"Makan siang!"
Tak butuh menunggu satu detik, Alexa langsung melesat dari sofa menuju dapur meski sempat terhuyung dan hampir terjatuh. Bodohnya sekali. Alexa benar-benar lupa dengan daging yang ada dalam oven. Meski dia tahu ovennya akan mati dengan sendirinya begitu timer menunjukkan angka nol, tapi membiarkannya di dalam sana dan terperangkap bersama uap bukan hal yang baik jika ingin menjaga kerenyahan dagingnya. Beruntung ketika dia baru sampai di dapur, ovennya baru saja berbunyi.
Sebuah hela napas lega dia embuskan. Kemudian daging yang baru matang itu dikeluarkan dari dalam oven dan diletakkan di atas konter dapur, membiarkan aromanya menguar ke dalam indera penciumannya. Penampakannya sempurna. Dan dia harap, rasanya juga sesempurna penampilannya nanti.
Di sisi lain, Skylar hanya mengangkat bahu dan terkekeh melihat tingkah pelayannya. Memang sekarang dia tengah lapar, tapi bukan berarti dia akan menyuruh Alexa segera menyiapkan makan siangnya. Jika gadis itu memang benar-benar lupa membuatkan makan siang, Skylar juga tidak keberatan makan sesuatu yang instan.
Kini dia ditinggalkan berdua bersama Sophie di ruang tengah. Lantas, handphone-nya mendadak berbunyi nyaring, sedikit mengagetkannya.
"Ya?"
Skylar menjawab ponselnya yang berisik, menempelkan di telinga tanpa melihat siapa penelepon yang masuk. Barulah ketika dia menjawab dengan satu nada malas yang biasa digunakan untuk menjawab panggilan dari rekan bisnis, suara sopran seorang wanita terdengar keras. Skylar bahkan harus menjauhkan ponsel dari telinga selama beberapa saat, sebelum ibunya berniat membuat telinganya tuli karena cerocosan bernada tinggi dengan kecepatan menyaingi TGV.
"Mom? Yah, ya, aku baru saja sampai di rumah. Jangan khawatir, Kara memulangkanku dengan utuh. Ini karena dia seenaknya menambah liburan kami, aku tidak ada waktu untuk berkunjung ke sana, maaf." Pemuda itu lantas bicara dengan cepat menggunakan bahasa Norwegia, memotong cepat ocehan sang ibu yang membuatnya serasa menjadi bocah berumur sepuluh tahun alih-alih seorang berumur dua puluh tujuh dengan pekerjaan tetap.
Alexa pun melangkah dari dapur dan menghampirinya yang sedang menelepon, memberitahu jika makan siang akan siap dalam 15 menit. Skylar hanya tersenyum samar, mengangguk dan mengangkat tangannya, pertanda dia mengerti. Diberikannya isyarat singkat agar gadis itu kembali ke dapur atau ruang makan sementara dia meneruskan menelepon ibunya.
"Ya, ya, aku tahu dia akan segera menikah, tapi aku juga sibuk. Liam mengamuk sampai kami membawanya ke Birka. Yah, entah kapan aku bisa mengambil libur lagi dan—tidak, tidak, kau tidak perlu datang kemari. Bukankah kau tidak suka London, Mom? Tidak, tidak, lain kali aku akan ke sana sendiri, lagipula sudah lama aku tidak makan Rakfisk."
Tidak sampai sepuluh menit, pemuda itu berjalan pelan menuju ke ruang makan. Perutnya sedikit berteriak, namun ibunya masih menuntut cerita hingga Skylar belum memutuskan sambungan telepon. Jadilah dia terduduk di tempatnya yang biasa, diikuti Sophie yang melingkar di kakinya, sambil bicara dengan sang ibu untuk menunggu makan siangnya disiapkan oleh Alexa.
Selama Skylar sedang menelepon, Alexa menyiapkan segalanya dengan cepat. Daging yang dikeluarkan dari oven didiamkan sejenak, sementara dia menyiapkan piring dan lain sebagainya. Wine di kulkas juga dikeluarkan, siap disajikan bersama piring makan siang tuannya.
Semua kegiatan itu sudah membuatnya terbiasa. Sehingga, tidak sampai 15 menit, Alexa sudah masuk ke ruang makan dengan membawa piring dan gelas wine milik tuannya.
"Aku sudah melihatnya, anak laki-laki Arvid. Aku masih tidak percaya manusia macam dia jadi ayah, pfft. Sylvia bilang hal yang sama padaku dan—oh, aku harus pergi sekarang. Makan siangku sudah datang. Bye, mom."
Melihat Alexa dating dan sudah meletakkan makan siang di depannya, dia buru-buru mengakhiri telepon dengan sang ibu.
Pemuda itu mengembuskan napas panjang setelah meletakkan ponselnya di atas meja. Bicara dengan ibunya selalu membuatnya amat lelah, entah mengapa. Tapi senyumnya kembali tidak lama kemudian. Melihat makan siangnya sudah siap, perutnya bertambah lapar.
"Hm, mewah. Apa ini, Alexa?"
Selesai memindahkan piring dan gelas dari atas nampan ke atas meja, Alexa sedikit menyingkir dan bergerak ke sisi kanan tuannya.
"Itu Porchetta. Makanan klasik dari Italia."
Sengaja dia memilih resep yang sedikit mewah hanya karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Sedikit menggelitik, karena dia hanya kebagian mengolahnya menjadi sebuah makan siang yang mewah, sementara Alexa sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli bahan-bahannya. Hanya karena hari ini dia merasa senang, makanya Alexa bisa membuat makanan yang lebih mewah daripada biasanya—meski dia tak terlalu berbakat untuk menghias piringnya seperti yang dilakukan koki di bawah.
"Hmm. Porchetta, ya."
Sepertinya Skylar belum pernah mencoba makanan tersebut, daging babi bila hidungnya tak salah. Nampak mewah, hingga dia mempertimbangkan untuk mengusulkan pada koki di bawah untuk menambahkan Porchetta ke dalam menu mereka lain kali. Entah seberapa sulit membuatnya. Dari yang dilihatnya, ini bukan termasuk masakan yang mudah.
Pemuda itu jadi sedikit bertanya-tanya tentang apa yang terjadi hari ini. Pelayannya sedang senang kah sampai memasak semewah ini? Seingatnya tidak ada hal yang dirayakan hari ini.
Atau mungkin dia terlalu berlebihan dan Alexa hanya ingin mencoba resep masakan baru yang dia temukan.
Tidak ada protes, lagipula Skylar cukup bosan bertemu dengan daging ikan setiap hari sewaktu di Stockholm. Macam tidak ada makanan lainnya saja. Lagipula masakan-masakan yang dimakannya selama perjalanan kemarin tidak lebih enak dari masakan pelayannya, Skylar, entah mengapa jadi lebih menyenangi apapun yang dibuatkan Alexa untuknya. Aneh memang, dia sendiri tak paham mengapa demikian.
Sementara di dapur, Alexa tak ingin membuat tuannya menunggu. Sehingga, dia buru-buru mengambil piring dan gelas minumannya untuk dibawa ke meja makan. Sebuah rutinitas baru yang sudah dijalankan selama hampir satu bulan. Rutinitas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya; makan bersama tuannya di meja makan.
Aroma yang menguar dari piring membuat salivanya mengalir deras di dalam mulut, serta rasa lapar yang timbul dengan cepat.
Itu adalah masakan mewah pertamanya, di hari ulang tahunnya. Jika saja Alexa tak berada di tempat ini sekarang, mungkin menikmati makanan seperti ini hanya bisa dia bayangkan saja. Entah kapan bisa sungguhan terwujud.
Gadis itu duduk di tempatnya dan bersiap makan.
"Ah, maaf saya melupakan sesuatu." Alexa yang sudah mengatupkan kedua tangannya dan bersiap untuk makan, menurunkan kembali kedua tangannya dan meletakkan di atas paha.
"Tuan, selamat datang kembali."
Dan selamat ulang tahun, Alexa.