"Dokter, jangan melakukan itu," kata ibu Leon dengan mata sembabnya.
Kirana menoleh ke arah ibu Leon. Kirana masih berdiri di tepi atap rumah sakit sambil masih melihat tanah dengan nanar.
"Saya gak akan pernah membiarkan pasien saya mati. Kalau pasien saya mati, apa gunanya menjadi seorang dokter," kata Kirana.
Bagi Kirana menjadi seorang dokter itu berarti menyelamatkan sepenuh hati dan sekuat tenaga. Ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan semua pasiennya. Itu prinsip yang dipegang teguh Kirana sejak mengucapkan Sumpah Dokter Indonesia yang isinya:
Demi Allah saya bersumpah, bahwa:
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
2. Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
11. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Ibu Leon menangis. Dalam hidupnya belum pernah ada orang yang sangat peduli padanya seperti yang dilakukan Dokter Kirana. Padahal ia baru saja mengenal Dokter Kirana tapi dokter itu sudah membantunya banyak.
"Kenapa dokter begitu baik? Kenapa Dokter Kirana begitu mempedulikan saya dan Leon sampai seperti ini?" isak ibu Leon.
"Saya pernah gagal menyelamatkan orang yang paling saya sayangi di dunia ini. Karena itu saya gak bisa membiarkan ibu mati," kata Kirana sambil meneteskan air mata.
Akhirnya ibu Leon memeluk Kirana. "Maafkan saya."
Kirana hanya bisa memeluk wanita itu erat. Kirana sangat bersyukur karena ibu Leon memutuskan untuk tidak lompat dari lantai 5.
Beberapa perawat akhirnya maju mendekat ke arah Kirana dan ibunya Leon. Mereka membantu menurunkan ibu Leon dari tepi atap gedung.
Leon langsung berlari ke arah ibunya. Bocah itu memeluk ibunya erat.
"Ibu, jangan tinggalin Leon," katanya sambil terisak.
Ibu Leon hanya bisa mengangguk. "Ibu, gak akan pernah tinggalin Leon lagi. Ibu janji."
Setelah turun dari tepi atap, tubuh Kirana mendadak lemas. Dia hampir jatuh kalau bukan Yudhistira yang menopang tubuhnya.
"Bawa ibu Leon ke ruang perawatan, Sus," Yudhistira memberi instruksi pada perawat.
Sementara itu Yudhistira memapah Kirana turun dari lantai 5. Kulit Kirana pucat dan dingin. Yudhistira sangat khawatir dan langsung membawa gadis itu ke UGD.
Di UGD, sudah ada Mita dan Vero. Mereka berdua menangis dan langsung memeluk Kirana erat.
Kirana yang masih lemas sulit mencerna apa yang terjadi. Tapi hatinya lega. Karena kedua sahabat perempuannya ini sangat mencemaskan kondisinya.
"Kamu tau aku sampai membatalkan photo shoot begitu dengar kamu mau lompat dari lantai 5," isak Vero.
Biasanya Vero akan mengomel atau mengumpat kalau Kirana melakukan hal-hal bodoh dan berbahaya. Tapi kali ini, Vero tidak bisa.
Dia benar-benar gemetar ketika mengemudikan mobil menuju rumah sakit tadi. Pikirannya kalut luar biasa. Vero tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau Kirana benar-benar jatuh atau loncat dari lantai 5.
"Maaf ya, Ver," hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Kirana saat ini.
Vero melepaskan pelukannya. Ia menghapus air matanya.
"Apa kamu tadi benar-benar ingin bunuh diri?"
Kirana menggeleng.
"Dasar sialan! Aku pikir kamu benar-benar ingin bunuh diri tau!" Vero mulai mengomel. Sifat asli Vero mulai keluar, batin Kirana geli.
"Terus kenapa kamu berdiri di pinggir atap kayak gitu?" Mita ikut bersuara. Sama halnya dengan Vero, ia juga terguncang melihat Kirana berdiri ditepi atap seolah akan melompat.
Hening.
Kirana berusaha mencari jawaban atas pertanyaan marah kedua sahabatnya ini. Pada akhirnya Kirana hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Udah, udah. Kirana baru aja menyelamatkan nyawa pasien. Masak kalian tega sih marahin dia?" Yudhistira menengahi.
"Tapi…" kata Vero dan Mita bersamaan.
"Udah deh. Kalian mending keluar. Biarin Kirana istirahat," Yudhistira mendorong kedua sahabatnya keluar dari UGD. Kirana hanya butuh istirahat, batinnya.
….
Kirana tertidur di UGD. Dia beristirahat setelah mengalami kejadian yang mengguncang hati dan pikirannya.
Dalam tidurnya Kirana bermimpi. Dia berada di sebuah ladang bunga yang indah. Bunga-bunga di ladang itu di dominasi bunga berjenis marigold atau calendula yang biasanya tumbuh di Meksiko dan Amerika Tengah.
Kirana sangat suka jenis bunga ini. Warnanya kuning keemasan dan mekar setiap bulan. Itulah sebabnya bunga ini juga dijuluki "tiap setiap bulan." Lalu mata Kirana menatap sosok berbaju putih dengan rambut disanggul.
Sejenak ia diam. Kirana merasa familiar dengan sosok wanita di tengah ladang itu. Ibu kandungnya!
Kirana berlari menghampiri ibu. Tetapi semakin ia berlari mendekat, sosok ibu semakin menjauh. Sedetik kemudian Kirana sudah berada di lantai paling atas rumah susunnya. Ibunya tercinta sedang berdiri di tepi atap.
"Ibu, ibu," Kirana panik. Ia berusaha berlari ke ibunya tapi kakinya tidak mau bergerak.
Ibu hanya menatapnya sekilas dengan mata sembab.
"Ibu, jangan, Bu!" Kirana menjerit putus asa. Air mata mengalir ke pipinya.
Tanpa mempedulikan suara Kirana, ibu melompat. Terjun bebas.
Kirana terbangun. Napasnya tersenggal dan air mata sudah membasahi kedua pipinya. Perasaannya sangat hancur. Ia merasa tidak berguna karena tidak bisa menyelamatkan nyawa ibunya. Orang yang paling ia sayangi di dunia ini.
Akhirnya KIrana memilih untuk keluar dari UGD. Ia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya dari semua kejadian dan mimpi buruk.
Di saat seperti ini, Kirana merasa tidak sanggup melawan rasa sakit. Sakit yang sudah ia derita sejak 10 tahun terakhir ini. Sakit yang membuat tidurnya tidak nyenyak dan menghantui setiap malamnya. Sakit yang membuatnya merasa bersalah. Sakit yang membuatnya merasakan kedinginan.
Semua rasa sakit itu harus ia tanggung sendirian. Tidak ada orang untuk berbagi. Bahkan ayah, satu-satunya orang tuanya yang masih hidup tidak pernah bertanya seberapa sakit yang selama ini harus Kirana tanggung selama 10 tahun ini.
Tiba-tiba ada sebuah sosok mendekat. Kirana melihat sosok itu dengan tatapan tidak percaya. Bastian.
Bastian sedang berlari cepat mendekatinya dengan wajah khawatir. Begitu bisa mencapai Kirana, tangan Bastian langsung menarik tubuh Kirana. Ia memeluk Kirana begitu erat.
"Syukurlah kamu baik-baik aja," kata Bastian di telinga Kirana.
Untuk sebentar Kirana diam merasakan pelukan Bastian. Perlahan rasa sakitnya memudar. Perlahan rasa hangat merambat ke tubuhnya yang kedinginan. Perlahan ia merasa tidak harus menanggung rasa sakit ini sendirian.
Aku tidak perlu takut lagi, batin Kirana. Lalu ia membalas memeluk Bastian.