Chereads / CEO's Beloved Doctor / Chapter 17 - Bertemu Calon Pelukis

Chapter 17 - Bertemu Calon Pelukis

"Kiranaaaaaa…" lengkingan 10 oktaf menggema di seluruh lorong Rumah Sakit Amerta.

Vero dengan gaun pantai orange lengkap memakai topi jerami, tas jinjing dan high heel sepuluh sentimeter tengah berlari kecil mengejar Kirana yang berjalan cepat menuju UGD.

Semua perawat melihat drama di siang hari antara Vero dan Kirana. Ini bukan pertama kalinya para perawat melihat Vero mengomel atau meneriaki Kirana. Namun tak satupun dari mereka yang berani bertanya mengapa Vero mengejar-ngejar Kirana. Semua perawat takut dengan Vero.

Sementara itu Kirana hanya ingin menjauhi sahabatnya yang satu ini. Ia tidak ingin bertemu Vero karena gadis akan membahas topik yang sangat dihindari Kirana. Kencan dengan pria kaya.

"Heh, Sialan!" maki Vero sambil meletakkan tas jinjingnya di meja kerja Kirana.

"Apa lagi?" Kirana sangat tidak bersemangat.

"Kamu sengaja kan gak pulang ke rumah kemarin? Kamu sengaja menghindariku kan?" Vero berkacak pinggang kesal dan melotot ke sahabatnya.

Kirana mendengus. "Iya."

"Aku tuh gak ngerti deh sama jalan pikirmu," Vero mulai mengomel. "Apa sih susahnya kencan? Apa sih susahnya kenalan sama cowok? Apa sih susahnya membuka hati ke cowok kaya? Apa? Apa?"

"Pelankan suaramu, Vero," Kirana mulai khawatir kalau semua perawat di UGD mendengar omelan Vero.

"Bodo amat!" Vero kesal. "Kalau perlu seluruh pasien di sini tahu aku ngomel-ngomel!"

Kirana sudah tahu kalau dia akan kalah melawan Vero. Tidak peduli seberapa keras ia ingin kabur dan menghindar dari kencan dengan pria kaya, Vero selalu puny acara untuk menyeret Kirana.

Tok tok tok!

Seorang perawat malu-malu masuk ke ruang Kirana. Dia ketakutan.

"Per-permisi, Dok. Saya cuman mau mengingatkan ini jadwal pasien anak-anak kanker di cek," kata perawat itu. Lalu lenyap pergi.

"Kamu dengar kan barusan?" Kirana memandang sahabatnya dingin. "Aku masih ada pekerjaan. Ada pasien yang harus aku tangani. Jadi kita bicarakan semua ini nanti pas pulang ke rumah. Oke?"

"Eh…" Vero ingin protes tidak terima. Tapi Kirana sudah keluar UGD tanpa mempedulikan dirinya.

Mau tidak mau Vero keluar mengikuti Kirana ke bangsal anak-anak. "Heh! Aku ikut, Kir."

Kirana tetap mengacuhkan sahabatnya. Vero akan bosan melihatnya memeriksa pasien lalu pulang dengan sendirinya, batin Kirana yakin.

Langkah kaki Kirana terhenti di depan pintu bangsal anak-anak kanker. Ia mendengar suara ramai-ramai dari dalam ruangan. Tunggu kenapa ada suara tawa dan nyanyian?

Kirana mendorong pintu. Matanya terbelalak. Balon warna-warni sedang tergantung rapi di setiap ranjang. Ada banyak pita tergantung di setiap sudut ruangan. Kesepuluh pasien anak sedang memeluk boneka berukuran raksasa sambil bernyanyi 'Balonku'.

"Ada apa ini?" Kirana menatap sekelilingnya dengan bingung.

Vero yang baru saja sampai di bangsal anak juga kaget. Bangsal di depan matanya ini lebih mirip ruang pesta daripada ruang perawatan anak-anak.

Tiba-tiba sesosok pria berkemeja panjang berambut sebahu muncul. Victor.

"Gimana, Dok? Suka?" Victor senang melihat ekspresi kaget Kirana.

"Apa maksud semua ini?" Kirana bingung.

"Aku cuman bikin pesta aja sih," katanya santai sambil menarik Kirana berkeliling ruangan. "Biar anak-anak terhibur."

Kirana memandang Victor dengan tatapan tidak percaya. Seakan Victor bukanlah orang yang menyukai anak-anak. Seakan Victor tidak akan pernah melakukan hal-hal kemanusiaan seperti ini.

"Aku lihat kemarin Bastian bikin acara amal pameran lukisan buat anak-anak kan? Jadi aku pengen ikut berpartisipasi juga. Biar Dokter Kirana gak menganggap cuman Bastian aja yang paling baik." Kata Victor blak-blakan.

Kirana merasa Victor sedang bersaing dengan Bastian. Entah mengapa.

Vero melihat pria tampan yang sedang berbicara dengan Kirana. "Hai, ini siapa?"

"Ini Victor," Kirana memperkenalkan. "Victor, ini Vero."

Victor mengulurkan tangannya ke Vero. Dengan malu-malu Vero menjabat tangan Victor.

Vero menatap Victor dengan wajah memuja. Matanya berbinar-binar seolah pertama kalinya ia melihat cowok ganteng. "Wah, kenapa Kirana gak pernah cerita kalau kenal cowok ganteng?"

Victor tertawa kecil. Dia sudah terbiasa di puji.

"Ngawur kamu, Ver. Victor ini sepupunya Bastian," Kirana memberi klarifikasi.

"Oh, si Bastian yang pasien ganteng itu ya?"

Kirana menggangguk.

"Wah kayaknya keluarga Bastian ini ganteng-ganteng semua ya," Vero mulai genit. Kirana sampai malu melihat perilaku sahabatnya.

Pada akhirnya Kirana, Victor dan Vero merayakan pesta kecil-kecilan di bangsal anak-anak. Victor lah memimpin menyanyikan lagu Balonku, Bintang Kecil dan Aku Anak Gembala.

....

Victor sudah menunggu Kirana di lobby rumah sakit. Ia menunggu Kirana pulang. Malam ini ia ingin menunjukan sesuatu pada gadis itu.

"Hei, Dokter Cantik," sapa Victor begitu melihat Kirana berjalan menuju lobby rumah sakit.

"Victor?" Kirana kaget. Ia pikir Victor sudah pulang sejak pesta kecil-kecilan di bangsal anak-anak kanker tadi siang.

Victor memamerkan senyum paling mempesonanya. "Kaget ya?"

"Kamu kok gak pulang?" Kirana malah balas bertanya.

"Aku sengaja nungguin kamu. Soalnya pengen nunjukin sesuatu," kata Victor. Belum sempat Kirana bertanya apa yang ingin Victor tunjukan pada dirinya, pria itu sudah menarik tangannya menuju parkiran.

Victor membawa Kirana dengan mobilnya menuju sebuah apartemen di kawasan pinggiran Jakarta. Sejujurnya Kirana sangat bingung. Apa sih maunya pria ini?

Victor mengajak Kirana naik ke lantai paling atas apartemen itu. Lantai 70. Begitu lift terbuka, Kirana bisa melihat sebuah ruangan bernuansa putih lengkap dengan jendela kaca super besar.

Ruangan itu juga dilengkapi dengan kanvas aneka ukuran, berbagai macam cat, kuas dan kursi untuk melukis. Tidak hanya itu, di setiap dindingnya terpasang beberapa lukisan besar yang sangat serasi dengan nuansa putih ruangan tersebut.

"Wah apa ini?" Kirana begitu takjub dengan apa yang dilihatnya.

"Suka gak?" Victor sangat senang. Ia merasa berhasil membuat Kirana terpukau. "Ini studio melukisku."

Kirana membelalakkan mata. "Akhirnya kamu mau melukis lagi?"

Victor menganggukan kepala. "Ini semua berkat seseorang."

Kirana sudah tahu orang yang dimaksud Victor adalah dirinya.

"Aku ikut senang kalau kamu akhirnya mau mencoba melukis lagi," kata Kirana.

Victor berpikir sejenak. "Sebenarnya aku gak tahu apakah semua ini akan berhasil. Maksudku aku gak tahu apakah aku bisa melukis dan menjadi pelukis terkenal."

Ada keraguan di kalimat Victor. Ia merasa tidak yakin pada dirinya. Pada impiannya untuk menjadi pelukis. Ia menghabiskan masa mudanya untuk membuka bisnis bar, klub malam dan resort. Memulai karir menjadi pelukis adalah hal yang sangat baru baginya.

Victor tidak tahu apakah usahanya menjadi pelukis akan sesukses bisnis bar, klub malam dan resortnya. Ia khawatir.

"Jangan khawatir," Kirana menepuk-nepuk bahu Victor. "Yang penting kamu berusaha yang terbaik. Aku yakin kalau kamu bekerja keras, menjadi pelukis terkenal tidak akan sulit."

Dalam hidupnya, Victor belum pernah mendengar kata-kata seperti ini. Ia selalu mendengar ayah, ibu dan kakeknya meremehkan kemampuannya. Bahkan saat Victor berhasil membuktikan kemampuannya dengan membuka bisnisnya sendiri, tidak seorangpun mengakui.

Hanya Kirana lah yang menyemangati dan tidak meremehkan kemampuan dirinya. Hanya Kirana yang mendorongnya untuk mencapai mimpinya. Hanya Kirana seorang.

Tiba-tiba Victor berharap Kirana bukanlah orang yang disukai kakeknya. Ia berharap kakeknya tidak berusaha menjodohkan Kirana dengan Bastian.