Chereads / Naura_ / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

TING! Dentingan pintu cafe menandakan adanya pengunjung yang masuk mendongakkan kepala Naura, menghentikan kesibukannya membersihkan meja yang baru saja ditinggal oleh beberapa pengunjungnya tadi. 'Oh my, pria itu lagi!' Batin Naura.

Pria itu adalah pengunjung tetap cafe lotus, hampir setiap hari Naura selalu melihat pria itu berkunjung dan menempati tempat duduk favoritnya di samping jendela kaca besar yang memungkinnya melihat suasana malam kota dengan kerlap-kerlip lampu sepanjang toko seakan berlomba-lomba untuk menarik perhatian para pejalan kaki dan kendaraan yang berlalu-lalang. Anehnya, pria itu tidak pernah tertarik untuk sekilas melihat pemandangan diluar. Gadis-gadis cantik dan sexy yang berseliweran didepan cafe selalu tanpa sengaja berhenti selama beberapa detik. Terpesona dengan ketampanan pria di balik kaca cafe yang duduk menyilangkan kaki bak model yang sedang melakukan photoshoot. Pria itu duduk dan menatap Naura dengan bola mata hitamnya yang berkilauan. Naura sadar tatapan tajam pria itu selalu mengikuti gerak-geriknya. Naura mengehela nafas kasar, kesal dengan tatapan pria tanpa nama yang membuatnya risih dan sedikit salah tingkah itu.

"Selamat datang di cafe lotus, Anda ingin memesan apa?" Rendy salah satu pegawai cafe mendatanginya dan menyerahkan buku menu.

"Saya ingin wanita itu yang mencatat pesanan saya," Sahut pria itu mendongakkan dagunya ke arah Naura tanpa melepaskan pandangannya dari Naura yang sudah mengangkat piring dan gelas kotor untuk dicuci. Naura mengerutkan keningnya, sudah menduga pria itu akan memintanya mengambil pesanan seperti yang dilakukan pria itu selama berkunjung ke cafe. Naura menganggukkan kepalanya ke arah Rendi dan menghampiri pria tampan tersebut, berdoa dalam hati semoga dia tidak mempermalukan dirinya sendiri karena salah tingkah ditatap seintens itu.

"Ada yang bisa dibantu?" Pria itu hanya menatap Naura yang sudah bersiap-siap untuk mencatat pesanannya. Merasa diabaikan, Naura berdeham dan tersenyum tipis menarik pria aneh itu dari apapun yang sedang dipikirkannya.

"Pesanan seperti biasanya," Sahutnya tanpa melepaskan pandangannya dari Naura.

"Pesanan Anda akan datang 10 menit lagi, ada tambahan Tuan?"

"Tidak perlu, itu saja." Naura tersenyum dan melenggang pergi menyerahkan pesanannya kepada pegawai bagian dapur melalui sekat yang menghubungkan counter kasir dengan dapur.

"Pria itu?" Imelda yang berdiri di belakang counter kasir mengerlingkan matanya menggoda Naura. Cafe sudah mulai sepi pengunjung, karena waktu sudah menunjukkan beberapa menit sebelum pukul 9. Naura tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti ini untuk bergosip ria dengan pegawai-pegawai cafe. Naura hanya mencibir mendengar nada menggoda Imelda.

"Iya si pria aneh,"

"Ganteng gitu lo bilang aneh. Sarap lo." Imelda terkekeh geli, tidak habis pikir di zaman orang-orang berganti pasangan layaknya gonta-ganti baju, Naura membutakan mata dan menulikan telinga dari perhatian kaum Adam yang genjar mengejarnya. Imelda terkadang iri melihat Naura. Naura memiliki semua yang diidam-idamkan para lelaki. Wajah cantik, tubuh langsing, mata bulatnya yang bercahaya. Imelda selalu bertanya-tanya apa yang tidak dimiliki Naura sehingga Naura bisa terlihat lebih manusiawi.

"Elo demennya yang kayak gimana? Si Joko di depan itu? Kendaraan aja bisa Dia jagain, apalagi hati lo. Gratis buat lo, gak pake goceng ," Naura melotot ngeri mendengar Imelda menyebut nama Joko. Lelaki dengan rambut putihnya yang mulai menjamur, selalu mengedipkan matanya apabila melihat Naura dengan senyum lebar menunjukkan giginya yang tanggal disana-sini.

"Kampret lo! Ogah gue markirin hati gue di aki-aki genit kayak gitu." Naura bergidik geli membayangkan Dia bersama laki-laki seperti Joko. Naura lebih memilih menjadi perawan tua dibandingkan menghabiskan hidupnya bersama aki-aki itu. Imelda tertawa terbahak-bahak, menunduk dan memegang perutnya melihat ekspresi jijik Naura. 

Obrolan mereka terhenti melihat Raihan menuruni tangga dari ruang kantornya di lantai dua, menghampiri si pria tanpa nama. Dahi Naura berkerut bingung, bertanya-tanya apakah Raihan mengenal lelaki itu. Mungkin Raihan tau Dia adalah pelanggan tetap cafe dan ingin memberikan salam secara khusus kepada pelanggan cafenya yang paling setia. Tetapi sepertinya pria itu selalu datang ketika Raihan tidak ada di cafe, terus bagaimana Boss-nya itu bisa tahu? Naura mengerjap ketika Imelda menyenggol lengan Naura, menyadarkan Naura dari imajinasinya yang mulai melantur kemana-mana. Naura melihat Imelda memegang nampan pesanan pria itu, meminta Naura untuk mengantarkan pesanan tersebut. Naura hanya menggerutu pelan sambil membawa nampan ke meja pria itu dan Raihan yang sedang bercakap-cakap dengan akrab.

"Cil, ini kenalin temen Abang, Adelard. nama lengkapnya Adelard Nailun Nabhan. De, ini adek kesayangan gue Naura," Naura hanya mengerjap bingung dengan perkenalan tiba-tiba itu. Lelaki yang selama beberapa minggu terakhir ini tidak diketahui namanya itu ternyata adalah teman Raihan. Bahkan saking terkejutnya, Naura tidak menyadari Raihan memanggilnya kecil yang selama ini selalu membuatnya kesal. Naura berusaha bersikap biasa, mengabaikan kejadian 2 minggu lalu. Mungkin malam itu mereka memang tidak sengaja bertemu.

"Panggil Ade aja," Sahut pria bermata tajam itu sambil mengulurkan tangannya, mmembuyarkan lamunan Naura.

"Ehm, Naura," Naura tidak pernah segugup ini berhadapan dengan laki-laki. Dia berdoa Ade tidak menyadari tangannya yang sedikit bergetar.

"Naura balik ke belakang dulu, Bang." Belum sempat melangkahkan kakinya dari suasana akward itu, Raihan menarik sebelah tangannya yang tidak memegang nampan.

"Abang gak bisa nganterin Kecil hari ini. Ada laporan yang harus Abang selesain. Jadi, kamu. ." Naura menyela ucapan Raihan, mengerti kondisi Abangnya yang masih harus lembur. Dia tidak mungkin tega menyuruh Raihan untuk meninggalkan tugasnya hanya untuk mengantar Naura. Naura juga ingin segera menyingkir dari tatapan tajam Ade yang dapat dilihatnya dari sudut mata.

"Gak apa-apa, Bang. Naura bisa naik taksi."

"Eh, gak bisa gitu. Gak baik anak gadis naik taksi malem-malem," Naura melotot dan berdecak kesal dengan perlakuan Raihan yang masih menganggapnya anak kecil.

"Abang, Naura bukan anak kecil lagi. Bisa jaga diri sendiri. Lagian juga Naura gak mau nungguin Abang lembur, besok harus ngampus pagi-pagi."

"Abang gak minta ditemenin. Hari ini kamu dianter sama Ade dulu. Abang gak mau kamu naik taksi malem-malem gini. Abang kepikiran."

Naura melotot kaget. Dianter? Sama si kulkas berjalan yang irit ngomong ini? Mending dianter Joko, paling-paling sampai rumah muntah dengerin rayuan maut si Joko.

"Kan Dia orang asing, Bang," Naura menunjuk Ade yang sedari tadi hanya memperhatikan percapakan kakak-adik tidak sedarah ini dengan takjub. Wanita ini, Naura semakin membuatnya terpesona. Ya, Ade sudah terpesona kepada Naura sejak pertama kali Dia melihatnya. Ade berniat menemui Raihan malam itu di cafe, tetapi yang ditemuinya adalah Naura yang sedang bersenandung ringan sambil membereskan meja-meja cafe. Rambut sebahunya diikat asal-asalan dengan beberapa helai rambutnya yang terlepas membuat Ade tertegun terpesona. Bahkan Dia sudah tidak ingat lagi tujuannya ke cafe itu dan memilih duduk di kursi disamping kaca jendela besar untuk mengamati wanita cantik itu lebih leluasa.

"Ade itu temen Abang dari SMA, Cil. Dia sahabat Abang, jadi Abang percayain kamu sama Ade hari ini," Sahut Raihan pelan. Terkadang Raihan harus ekstra sabar menghadapi perempuan keras kepala ini.

"Tapi Dia tetep orang asing buat Naura. Naura bisa naik tak. ."

"Naura. ." Naura mengerjap kaget mendengar nada suara Raihan, bahkan Abang-nya itu sudah memanggilnya Naura yang menandakan Dia sudah mulai kesal menghadapi Naura.

"Pulang sama Ade. Ini udah mau jam sepuluh, dek. Pokoknya, kamu harus pulang dianter Ade, atau Abang gak ijinin kamu dateng lagi ke cafe besok," Sahut Raihan dengan nada final.

"Iya. .iya. Naura pulang sama Ade. Ih, ancemannya gitu mulu. Ngeselin!" Naura menghentakkan kakinya kasar dan berlalu pergi, membereskan barang-barangnya dan menyiapkan mental menghadapi suasana mencekam selama 45 menit perjalanan pulang. Raihan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Naura yang merajuk.

~~~

"Eh. . eh.  .elo mau ngapain? Jangan macem-macem lo," Naura memekik panik melihat Ade mencondongkan badannya ke arah Naura. Gila, parkiran cafe sudah kosong didukung dengan mobil mewah Ade yang berkaca gelap. Naura ragu ada orang yang akan menolongnya apabila si Batu Es ini berniat macam-macam kepadanya. Naura memejamkan matanya bersiap untuk kemungkinan terburuk sampai kemudian terdengar bunyi 'Klik'. Naura membuka matanya dan berhadapan langsung dengan wajah tampan Ade yang tanpa cela.

"Gue mau pasang seat belt. Elo pikir gue mau ngapain?" Tanya Ade dengan menaikkan sebelah alis matanya, menggoda Naura.

Naura merasakan semua darah di tubuhnya naik mengumpul di wajahnya, membuat pipi chubby-nya merona. Naura memalingkan wajahnya, malu. Naura mengumpat karena reaksi tubuhnya ketika berhadapan dengan Ade. Dia sudah membuat Ade besar kepala dengan pengaruh yang ditimbulkan keberadaan Ade terhadap reaksi tubuhnya.

"Elo kira gue gak bisa masang seat belt? Elo kan bisa ngingetin gue buat pasang sendiri," Sungut Naura membela diri. "Pantes aja awet banget sama Bang Raihan, sama-sama nyebelin," gerutu Naura pelan.

Ade melihat Naura sekilas dan menjalankan mobilnya menjauhi parkiran cafe. "Elo ngomong apa barusan?"

"Nggak, gue kumur-kumur," Naura bersyukur dalam hati Ade tidak mendengar gerutuannya. Naura hanya mengenal Ade 30 menit yang lalu, Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Ade ketika terpancing emosi dengan ucapan Naura. Bisa saja Ade adalah pembunuh berdarah dingin yang tidak segan-segan membawanya ke hutan untuk dimutilasi, dan Abangnya tidak pernah tau. Naura bergidik ngeri dengan pemikirannya sendiri sembari mengedarkan pandangannya mencari jejak-jejak seperti senjata tajam, topeng, atau bahkan mayat untuk mencari kebenaran dari imajinasinya yang luar biasa.

"Lampu merah depan belok kiri, terus pas tikungan sebelah toko bu . . "

"Gue udah tau," Sahut Ade menyela ucapan Naura yang memberikan arahan ke arah rumahnya. Dahi Naura berkerut, bingung bagaimana Ade bisa tau dimana alamat rumahnya. Naura juga tidak ingat Abangnya memberikan alamat rumahnya. 'Mungkin aja ngasih tau alamat gue pas gue lagi ke belakang tadi' Batin Naura tenang.

Ade hanya melirik sekilas Naura yang diam tidak bertanya-tanya lagi. Sebenarnya Dia sudah tau informasi apapun tentang Naura. Dimana kampus Naura, alamat rumah, Naura yang hanya tinggal sendiri. Semua informasi tentang gadis itu selama 5 tahun terakhir, dan Ade tidak mendapatkan sedikitpun informasi mengenai kehidupan Naura sebelum itu. Aneh!

"Elo ada hubungan apa sama Raihan? Kelihatannya elo akrab sama Dia?" Ucap Ade membuka pembicaraan. Naura hanya mendengus pelan. "Bukan urusan lo."

"Elo suka sama Raihan,"

DEG! Itu bukan pertanyaan. Naura memutar kepalanya mendengar pernyataan Ade. Bagaimana Dia bisa berbicara seperti itu? Naura baru saja mengenal Ade, bagaimana Ade dengan yakinnya mengatakan bahwa Dia menyukai Raihan?

"Maksud lo, a. .apa?" Ade tersenyum kecil mendengar nada gugup di suara Naura.

"Keliatan jelas, Ra. Gimana elo ngeliat Raihan dengan tatapan yang berbinar, mata lo yang terus ngikutin gerak-gerak Raihan dengan tatapan memuja, ekspresi lo yang berubah pas lo dateng ke cafe dan gak nemuin Raihan disana. Apa perlu gue lanjutin?"

"Elo. . elo gak usah sok tau," Sentak Naura dengan nafas memburu menahan amarah. "Gue sama sekali gak ada perasaan apapun sama Bang Raihan. Dia abang gue, gue cuma nganggep Dia abang gue," Ade menatap tajam Naura yang menggumam lirih, perubahan ekspresinya menunjukkan dengan jelas bahwa Naura berbohong. Kemudian Ade tersenyum sinis, Dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan gadis mempesona ini. Walaupun dengan cara licik. 

Ade menolehkan pandangannya ke jalan dan menjalankan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

Dia sudah tidak lagi memperhatikan gedung-gedung pencakar langit dan pohon-pohon yang menari pelan tertiup hembusan angin malam. Pikirannya berkecamuk, mencoba menelaah perasaannya terhadap  Raihan. Lamunannya terputus dengan suara dalam Ade yang membuat tubuhnya berdesir ringan.

"Gimana ya, kalau misalkan Raihan tahu adek kecilnya memendam perasaan terhadap Dia? Mungkin kalo elo beruntung, Raihan bisa ngebales perasaan lo, tapi kalo nggak ya siap-siap aja Raihan sedikit demi sedikit akan ngejauhin elo," Ucapan sadis Ade membuat mata Naura berkilat-kilat marah. Tidak habis pikir kenapa Ade bisa setega itu kepada dirinya, bahkan Dia baru mengenal Naura 30 menit yang lalu. Dia tidak berhak ikut campur dengan urusannya.

"Elo. .elo. ." Naura menekan jari telunjuknya ke lengan kokoh Ade, tidak tahu bagaimana membalas ancaman tersiratnya. "Kalo elo berani, berani ngomong macem-macem sama Bang Rai. . "

"Elo mau apa? Hem. ." Bibir Naura menipis menahan geram melihat Ade berbicara dengan santai seakan perbicaraan mereka bukan masalah besar bagi Naura.

"Sebenernya, mau lo apa sih? Kenapa elo ikut campur masalah gue?" Sahut Naura pasrah. Dia tidak tau lagi apa yang harus dilakukannya. Laki-laki sialan satu ini selalu membalas perkataannya dan membuatnya mati kutu. Ade menyeringai mendengar ucapan Naura. Ini dia yang Dia tunggu daritadi.

"You've got my point, sweetcake. Gue adalah pebisnis muda yang sukses. Semua yang gue lakukan harus jelas untung ruginya buat gue, termasuk keep your sweet little secret." Ade mengerling menantang Naura yang menatapnya dengan tatapan inging membunuh. Ade bisa tenang, Naura tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Dia memegang kartu AS gadis itu.

"Gue bisa aja ngejaga rahasia lo itu. . " Ade menggantung ucapannya membiarkan Naura meresapi apapun yang dikatakannya.

"Elo mau apa sebagai imbalan?" Ucap Naura yang mengerti kemana arah pembicaraan ini berujung. Apa yang diinginkan lelaki ini? Uang? Bahkan mungkin gaji sebulan Naura sejumlah gaji yang dibayarkan Ade  kepada pembantunya. Dia tidak memiliki sesuatu yang berharga sehingga membuat lelaki ini menjebaknya dengan akal bulusnya. Ade hanya terkekeh geli, ternyata Naura lebih pintar dari yang dibayangkannya.

"Elo," sahut Ade santai membuat dahi Naura berkerut bingung. Apa maksud lelaki ini? Belum sempat Naura untuk menanyakan maksud Ade, Ade sudah lebih dulu menjelaskan apa yang Dia inginkan.

"Gue mau elo jadi kekasih gue,"

Naura melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Menjadi pacarnya? Dimana pikiran laki-laki ini? Dia pasti bisa mendapatkan wanita cantik melebihi dirinya dengan dengan satu petikan jari.

"Gue? Jadi pacar lo?" Naura menunjuk dirinya bingung. "Nggak. Gue gak mau. Elo jangan gila."

"Oke gue gak akan maksa elo," Naura mengehela nafasnya lega, sedikit bingung dengan reaksi Ade yang Naura pikir akan meledak-ledak marah karena penolakannya.

Ade mengeluarkan Hp dari saku celana kain hitamnya, mengetikkan sederet angka dan mendekatkan Hp-nya ke telinga. Ade menunggu sambungan telepon di seberang tersambung sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ringan ke setir mobil.

"Halo, Rai," Tubuh Naura menegang mendengar Ade menyebut nama Raihan. Apakah Ade akan melakukan apa yang Naura pikir akan Dia lakukan? 'Dia tidak mungkin berani' Naura menggeram marah.

"Iya nih, gue masih di jalan sama Naura. Elo besok ke cafe kan?"

"......."

"Gak kenapa-kenapa kok. Ada yang perlu gue omongin sama elo,"

"......."

"Oke, besok pulang kantor seperti biasa gue ke tempat lo,"

Naura hanya melihat Ade dengan tatapan tak percaya. Lelaki ini tidak main-main dengan ancamannya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Raihan tahu mengenai perasaan  tidak menentu Naura kepadanya.

"Elo nggak serius kan?" Tanya Naura gugup. Naura melihat Ade hanya terkekeh geli dengan pertanyaannya.

"Tentu aja gue serius, Naura. Apa yang bikin elo berpikir gue bercanda?" Wajah Naura memucat, Ade serius dengan ucapannya.

"Elo gak bisa maksa gue untuk jadi pacar lo."

"Elo tau sendiri gue gak akan maksa elo," sahut Ade dengan santai.

"Tapi elo ngancem gue," geraman Naura disambut oleh seriangai jahat di wajah Ade. Apa Dia pikir semua ini hanya lelucon?

"Gue cuma negosiasi, Ra. Ya itu hak lo buat nerima penawaran gue atau nggak. Kita sampai ke rumah lo 5 menit lagi, jadi gunain 5 menit itu untuk mempertimbangkan tawaran gue."

Naura ternganga mendengar ucapan Ade. 5 menit? Seriously ?Dia pikir ini hanya masalah memutuskan menu untuk makan malam? Naura memejamkan matanya dan mengusap pelipisnya lelah. Dia tidak pernah berpikir hari ini akan menjadi sedemikian rumit. Naura selalu berpikir cinta itu tidak pernah ada. Masa lalunya sendiri yang menunjukkan tidak pernah ada cinta yang dalam kehidupannya. Naura sendiri bingung dengan perasaannya terhadap Raihan. Dia selalu merasa nyaman dengan keberadaan Raihan, dan Dia tidak bisa membayangkan apabila Raihan mengetahui perasaannya dan menjauhinya. Dia tidak bisa!

"So. . .kita udah sampek rumah lo. Apa jawaban lo untuk penawaran gue?" sahut Ade tiba-tiba yang dibalas dengan tatapan sengit Naura.

"Elo. . adalah cowok paling brengsek yang pernah gue kenal,"

"Yes, I am. "

"Sampek kapan?" Tanya Naura membuat Ade mengerlingkan matanya bingung.

"Sampek kapan gue harus jadi pacar elo?" lanjut Naura. 'Ah, ternyata si cewek keras kepala luluh juga' batin Ade menyeringai.

"Sampek gue udah ngerasa bosen sama elo," ucap Ade santai. Naura melotot marah dengan jawaban santai Ade. Naura membalikkan tubuhnya dan menarik handle untuk keluar dari mobil si cowok menyebalkan itu.

"Buka pintunya. Gue mau keluar. Urusan kita hari ini udah kelar kan?" Naura menoleh ke arah Ade setelah Dia tidak bisa membuka pintu mobil.

Ade tertawa geli mendengar nada tidak sabar Naura.

"Besok elo gue jemput. Jadi jangan berangkat kampus sebelum gue dateng, oke?"

"Gue bisa berangkat sendi. . ." Naura menghentikan ucapannya melihat tatapan tajam Ade.

"Kita coba lagi. Elo besok jangan berangkat sebelum gue dateng, oke?"

Naura mendesah pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. "Terserah lo,"

"Oh ya, dan jangan lupa karena hari ini kamu udah resmi jadi kekasihku, mulai besok kata 'elo' dan 'gue' tolong diganti. Kamu bisa panggil aku sayang, atau apapun yang kamu suka," Ade mengedipkan sebelah matanya menggoda Naura. Naura hanya melongo, kaget mendengar Ade bisa menggunakan aku kamu tanpa canggung.

Naura berdeham salah tingkah, membuka pintu mobil untuk menyingkir dari hadapan Ade dan supaya Naura tidak mempermalukan dirinya sendiri di hadapan lelaki tampan yang sekarang sudah resmi menjadi pacarnya.

"See you tomorrow, Doll," Naura melangkah ke dalam rumahnya mengabaikan teriakan Ade yang membuat rona merah menjalari pipinya.

Naura menghempaskan tubuhnya lelah di atas kasur queen size-nya. Suasana rumahnya sepi dan dingin seperti biasa. Bahkan suara ketukan jam yang menempel cantik di dinding krem kamarnya terdengar jelas ke seluruh ruangan. Matanya menutup perlahan diiringi alunan detakan jam, lagu pengantar tidur Naura setiap malam.

~~~

~Foto Adelard yang diatas itu ya, setidaknya itu sosok Ade dalam imajinasi sya~😅

Vote dan comment ya great readers😘😎

~~261216~~