sedikit lembut dibanding tadi.
"Kak, kenapa kita kemari?"
Dia masih saja diam dan menariknya dengan mudah menaiki lift yang terlihat sepi, kemudian menekan tombol angka yang menuju ke lantai 10. Suasana masih saja hening dan aura William terasa begitu dominan disana.
Eli masih saja merasa gugup, jadi berkali-kali ia mengusirnya dengan terus menggigit bibir bawahnya. Tanpa sepengetahuannya, William yang juga sejak tadi secara diam-diam memerhatikannya dan melihat bagaimana wanita itu menggigit bibirnya terasa begitu mengusiknya. Lift seperti berjalan lambat, dan hal itu membuat naluriah kelakian seorang William muncul.
William secara tiba-tiba menyudutkan tubuh Eli ke sudut lift dan diluar dugaan menempelkan bibirnya pada bibir Eli dengan intens dan kasar seakan tiada hari esok.
Sementara Eli yang awalnya terkejut, seakan tergoda dan mulai mengikuti ciuman itu lalu mengalungkan tangannya pada leher William makin intens. William menyeringai dalam ciuman itu.
Dasar jalang!