Selama perjalanan, selain membicarakan tentang kondisi sepupu lain, mereka lebih sering membicarakan soal pekerjaan. Bagi pengusaha seperti mereka, pembicaraan tentang pekerjaan tidak akan terhindarkan dan tak akan pernah bosan.
Sebagian besar keluarga ayahnya adalah pengusaha, dan Skylar memang lebih dekat dengan keluarga dari ayah. Berbeda dengan ayahnya, sang ibu bukan berasal dari keluarga berada. Apalagi, setelah menikah dengan ayahnya, sang ibu tampak benar-benar lepas dari keluarganya.
Ayahnya anak ketiga dari lima bersaudara. Arvid Ehrensvärd, sepupunya yang akan mereka kunjungi hari ini, adalah anak dari kakak pertama ayahnya. Sementara Kara dan Errol adalah anak dari adik pertama ayahnya. Lalu Liam adalah sepupunya dari saudara bungsu sang ayah.
Masing-masing kepala keluarga memiliki bisnis tersendiri yang diberikan dari sang kakek. Usut punya usut, kabarnya keluarga sang kakek masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Duke, bangsawan Inggris zaman dahulu. Tidak heran jika mereka memiliki banyak usaha yang bisa dibagi-bagikan pada keturunan. Tidak ada yang tahu seberapa banyak harta yang dimilikinya. Mobil Lamborghini milik Skylar sendiri pun merupakan hadiah ulang tahun termahal yang dia dapatkan dari sang kakek.
Usaha terbesar yang dimiliki sang kakek adalah bisnis hotel. Bisnis itu kemudian dibagi pada anak-anaknya. Ada yang sangat berkembang, ada pula yang dihibahkan karena mereka lebih tertarik pada bisnis lain. Pada akhirnya, bisnis hotel yang paling berjalan ada di tangan ayah Skylar dan ayah Errol, Eugene Fitzroy. Sementara yang lain, hanya mengelola beberapa dan tidak sebanyak kedua orang tersebut.
Sayangnya, karena Rye Fitzroy, ayah Skylar, terlalu malas dan lebih ingin bersantai menikmati masa tua di Oslo, bisnis pengelolaan hotel diserahkan pada anaknya.
Sementara itu, di dalam kabin, Errol juga sama-sama mengelola hotel di kota yang berbeda dengan Skylar. Berbeda dengan saudara kembarnya, Kara menjalankan bisnis restoran karena ketertarikannya pada memasak. Kemudian Liam, dia menjalankan perusahaan IT.
"Kudengar, hotel yang ada di Stockholm dan sekitarnya sekarang diambil alih oleh Arvid," ucap Errol begitu turun dari pesawat setelah tiba di bandara. Mereka lupa membicarakannya tadi saat berada di dalam kabin.
"Sudah lebih dari satu tahun," balas Skylar.
"Mungkinkah dia sudah tidak mau memegang pengelolaan stasiun TV milik ayahnya karena istrinya yang meminta?"
Skylar hanya mengedikkan bahu. Dia tidak yakin dengan prasangka Errol, karena sejauh yang Skylar tahu, Azure, istri Arvid, dulunya tidak begitu peduli dengan apapun yang dilakukan suaminya. Bahkan, dia ingat Arvid pernah mengatakan kalau pernikahannya di tahun-tahun awal terasa biasa saja. Malah, dia bisa bebas karena istrinya tidak terlalu mencampuri urusannya.
"Ya, kalau Arvid tidak lepas dari bisnis media, tidak mungkin dia bisa punya anak sekarang, bodoh." Kara menukas pada saudara kembarnya dengan nada mencemooh.
Mereka tahu benar betapa sibuk seseorang yang bekerja di sebuah stasiun televisi, apalagi sebagai pengelola dan juga pengawas. Tidak pulang selama berhari-hari adalah sebuah hal yang lumrah.
"Tapi kurasa lebih baik begitu. Aku kasihan dengan Azure kalau dia terus ditinggal berhari-hari hanya karena sibuk. Kalau aku pasti sudah tidak tahan dan minta cerai," tambah Kara sambil berjalan masuk ke dalam bandara.
"Jangan samakan mereka dengan kau dan Ian." Skylar mendengus. Dia tahu benar apa cerita yang mendasari pertemuan antara sahabat dan sepupunya itu.
Kara memutuskan tidak menjawab dan hanya menjulurkan lidah, mengejek Skylar dari belakang.
Tak lama, mereka sudah menemukan mobil jemputan yang sudah menunggu di depan bandara. Tidak ada yang ingin membuang waktu, sehingga setelah mereka berempat masuk ke dalam mobil, mereka segera menyuruh sopir bergegas.
Errol baru saja mendapat pesan jika sepupu lainnya sudah tiba di kediaman Arvid. Tentu mereka tidak ingin ketinggalan hal menarik karena tiba paling akhir. Apalagi, mereka harus mampir ke hotel terlebih dahulu untuk meletakkan barang-barang.
…
Dengan mobil yang sama, keempat orang itu diantar menuju rumah Arvid dari hotel yang mereka singgahi saat ini.
Di luar dugaan, mobil melaju menjauh dari keramaian kota, dan menuju ke pinggiran yang lebih sepi. Tak ada dari keempat orang itu yang tidak bertanya mengapa Arvid memilih tinggal di tempat yang lebih tenang seperti ini, karena tahu pria itu lebih senang tinggal di pusat kota. Dekat dengan macam-macam restoran serta pusat perbelanjaan akan membuat hidupnya lebih mudah.
Tanpa mereka sadari, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar di ujung jalan. Skylar bisa melihat satu mobil sedan hitam yang terparkir di garasi. Sebuah hal kecil yang menarik minatnya.
Baru saja dia akan melangkah masuk, dia dikejutkan oleh keberadaan seekor anjing besar, hingga Skylar mundur satu langkah.
"Oh shit."
"Sejak kapan Arvid pelihara anjing sebesar ini?"
"Aku yakin, pasti tidak akan ada maling yang berani mendekat kemari."
Komentar tiga sepupunya terdengar. Skylar cukup terpesona dengan anjing hitam besar yang ada di halaman. Anjing itu adalah jenis German Shepherd, tipe anjing penjaga. Tapi ukurannya jauh lebih besar daripada shepherd kebanyakan. Tingginya bahkan nyaris sepinggang orang dewasa.
"Woof! Woof!"
Anjing besar itu menyalak saat melihat tamu di luar pagar. Salakannya keras hingga membuat pintu rumah terbuka dan memunculkan seorang pria yang tingginya nyaris dua meter.
"Milo, duduk," katanya pada sang anjing, yang segera menenangkannya. Anjing itu segera duduk dengan patuh sambil menggoyangkan ekor, sementara sang pria berjalan menuju pagar untuk membukanya.
"Heh. Sudah alih profesi jadi bapak rumah tangga, eh, Arvid?" ejek Skylar begitu melihat sepupunya keluar dari rumah. Arvid hanya mengenakan kaos dan celana panjang. Pakaiannya sangat terlihat santai dan jauh dari gaya bisnis. Skylar bahkan tak bisa menahan tawanya begitu melihat pakaian sepupu tertuanya.
"Kau juga akan merasakannya cepat atau lambat." Pria tinggi berambut hitam, Arvid, itu membalas tanpa tersinggung. Dia membiarkan Skylar bicara sesukanya. Karena cepat atau lambat, dalam acara yang sama, Arvid pasti akan datang dan menertawakan Skylar saat menggendong bayinya sendiri nanti.
Skylar mendengus. "Omong kosong." Dialah yang lebih tahu daripada orang lain kapan dirinya akan menikah. Dia bahkan tidak begitu senang dengan anak-anak. Tidak mungkin kalimat sepupunya akan menjadi kenyataan.
"Hati-hati dengan ucapanmu, anak muda. Sebelum ini aku sepertimu." Balasan dengan nada mencemooh datang dari Arvid. Dia bahkan memberikan seringai menyebalkan dan membuat Skylar merengut tidak senang. Tak mau berlama-lama di luar, mereka berempat segera berjalan masuk.
Di dalam rumah, rupanya sudah cukup ramai dengan adanya beberapa orang. Bahkan, ada sepupu lain yang jauh-jauh datang dari Italia di sana.
Keberadaan seorang bayi dengan sejumput rambut berwarna merah segera menarik perhatian empat orang yang baru saja datang. Bayi itu digendong oleh Allegra dan menggerakkan tangannya perlahan. Tidak ada tangisan atau semacamnya ketika digendong oleh orang lain.
Setelah mendekat dan melihat lebih jelas bayi yang masih memejamkan mata itu, Skylar mendengus ke arah ayahnya. "Bayimu lebih imut daripada kau, eh? Kuharap dia tidak jadi menyebalkan sepertimu setelah dewasa nanti."
Seringai yang sama tampak di wajah Arvid. "Tenang saja. Akan kusuruh dia mengganggu keturunanmu nanti kalau mereka sudah sama-sama remaja."
Kedua orang itu tampak tak ingin kalah. Meski begitu, saudara-saudara mereka yang lain tampak tak ada yang tertarik untuk menghentikan, karena ini adalah pemandangan lumrah. Kalimat sarkasme dan ejekan pasti terdengar acap kali Arvid dan Skylar bertemu, padahal mereka hidup beda negara sejak kecil.
Berbeda dengan sang ayah, ibu dari bayi itu terlihat lebih menjauh daripada kerumunan yang lain. Wanita itu cantik. Posturnya tinggi dengan rambut merah panjang dan sepasang iris biru. Keberadaannya terlihat cukup mencolok meski dia sedang duduk di sofa yang sedikit jauh dari orang-orang.
Saat mereka menikah, Skylar bisa melihat wajah galak sang wanita. Sorot matanya yang tajam adalah ciri khas dari wanita itu saat dia pertama kali melihatnya.
Namun secara ajaib, setelah beberapa tahun tidak bertemu, sorot matanya tak lagi setajam dulu. Bahkan ada sorot lelah yang samar di sana. Aura wanita aktif yang pernah terpancar beberapa tahun lalu pun sudah memudar cukup drastis. Meski demikian, apapun alasan di baliknya, Skylar tidak berminat untuk bertanya. Bukan urusannya.
"Siapa namanya?" tanya Kara tiba-tiba.
"Lars."
Ketika namanya disebut, sang bayi tampak tersenyum sambil menggerakkan tangannya. Seolah-olah sudah memahami siapa namanya.