"Ah, maaf saya melupakan sesuatu." Alexa yang sudah mengatupkan kedua tangannya dan bersiap untuk makan, menurunkan kembali kedua tangannya dan meletakkan di atas paha.
"Tuan, selamat datang kembali."
"Yea, aku pulang, Alexa." Skylar hanya tersenyum tipis sesaat setelah membalas perkataan gadis itu yang menyambutnya kembali. Meski agak sedikit terlambat, mengingat sudah lima belas menit lebih setelah dia sampai di rumah, "Aku senang berada di rumah. Stockholm masih dingin sampai sekarang."
Bulan April dan tempat itu masih dingin, jauh lebih dingin daripada London yang cuacanya tak menentu, meskipun pemandangan di sana jauh lebih menyenangkan daripada tempat padat ini. Pantas saja ibunya tidak pernah betah berada terlalu lama di kota yang senantiasa sibuk dan pengap macam London. Meskipun dia tidak yakin bisa bertahan hidup di tengah tempat sepi seperti di Norwegia atau Swedia dengan kebiasaannya yang menyenangi tempat ramai.
"Oh benar, aku bawa oleh-oleh untukmu."
Iseng benar, selama ini Skylar tidak pernah membelikan sesuatu untuk seseorang ketika bepergian. Dia sendiri tak tahu apa yang disenangi gadis itu, sehingga hanya asal membeli hal yang paling dicari orang ketika berada di Swedia. "Maaf, cuma ada yang seperti ini."
Suvenir itu adalah sebuah boneka kayu berbentuk kuda, dalahorse, yang besarnya hanya segenggaman tangan dan berwarna merah. Suvenir yang paling banyak dibeli oleh turis dari negara Scandinavia tersebut. Sebagai tambahan, sebuah boneka elk kecil yang membawa bendera Swedia, berukuran sedikit lebih besar dari dalahorse-nya juga disodorkan pada gadis itu.
"Tanda terima kasih kau sudah membantu mencarikan kado kemarin. Sepupuku senang, tahu, tidak menyangka aku bisa memberikan kado semacam itu." Lebih tepatnya, dia diejek habis-habisan dan dikatai sudah cocok jadi ayah karena pintar memilihkan kado untuk bayi. Padahal Alexa yang memilihkan, namun ia bungkam dan malah berbohong, mengatakan hadiahnya dibelikan oleh Michael.
Alexa baru saja akan memulai makan ketika perhatiannya tersita oleh sebuah benda kecil berbentuk kuda berwarna merah, serta boneka kecil dengan bendera Swedia. Sepasang iris berwarna hazelnya melebar dengan sedikit antusias melihat dua benda kecil yang merupakan hadiah untuknya. Sebuah oleh-oleh sederhana, namun cukup membuatnya begitu senang.
"Terima kasih banyak. Ini saja sudah cukup."
Alexa tidak menyangka akan mendapatkan 'kado' secara kebetulan. Meski tuannya mengatakan itu adalah oleh-oleh, tapi di dalam hati, Alexa menganggapnya sebagai kado kecil. Senyumnya pun terkembang manis dengan pipi merona samar.
Dia tidak ingin bilang kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Alexa terbiasa merayakan ulang tahunnya sendiri dengan diam-diam membuat kue kecil, seperti muffin, dan dimakan dalam diam. Lagipula, jika pemuda itu tahu, kemungkinan besar Alexa akan diberikan kado yang lebih mahal lagi. Alexa tidak mau, karena tetap merasa sungkan. Dia punya utang di sini, tapi utang itu seolah tak pernah habis karena Alexa terus mendapatkan barang-barang mahal tanpa diminta.
Sang pemuda pun tersenyum setelah mendengar ucapan terima kasih dari pelayannya. Dia pun mulai memakan porchetta-nya.
"Enak. Ini enak, kapan-kapan buatkan lagi."
Mendengar kalimat pujian atas masakannya, Alexa merasa senang. Usaha kerasnya hari ini jadi tidak terasa sia-sia. Dia harus bangun lebih pagi demi menyelesaikan pekerjaannya lebih awal, sehingga bisa memasak dengan lebih bebas. Apalagi, pembuatan porchetta tidak bisa instan dan butuh berjam-jam.
"Kalau Tuan punya menu yang ingin dicoba, katakan saja. Saya akan coba buat."
"Hmm, mungkin beef steak? Atau mungkin burger … Ya, burger terdengar enak."
Benar, burger, makanan yang mudah dan cepat untuk dibuat. Seperti yang biasa dibelinya di McDonalds kalau sedang ingin sesuatu yang cepat dan lumayan enak. Lagipula, dia tidak ingat gadis itu pernah membuat sesuatu yang sederhana semacam burger. Apa-apa yang dibuat oleh Alexa selalu terlihat sama rumit dengan yang dipesannya dari bawah, dia tidak tahu bagaimana gadis itu bisa berkreasi dengan macam-macam menu menggunakan dapur kecil miliknya.
Alexa mengangguk dalam diam, menyanggupinya. Dia pasti akan mengiakan apapun permintaan tuannya, kecuali untuk makanan-makanan asing yang belum dia tahu cara membuatnya. Seperti sushi dan beberapa makanan asia, atau dari benua lain. Alexa harus banyak belajar lagi.
Untuk memecah suasana, Alexa pun bertanya, "Bagaimana keadaan bayinya di sana? Lebih lucu daripada yang di foto?"
Skylar terdiam sejenak ketika Alexa bertanya soal bayi. Yah, memang benar, dia dan para sepupunya sengaja meluangkan waktu dan jauh-jauh pergi ke Stockholm untuk menengok seorang bayi. Anak dari sepupunya, yang sampai saat ini masih gagal dipercayainya bahwa seorang Arvid telah menjadi ayah.
"Bayinya? Tentu saja ... eh, seperti bayi."
Tentu saja bayinya akan terlihat seperti bayi, memangnya akan seperti apa lagi? Skylar tidak punya kalimat yang lebih baik untuk digunakan menjelaskan seperti apa anak dari Arvid, terlihat sama seperti bayi pada umumnya. Seperti foto-foto bayi yang seringkali terlihat di majalah atau televisi, sama saja.
Dia tidak bisa mengategorikan apakah anak sepupunya itu termasuk bayi yang lucu atau tidak. Mengingat yang sedang dibicarakan sekarang adalah anak dari Arvid yang itu, rasa-rasanya Skylar ingin bilang jelek. Setengah-jelek karena entah mengapa ketika melihat Lars—meski baru berumur satu bulan lebih—anak itu tidak pernah gagal untuk membuatnya teringat pada ayahnya yang berwajah senantiasa menyebalkan.
Skylar yakin nantinya anak lelaki berambut kemerahan itu akan tumbuh mengikuti sifat ayahnya. Semoga saja perkiraannya salah.
"Ya, begitulah. Baru satu bulan tapi tidak bisa diam, dia selalu tertawa kalau difoto."
Diambilnya ponsel miliknya yang tadinya tergeletak diam di atas meja makan, kemudian membuka galeri dan mencari-cari foto Lars yang dimaksud. Tidak, dia tidak suka menyimpan foto bayi, tapi kebetulan saja sepupunya menggunakan handphonenya untuk memotret anak tersebut di beberapa kesempatan tanpa izin. Yang benar saja, Skylar tidak berminat mengisi ponselnya dengan foto bayi yang mengingatkan pada ayahnya yang menyebalkan itu.
Ketika dia menemukan foto yang dicari, Skylar kemudian meletakkan ponselnya di meja kembali dan mendorongnya ke arah Alexa supaya gadis itu bisa melihat sendiri. Dia tahu deskripsinya tentang si bayi tidak akan membantu, lagipula gadis itu hanya pernah sekali melihat foto sang bayi ketika baru saja lahir. Sementara foto yang dimaksudkan adalah seorang bayi dengan sejumput rambut kemerahan yang tersenyum lebar ke arah kamera. Di belakangnya, ada sang ayah yang mengangkat bayi tersebut menutupi wajahnya sendiri.
"Itu ayahnya, di belakangnya. Lihat kan bagaimana senyumnya leba—"
Sayangnya, ketika akan menarik tangannya kembali, Skylar malah tidak sengaja menggeser foto tadi dan menampilkan foto lainnya. Foto dirinya sendiri yang menggendong Lars dengan kepayahan. Wajahnya menyiratkan sedikit ekspresi panik yang nyaris tak pernah terlihat pada seorang Skylar sehari-harinya. Sama sekali tidak tersadar kalau ada seseorang yang sedang memotretnya. Dia bahkan baru tahu kalau ada foto seperti itu di ponselnya.
"... Salah foto. Siapa yang memotret itu, sialan," umpatnya lirih.
Buru-buru Skylar menggeser kembali hingga ponselnya menampilkan foto yang sebelumnya. Meninggalkan Alexa yang menyayangkan dalam hati. Dia diam-diam ingin melihat foto tuannya yang kewalahan menggendong bayi lebih lama lagi. Tentu saja, dia merasa senang, karena seorang Skylar Fitzroy, yang dia anggap cukup sempurna dalam hal apapun, rupanya bisa bersikap kewalahan juga.
Sementara itu, Skylar mengutuk sepupunya satu per satu di dalam hati, bertanya-tanya siapa yang dengan sangat iseng memotretnya dalam keadaan begitu, bahkan menggunakan ponselnya pula. Meskipun ada satu oknum yang diketahuinya paling mungkin untuk berbuat demikian.
Pemuda itu memalingkan wajahnya, melanjutkan makan seolah tidak ada yang terjadi.
"... Lupakan foto barusan."
Alexa mengulum bibir, menahan senyum, takut membuat tuannya tersinggung. Jujur saja, pemandangan barusan tak bisa dilupakan begitu saja.
Namun, melihat betapa banyak sepupu yang hadir di sana, mau tak mau membuat Alexa sedikit iri. Dia bahkan tidak tahu dan tidak kenal sebagian besar keluarga dekat. Begitu kedua orang tuanya meninggal dan Alexa dirawat oleh bibinya, dia seolah tidak ingat apapun. Dia pikir, mungkin karena factor umurnya yang masih 5 tahun, kemudian ditambah kesedihan karena kehilangan orang tua.