Jam saat itu masih menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh sekian menit. Seluruh pekerjaannya sudah selesai. Dari membersihkan debu, mencuci baju, membuat kue, hingga memandikan Sophie. Hanya tinggal satu pekerjaannya yang belum selesai; memasak makan siang. Sebenarnya Alexa sudah mulai memasak sejak pukul sembilan lebih, dan perkiraannya baru akan selesai sekitar pukul dua.
Masih ada waktu paling tidak tiga puluh menit, dan Alexa kini baru saja menjatuhkan pantatnya di atas sofa empuk, disusul Sophie yang sudah wangi lantas duduk di atas karpet. Ekornya bergerak senang, sementara tubuhnya masih berdiri tegak menghadap ke arahnya. Seulas senyum terbentuk, lantas tangannya mengusap-usap hewan berbulu di sana. Sophie kemudian menyalak pelan, lalu bergelung di atas karpet, meninggalkannya yang menghela napas panjang.
Menunggu makanannya selesai dipanggang ternyata lumayan membuainya karena pengaruh sofa empuk. Alexa bahkan tidak berpikir dua kali untuk berpindah posisi dari duduk, menjadi merebahkan diri di atas sofa. Masih ada tiga puluh menit, dan dia bisa memejam sekitar lima belas menit sebelum tuannya datang.
"Sophie, bangunkan aku kalau tuanmu sudah datang, ya." Gadis itu berpesan pada anjing putih di sana, meski Alexa tidak yakin Sophie sungguhan mengerti kalimatnya, walaupun anjing putih tersebut sempat menyalak sekali.
Hari ini hari ulang tahunnya, satu April. Karena itu pula, hari ini Alexa rela capek-capek membuatkan makan siang yang spesial, karena membuatnya saja memakan waktu lebih dari empat jam. Suatu kebetulan pula karena tuannya juga akan kembali hari ini. Ditambah lagi, Alexa ingin mewujudkan mimpi kecilnya dengan menghadirkan kue di setiap hari ulang tahunnya. Makanya dia repot-repot bangun pagi dan menyelesaikan semua pekerjaannya agar Alexa bisa masak dengan tenang, meski dia masih harus memandikan Sophie sambil menunggu dagingnya selesai.
Lantas, di sinilah dia sekarang. Merebahkan diri di atas sofa dengan niatan istirahat lima belas menit, yang kemudian malah terlewat. Bahkan sampai suara kecil macam pintu lift yang terbuka, tak sanggup membangunkannya. Pekerjaannya hari ini sangat banyak. Jelas saja Alexa lelah dan bisa saja tidur hingga pukul lima sore. Sayang, dia masih punya kewajiban lain.
…
Laiknya seorang tamu, seorang pemuda berambut kelam berjalan memasuki pintu utama lobi hotelnya dengan membawa koper kecil. Beberapa penjaga di sana tersentak begitu mengenali siapa dirinya, kemudian dengan segera menghampiri dan menawarkan untuk membawakan kopernya. Namun sang pemuda hanya mengangkat tangannya perlahan, mengisyaratkan supaya para bawahannya memperhatikan tamu-tamu lain yang baru saja datang.
Jam masih menunjukkan pukul dua lebih, saat lobi hotel cukup penuh dengan kedatangan tamu-tamu. Skylar hanya sempat menghampiri meja resepsionis untuk memberitahukan kedatangannya secara singkat dan memberi pesan pada manager hotel supaya tidak mengganggunya setelah ini karena dia berniat beristirahat. Tidak lama, dia telah menemukan dirinya berdiri di dalam lift familier yang membawanya ke kamarnya di lantai 51.
Perjalanannya ke Stockholm berlangsung lebih lama dari perkiraannya. Yang dia kira dirinya akan kembali lagi ke London pada Senin pagi, mundur hingga ke Selasa siang. Kara menyeretnya paksa, berkata suatu kejadian yang jarang dan entah kapan lagi mereka, para sepupu, berkumpul untuk pergi bersama-sama. Mengingat para sepupunya berada di posisi yang sama dengannya, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meluangkan waktu bersama untuk bersantai dan berlibur bersama menjadikan acara kunjungan singkat itu menjadi satu hal yang lain. Tidak keberatan, Skylar bisa menertawai Arvid lebih lama.
Pintu lift terbuka, dan pemandangan rumahnya yang biasa terlihat. Sunyi, tidak ada suara selain liftnya yang menutup, dan bunyi roda kopernya yang ditarik perlahan ketika dia berjalan perlahan menuju ke ruang tengah yang sepi. Satu hal yang ada dalam pikirannya hanyalah pertanyaan di mana gerangan anjing dan pelayannya berada?
"Alexa? Sophie?"
Semalam, dia sempat menelepon Alexa dan memberitahukan bahwa dia akan berada di rumah kira-kira pukul dua, serta memintanya untuk menyiapkan makan siang karena Skylar berniat untuk makan di rumah saja. Dia sedikit mengekspektasi bahwa gadis itu akan menyambutnya, menanyakan perjalanannya seperti biasa ketika dia pergi keluar di siang hari. Namun sekarang, gadis itu tidak terlihat, pun tak terdengar suara apapun dari arah dapur. Ke mana dia?
Pertanyaannya segera terjawab dengan cepat ketika kakinya melangkah memasuki ruang tengah. Anjingnya melingkar di atas karpet, nampak sedang tidur dengan tenang. Sementara sang pelayan berada tidak jauh, berbaring di atas sofa dan tertidur dengan napas yang teratur. Skylar tak tahu apa saja yang dilakukan gadis itu sepanjang pagi hingga kelelahan dan bisa tidur sepulas sekarang.
Skylar berjongkok dekat pelayannya yang sedang tertidur. Koper dia letakkan tak jauh darinya. Iris keemasannya memandang sosok yang sedang tertidur itu, lantas sebuah ide muncul di kepalanya. Bibirnya menarik seulas senyum, menyusul tangannya yang kemudian mengarah ke pipi milik sang gadis, menariknya perlahan.
"Alexandrite!"
Teriakannya disusul suara anjing yang menyalak.
Menyusul anjing yang menyalak, Alexa pun turut terbangun dengan sebuah teriakan.
"WUAAH!"
Gadis itu langsung bangkit dan duduk. Dirasakan kepalanya terasa nyeri karena bangun mendadak, kemudian melihat sekitar. Butuh beberapa detik sampai dia menyadari apa yang ada di depannya.
Skylar bisa melihat wajah pelayan di depannya berubah pucat, kemudian berkata dengan panik, "Tu-Tuan, a-apa rasa masakannya tidak enak? Maafkan saya! Maafkan saya!" Dia dibuat semakin bingung saat Alexa menunduk beberapa kali untuk meminta maaf.
Sayangnya, rasa panik itu menular. Kini gantian Skylar yang kebingungan melihat pelayannya bersikap demikian. Apakah dia keterlaluan dengan mengagetkan Alexa yang sedang tidur? Yah, bukan berarti dia marah melihat pelayannya ketahuan tidur saat pekerjaannya belum selesai semua. Dia hanya iseng, dan itu merupakan sifatnya.
Sejak Skylar masih kecil, berbuat iseng pada seseorang sudah semacam kebiasaan buruk yang tidak pernah hilang. Beberapa kali dia kena marah karena mengusili sepupunya yang lebih kecil sampai menangis, tapi tetap saja tidak pernah jera. Tapi semenjak dia mulai serius dengan pekerjaannya, tidak ada lagi waktu untuk iseng.
Sayang sekali karena pelayannya yang terbilang masih baru justru harus mendapat perlakuan aneh-aneh darinya. Satu bulan pertama, gadis itu bagaikan orang asing yang dijauhinya dengan sengaja. Tetapi setelah itu, dia berangsur-angsur melihat bahwa Alexa tidaklah sama dengan Racie, dan itu sedikit membantunya untuk bersikap selaiknya teman dibandingkan memberikan batas-batas seperti sebelumnya. Sayang saja bahwa itu termasuk sebuah keistimewaan untuk menjadi korban keisengannya.
Namun, dia masih penasaran dengan kalimat gadis itu. Apa maksudnya dengan makanan yang tidak enak? Skylar bahkan baru datang dan belum melakukan apapun.
"Alexa? Kau kenapa? Aku bahkan baru pulang, apa maksudmu dengan makanan yang tidak enak?"
Mendengar pertanyaan ini, Alexa yang pucat, berubah malu. Wajahnya merona merah. Sepertinya itulah reaksi yang benar setelah ketahuan tidur ketika pekerjaannya belum selesai, alih-alih panik karena mimpi sesaat di sela-sela tidurnya.
"Maaf … saya ketiduran…" balasnya lirih.
"Mimpi apa sih kau. Pfft." Skylar menahan tawanya. Sebenarnya dia penasaran mimpi apa yang hinggap di kepala pelayannya, sampai-sampai gadis itu langsung panik. Apakah dia bermimpi Skylar mengatakan masakannya tidak enak?
"Jangan khawatir, Alexa. Masakanmu selalu enak," lanjutnya untuk menenangkan.
Bila tidak, mana mungkin Skylar repot-repot menyuruh gadis itu memasak setiap hari, lalu mengganti kebiasaannya memesan dari restoran di bawah? Dia bahkan tidak berhenti di jalan untuk membeli makanan setelah tiba dari bandara, meski perutnya sudah berisik meminta diisi, dan Skylar sudah cukup kelaparan.
Anjing putihnya memutuskan bahwa itu adalah saat yang tepat untuk menerjang dan menyambut kepulangannya di rumah. Skylar bahkan nyaris terjungkal oleh serangan mendadak itu. Sophie menyalak nyaring, mengibaskan ekornya dengan senang, dan menjilatnya. Sementara yang bisa dia lakukan hanyalah terkekeh pelan dan balas mengelus hewan piaraannya kuat-kuat. "Easy, Sophie."
Pemuda itu kemudian duduk bersila di karpet, dengan Sophie di pangkuannya. Perhatiannya kembali pada sang pelayan yang seharusnya sudah cukup sadar dari alam mimpinya sekarang. Lagi-lagi terkekeh pelan mengingat kejadian tadi.
"Sudah sadar, Alexa? Cuci mukamu setelah ini dan ... kau tidak lupa dengan makan siangku, kan?"
Lagi-lagi, reaksi yang datang seperti badai. Alexa membelalakkan matanya dengan panik, kemudian buru-buru turun dari sofa, dan berlari menuju dapur, meninggalkan Skylar yang terheran-heran. Dia jadi khawatir Alexa sungguhan melupakan makan siangnya.
"Kenapa hari ini dia sangat mengkhawatirkan?"
Skylar menghela napas panjang.