Raihan mengehela nafasnya pelan, tidak ada yang bisa dilakukannya apabila Naura memang sudah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Ade. Naura benar, Dia tidak berhak untuk mengatur hidup Naura karena memang Dia bukan siapa-siapa.
"Abang ikutan seneng kalo memang itu udah jadi keputusan Kecil dan bisa bikin Kecil bahagia," sahut Raihan akhirnya dengan senyum kecilnya.
"Tentu aja gue bisa bikin Naura bahagia, Re. Elo gak perlu kuatir,"
"Gue pegang omongan lo, De. Jaga adek gue baik-baik,"
"Gue berasa kayak ngadepin kakaknya Naura aja kalo gini," gumam Ade pelan yang tidak luput dari pendengaran Naura.
Naura mengalihkan matanya yang sudah mulai berkabut dan menatap ke jalan diluar cafe, mengerjapkan matanya pelan untuk menghalau gumpan-gumpalan bening yang mengancam untuk meloloskan diri.
"Ya udah kamu siap-siap pulang gih, bareng Ade kan pulangnya?" tanya Raihan sendu dan mengusap kepala Naura pelan.
"Ya jelas bareng gue dong, Re. Kan tadi sampek sini bareng gue," Ade menyentak tangan Raihan dari kepala Naura dan menatap laki-laki gondrong itu tajam. Raihan yang dikuliti dengan tatapan tajam Ade itu hanya menyeringai kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil berlalu dari hadapan mereka.
"Udah gak usah diliatin terus. Percuma juga kamu liatin, Dia gak bakalan liatin kamu balik. Nanti kamu malah sakit sendiri," Ade yang melihat Naura masih menatap ke arah kantor Raihan seakan bisa menembus dinding dan melihat Raihan dibaliknya, sudah tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak berkomentar.
Bagaimana tidak kesal jika pacar sendiri malah sibuk melihat laki-laki lain di depan mata. Mungkin saat ini Naura masih bisa menghiraukannya, tetapi Ade akan melakukan apa saja untuk membuat Naura hanya melihatnya dan tidak berkeinginan untuk melihat atau memikirkan laki-laki lainnya.
Ade bisa melihat bibir gadis itu sudah bergetar menahan tangis. Mungkin kata-katanya memang sudah keterlaluan, tapi Dia tidak peduli. Semuanya harus berjalan sesuai yang Dia rencanakan, membuat wanita ini hanya melihatnya.
"Aku gak suka kamu diemin gini. Kamu punya mulut kan? Atau aku emang lagi ngomong sama tembok?" sahut Ade ketika Naura mulai beranjak tanpa berniat menatapnya.
Naura memicingkan matanya, wajahnya sudah memerah menahan marah yang sedari tadi sudah ditahannya.
"Elo. .elo cowok paling gak berperasaan yang pernah gue temui. Gue benci sama lo, benci banget sama lo," ucap Naura dengan suara pelan dan jari telunjuk yang ditekannya di dada keras Ade.
Ade menangkap jari Naura dan menggunakan tangan lainnya untuk menarik kepala Naura mendekat ke arahnya.
"Kamu jangan nantang aku, Naura. Aku bukan laki-laki yang memiliki kesabaran yang tinggi. Aku bisa melakukan apapun sampai kamu hanya bisa menggantungkan hidup kamu sama aku. Aku bisa jadi prince charming seperti di novel-novel roman picisan yang sering kamu baca, tapi aku juga bisa jadi mimpi buruk kamu. Aku bisa membuat kamu menyesal bersikap seperti ini sama aku," bisik Ade tepat di telinga Naura. Naura masih bisa merasakan rambut tengkuknya berdiri mendengar keseriusan ancaman Ade.
"Cepet siap-siap, nanti keburu malem," Ade melarikan tangannya yang meremas kasar rambut Naura ke pipi Naura yang halus, dan mengusapnya pelan.
Naura masih limbung saat Ade mendorong bahunya pelan. Laki-laki itu memang sudah gila, berkepribadian ganda. Mungkin saja ucapan Ade hanya gertak sambal, tapi Naura bisa merasakan Ade serius dengan setiap kata yang diucapkannya.
~~~
"Elo belom mau cerita sama gue, Ra?" Saat ini Naura dan Alysa sedang berkutat dengan laptop mereka di kos Alysa, menyusun laporan untuk tugas kuliah mereka.
"Cerita apaan?" jawab Naura tanpa mengalihkan fokusnya dari layar kotak itu.
"Hubungan lo sama Ade," seketika gerakan jari Naura berhenti, Dia tidak menyangka Alysa akan mengangkat topik yang sama sekali tidak ingin dibahasnya.
"Lo sama Ade udah bukan kayak orang pacaran, terutama elo. Muka lo kayak yang ketemu musuh bebuyutan aja,���
Naura terdiam dan menautkan jari-jarinya dengan gelisah. Dia tidak tau apa yang harus dikatakannya. Sudah 2 bulan hubungan anehnya dengan Ade berjalan, tidak ada yang spesial. Tidak ada malam mingguan, makan malam romantis, bunga dan hadiah-hadiah berkesan. Ade adalah laki-laki penuh kejutan, Naura bahkan tidak berani membayangkan kejutan apa yang menunggunya ketika Dia membuka mata di pagi hari.
Flashback
Naura mengusap matanya pelan, bunyi menyebalkan alarmnya adalah tanda dimulainya rutinitas pagi Naura. Semalam Naura baru bisa memejamkan matanya pukul 1 dinihari setelah Ade meminta Naura menemaninya ke pesta, sehingga Naura kembali tidur setelah menunaikan shalat subuh.
Jam dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 6 dan Naura harus segera bersiap jika tidak ingin berurusan dengan dosen mata kuliahnya pagi ini.
"Eughh, tau gitu gak usah ikutan Ade, pesta apaan selesai tengah malem gitu," Naura menggerutu sambil menyiapkan baju dan buku-buku kuliahnya. Setelah selesai menyiapkan keperluannya, Naura melangkah keluar kamar dengan menyampirkan handuknya.
"Sudah bangun?" suara berat yang akhir-akhir ini akrab di telinga Naura mengagetkannya. Apa yang dilakukan laki-laki ini di rumahnya? Naura yakin sudah mengunci pintu dan menutup semua jendela.
"Ap. .ba. .bagaimana kamu bisa masuk sini? Apa yang kamu lakukan?" tanya Naura terbata-bata, sedangkan yang ditanya hanya mengangkat bahunya acuh dan menunjuk kursi dengan dagunya, meminta Naura untuk duduk.
"Hey, jawab pertanyaan aku. Gimana kamu bisa masuk rumah ini? apa yang kamu lakukan, hah?" tanya Naura kesal, sambil menarik kursi meja makan dan mendudukinya. Matanya sedikit teralihkan dengan makanan-makanan yang terhidang di meja makan. Dilihat dari dapur yang berantakan, sepertinya laki-laki ini yang memasak.
'Apa dia bisa memasak?' batin Naura.
"Aku masuk ya lewat pintu dong sayang, masak jebol atap. Pertanyaan kamu gak mutu banget," Naura terbelalak mendengar sahutan Ade yang tidak menganggap serius pertanyaannya.
"Ih, maksud aku gimana caranya kamu bisa masuk? Pintu udah aku kunci, jendela juga udah aku tutup,"
"Well, it's pretty easy for me. Udah aku kesini mau nyiapin sarapan kamu, berhenti ngebantah dan cepetan mandi," ucap Ade tegas.
Ade hanya tersenyum kecil melihat Naura menggerutu dan menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Sekertaris Ade, Erina, juga bisa dengan tiba-tiba berdiri di depan pintu, menyerahkan beberapa paper bag berisi baju, sepatu, dan barang-barang lainnya. Ketika Naura menolak untuk menerima, Erina akan memohon dengan tatapan berkaca-kaca, karena lelaki pemaksa itu mengancam akan memecat Erina apabila Naura menolak pemberiannya.
"Haloooo? Naura?" kibasan tangan Alysa di depan wajahnya menyadarkan Naura dari lamunannya.
"Kok lo jadi bengong sih? Gue kan sahabat lo, elo bisa cerita apapun ke gue,"
Naura memijat pelipisnya ringan, Dia sudah menutupi banyak hal dari Alysa. Dia juga butuh teman untuk melampiaskan kekesalannya terhadap Ade.
"Elo jangan ember,"
"Ih, gue mana pernah ember. Mending gentong, muatnya lebih banyak,"
"Bodo ah, gue gak jadi cerita," sahut Naura yang kembali fokus dengan tugas kuliahnya..
"Becanda Neng, gue becanda," Alysa mencolek bahu Naura yang mengacuhkannya.
"Ih, Neng. Lo kok gitu sih? Ayo dong cerita," Alysa menutup laptop Naura dan menyingkirkannya dari hadapan mereka. Naura melongo kaget dengan mulut terbuka.
"Sekarang lo cerita,"
"Al, itu tugas gue kan belom gue save," Naura menatap horor laptopnya yang tergeletak mengenaskan.
"Ntar gue balikin data terakhir yang udah lo kerjain,"
"Kalo ilang gimana?"
"Ya lo garap lagi, repot banget sih Neng,"
Naura menjulurkan tangannya untuk menjitak kepala sahabatnya itu yang bersila di karpet samping kasur yang diduduki Naura.
"Ih, jauh-jauh tangan lo. Habis ngupil mau pegang rambut gue. Baru keramas nih,"
"Rese banget jadi orang. Elo sebenernya mau dengerin cerita gue apa mau ngisengin gue sih?"
"Dua-duanya sih, hehehe," jawab Alysa dengan menyeringai geli.
"Oke gue serius. Sekarang cerita," Alysa beranjak dan mengambil tempat didepan Naura.
"Gue bingung sama hubungan gue dan Ade,"
"Lo suka sama dia?"
"No, never. Elo gak mungkin lupa sama cerita gue beberapa bulan lalu, kan? Tentang cowok yang gue suka?"
"Well, in case lo lupa, sekarang lo itu pacar Ade. Dan gak etis aja kalo elo suka sama cowok lain di saat lo masih ada hubungan dengan Ade," sahut Alysa dengan tidak minat.
Naura menghembuskan nafasnya pelan, dia tau Alysa sedikit tidak rela dengan perasaannya terhadap Raihan. Naura tidak buta, dia bisa melihat dengan jelas ketidaksukaannya ketika Naura membahas perasaannya iitu.
"Gue gak pernah setuju untuk jadi pacar dia, Al. Dia yang maksa gue,"
"Maksa lo gimana?"
"Dia ngancem bakalan kasih tau Bang Rai tentang perasaan gue kalo gue gak mau jadi pacarnya. Gue gak mau Bang Rai tau dan ngejauhin gue,"
Alysa tersentak dengan pengakuan Naura. Ade ternyata memaksanya?
"Apa? Jadi dia bukan. ." Alysa berdeham menautkan kedua tangannya. Alysa gugup? Apa dia mengetahui sesuatu? Pikir Naura melihat perubahan sikap Alysa.
"Ehm, maksud gue jadi dia maksa lo? Untuk jadi pacarnya?" Naura mengangguk pelan, masih dengan wajahnya yang berkerut bingung.
"Gimana maksanya? Maksudnya dia ngancem apa?"
Naura menghembuskan nafasnya dengan kasar, menengadahkan wajahnya ke langit-langit kamar.
"Dia tau kalo gue suka sama Bang Rai," Alysa diam tidak memotong cerita Naura dengan mata melongo dan bibirnya yang terbuka.
"Gue gak ngerti kenapa dia bisa tau perasaan gue. Dia bilang dia tau dari ekspresi gue. Dia tau wajah gue yang berbinar-binar ketika ngeliat Abang, gak bertenaga ketika tau Abang gak di cafe. Apa gue memang terlalu gampang ditebak ya, Al?" Naura menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang dan memeluk kedua lututnya. Alysa mengikuti jejak Naura, meremas bahu sahabatnya itu pelan untuk memberikan kekuatan.
Hati Alysa seperti diremas dengan sangat kuat melihat Naura seperti ini. Dia merasa sangat jahat. Tetapi dia tidak bisa melakukan apapun, semua di luar kendalinya. Andai saja dia bisa dengan mudah membolak-balikkan hati, dia akan dengan senang hati membantu Naura. Melakukan segala cara, mencegah Naura supaya tidak merasakan sakit.
'Apakah aku sudah menjadi sahabat yang baik untuk Naura?'
'Apa yang akan terjadi dengan mereka apabila Naura sudah mengetahui segalanya?Apa masih ada yang namanya persahabatan diantara mereka?'
Sudah beberapa bulan ini Alysa tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ya, sejak pengakuan Naura tentang perasaannya terhadap Raihan. Apa yang bisa dilakukannya? Semuanya sudah terlalu jauh, terlalu dalam, terlalu menyakitkan.
Cinta? Satu kata yang bisa memporak-porandakkan hati manusia. Terkadang kata itu membuat perasaan manusia membuncah, meledak-ledak karena bahagia. Tetapi tidak jarang, karena kata itu pula manusia dengan mudahnya mengeluarkan air mata. Tidak ada yang bisa memilih kemana mereka akan melabuhkan hati mereka dan berkenalan dengan cinta.
Cinta juga adalah kata yang sangat ringan untuk dikatakan bagi kebanyakan orang. Berkenalan dengan wanita cantik, semampai, beberapa hari kemudian terlontarlah kata cinta. Melihat laki-laki tampan, bergaya, bergengsi sebagai gandengan, mereka bilang mereka cinta. Ah, tidak semuanya. Memang tidak semuanya. Lihatlah Alysa dan Naura, bergelut dengan hati kacau balau mereka karena cinta.
"Gue gak tau, Ra. Selama ini kan gue jarang ke cafe. Sekalipun ke cafe juga gak ketemu Bang Rai. Jadi, jujur gue gak tau," Naura menoleh ke arah Alysa sekilas, dan kembali menyurukkan wajahnya di kedua lututnya.
"Tapi, Ra, kayaknya Ade sayang sama lo Ra. Mungkin elo bisa kasih kesempatan buat dia, dia kan pacar lo,"
"Tapi gue gak cinta sama dia, Al,"
"Gue tau Neng. Gue gak bilang lo harus cinta sama dia Ra. Gue Cuma nyaranin elo buat kasih kesempatan buat Ade, buat hubungan kalian, dan buat hati lo sendiri. Gue yakin Ade adalah laki-laki yang mudah untuk dicintai,"
Naura menganggukkan kepalanya pelan tanpa menjawab Alysa. Dia tau, dia sadar diri, itu adalah sindiran halus dari Alysa untuk membuatnya pergi. Membuatnya menyerah dengan perasaannya terhadap Raihan.
Apakah Naura berpikir Alysa jahat? Tentu tidak! Semua orang memiliki hak untuk mencintai. Mereka hanya lagi apes karena mencintai orang yang sama. Naura sudah menyadari perasaan Alysa itu bahkan dari Naura mengakui perasaannya terhadap Raihan kepada Alysa.
Naura akan menyerah, memberikan kesempatan kepada sahabatnya itu untuk lebih dulu bahagia, dan Naura akan menyusulnya nanti. Untuk bahagia. Sementara ini, cukuplah Naura berbahagia melihat temannya bahagia. Klise memang!