"Kalau bayinya tertawa terus setiap difoto, mungkinkah nanti setelah dewasa akan jadi model dan terkenal?" tanya Alexa, setelah gadis itu menyingkirkan perasaan irinya jauh-jauh.
"Mungkin?" balas Skylar singkat.
Hal itu bukan mustahil terjadi, mengingat adik kembar perempuan Arvid dua-duanya adalah model. Apalagi, kalau Skylar tidak salah ingat, istri Arvid memiliki butik sendiri. Entah mengapa, Skylar bisa membayangkan akan melihat foto Lars terpampang di toko-toko milik wanita itu.
"Coba saja dua puluh tahun lagi kau lihat majalah, mungkin saja akan ada aktor atau model berambut merah bernama Lars, berarti memang benar."
Gadis itu mengangguk. Pasti menyenangkan terlahir di dalam sebuah keluarga yang memiliki privilege tertentu. Apapun yang menjadi mimpinya, pasti akan didukung penuh karena memang memiliki semua sumber daya yang bisa digunakan.
Apabila Alexa terlahir dalam sebuah keluarga ber-privilege, apakah dia sekarang sedang belajar untuk menjadi koki terkenal?
Lagi-lagi, dia menggeleng dan menjejak pikiran itu jauh-jauh dari pikirannya. Bisa hidup dan tinggal sementara di tempat ini saja sudah merupakan berkah baginya. Meskipun tempat ini bagaikan sangkar burung yang besar, dia tidak keberatan selama sangkarnya mewah. Alexa pasti lebih memilih tinggal di sangkar burung yang mewah, alih-alih sangkar burung berduri yang selalu menyakiti dirinya sekecil apapun dia bergerak.
"Bagaimana rasanya menggendong bayi?"
Ada hening sejenak, sebelum Skylar menjawab pendek, "Aneh."
Bagaimana pun, dia memang tidak terbiasa untuk menggendong bayi. Sepupu-sepupunya sendiri kebanyakan sepantar, dia nyaris tak pernah berurusan dengan anak kecil maupun bayi, apalagi sampai menggendongnya. Sebenarnya, dia saja menolak ketika ditawari untuk memegangi sang bayi, namun entah mengapa sepupunya memaksa hingga Skylar kewalahan dan mengalah.
"Bayi itu berat ternyata. Apalagi yang itu, tidak pernah diam kalau digendong. Mengerikan, untung tidak terjatuh." Mengingatnya, rasanya Skylar tidak akan berniat dekat-dekat dengan anak Arvid lagi. Yang benar saja, kalau sampai jatuh bisa-bisa dia tidak akan pernah pulang lagi ke London. Kemudian, tidak lagi sempat masakan gadis itu maupun bermain game-gamenya yang belum selesai karena sudah pasti dia akan masuk ke liang kubur.
Aneh juga, padahal Skylar sudah biasa membawa Sophie dan rasanya tidak berat, padahal dia tahu anjingnya itu pasti lebih berbobot ketimbang bayi kecil berumur satu bulan. Entah apa jadinya kalau dia menikah dan memiliki anak, mungkin istrinya tidak akan membiarkannya lama-lama berurusan dengan sang bayi. Meski tentunya, Skylar tidak berniat menikah dalam waktu dekat, pun tiada niatan untuk repot-repot memikirkan tentang hal itu.
Namun, dia sedikit heran dengan Arvid yang semacam itu, sekarang bisa menggendong anaknya tanpa cela. Mengingat perilakunya lima tahun yang lalu, siapa yang menyangka sepupunya itu jadi yang tercepat untuk menikah dan bahkan memiliki anak?
Entah apa yang dilakukan istrinya hingga sepupu tertuanya itu sekarang terlihat lebih jinak. Entah apa pula yang ada dalam pikiran mereka hingga baru punya anak setelah sekian tahun menikah. Itu bukan urusannya. Yang dia tahu hanyalah, bahwa melihat keluarga kecil itu terlihat bahagia kemarin, Skylar turut senang dengannya. Meskipun dia tidak berminat untuk mengakuinya secara terang-terangan.
Mendengar alasan Skylar, Alexa hanya terkekeh.
Dia pun sebenarnya ingin mencoba menggendong bayi. Selama ini, dia tidak punya kesempatan untuk melakukannya. Bagaimana mungkin, toh Alexa saja tidak tahu saudara-saudaranya tinggal dimana. Tentu saja, undangan semacam menghadiri bayi yang baru lahir tak akan dia dapatkan. Apalagi, mengingat bibinya yang seperti itu.
Skylar pun meletakkan alat makannya dengan rapi setelah menghabiskan potongan terakhir, kemudian minuman di gelas dihabiskan dalam waktu singkat.
Menyenangkan, bukan hanya rasa laparnya yang menghilang, rasa lelahnya bahkan ikut menguap setelah makan. Hingga Skylar menyandarkan punggungnya ke kursi dan memandang sang pelayan.
"Kau memotong dagingnya agak terlalu besar sepertinya, ini mengenyangkan sekali. Tapi tidak apa, lagipula aku sedang lapar." Pemuda itu terkekeh pelan, mengingat porsi besar yang baru saja dihabiskannya tak bersisa. "Porchetta ini enak, kau memang berbakat memasak. Tidak ingin coba untuk ke restoran di bawah dan belajar dengan para chef-ku sesekali?"
Alexa yang saat itu sedang minum, nyaris menyembur saat mendengar kalimat barusan. Untung saja dia langsung berhenti dan menurunkan gelasnya, kemudian menatap sang pemuda dengan mata berbinar.
"Su-Sungguhan? Saya … saya boleh belajar dengan koki di bawah?"
Lihat, kan? Berada di sini saja Alexa bagaikan burung yang terbang bebas. Sangkar yang mengurungnya terlalu besar dan mewah, sampai Alexa bisa mengepakkan sayapnya dan hidup seperti burung yang tak terkurung sangkar. Bahkan, jika seumur hidupnya dia terkurung di sini, mungkin Alexa tidak akan keberatan.
Skylar tertawa pelan melihat antusiasme sang gadis. Padahal dia hanya iseng berkata demikian, belum tentu Alexa bersedia karena pekerjaan hariannya sudah sangat banyak. Apalagi, menurutnya, Alexa tidak perlu lagi belajar macam-macam mengingat masakannya selalu terasa enak baginya, bahkan hanya bermodalkan resep yang mungkin ditemukannya di internet.
"Yah, tentu saja, mengapa tidak? Apa menurutmu aku akan berkata tidak boleh setelah menawarimu untuk belajar begitu?"
Tawarannya jelas tidak main-main. Restoran di hotelnya dikelola oleh chef-chef yang berpengalaman dan telah bertahun-tahun bekerja di tempatnya. Harga setiap masakannya pun bukan hanya sepuluh-dua puluh pounds. Entah berapa banyak orang yang ingin belajar maupun bekerja di restoran miliknya, namun tidak sebanyak itu yang benar-benar bisa diterima.
Lagipula, dia tahu jika dirinya tidak mungkin terus-terusan menahan gadis itu nantinya. Bertahun-tahun lagi, bila memang utangnya sudah lunas, bukan tidak mungkin Alexa memilih untuk pergi dan tidak berniat bertemu dengannya lagi ataupun terus bekerja dengannya meski dia meminta. Mengingat gadis itu sebatang kara dan tidak memiliki siapapun maupun keahlian apapun, setidaknya yang bisa Skylar lakukan sebagai permintaan maaf adalah dengan sedikit membantunya.
"Asalkan semua pekerjaanmu sudah selesai di sini, aku tidak melihat kendala untuk menahanmu belajar sesuatu. Kau bebas melakukan apapun yang kau suka, ingat? Meskipun rasanya tidak akan bisa sering-sering, hanya kalau restauran di bawah tidak sedang ramai. Bagaimana? Akan kubicarakan dengan kepala chef di bawah lain kali bila kau berminat."
"Mau! Mau!" Alexa segera menukas tepat setelah tuannya selesai bicara.
Jelas, dia tidak ingin tuannya berubah pikiran. Alexa juga tidak ingin membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Tidak setiap hari dia mendapat tawaran belajar langsung dengan koki professional yang masakannya enak-enak. Meski pekerjaannya banyak, Alexa akan menyelesaikan semuanya dengan cepat demi melakukan hal yang dia sukai.
"Biar nanti kubicarakan dengan kepala chef kalau begitu."
Skylar bahkan belum menanyakan kepada para kokinya di bawah, sebab bukan tidak mungkin mereka akan menolak tawaran seseorang yang ingin belajar. Meski rasanya kemungkinan itu kecil, karena dia sebagai pemilik hotel yang akan bicara sendiri dengan para koki di restaurannya.
Lagi, Alexa mengangguk senang dan berterima kasih dengan penuh semangat. Dadanya berbunga-bunga, dan mau tidak mau, dia sudah mulai membayangkan akan seperti apa kegiatan belajarnya dengan para koki profesional di bawah.
Saat dia akan kembali makan, Alexa menyadari kalau makanan di piring tuannya sudah habis. Karena dia masih menyiapkan makanan lain, Alexa pun berkata, "Omong-omong, saya tadi sempat buat dessert. Tuan ingin coba makan sekarang atau makan malam nanti?"
"Dessert?"
Pemuda itu sedikit heran. Tumben sekali. Selama ini, seingatnya, Skylar tidak pernah tahu jika Alexa pernah membuat dessert. Lalu, meski dia sudah mengatakan kenyang beberapa saat lalu, mau tak mau Skylar jadi penasaran dengan dessert yang dikatakan oleh sang pelayan.
"Boleh, sekarang saja. Bawakan ke ruang tengah. Kutunggu di sana. Ayo, Sophie."