Chapter 5 - BAB 5

Bosan, itu yang kurasakan malam ini, aku ambil Hp dan melihat di sana sudah ada panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak aku kenal sebanyak 5 kali dan dari Herri 7 kali, aku buka ada SMS juga,

"Hai Nita, ini Edwin, simpan nomorku y"

"Oh, si Edwin..... Y udah, aku simpan aja deh, siapa tahu butuh" ujarku.

"Non, kok gak pernah angkat telpku seharian ini?, SMS ku juga gak di balas - balas?, sibuk atau mareh nih?" SMS dari Herri.

Bingung, mau jawab atau tidak y?, akhirnya aku putuskan untuk jawab aja,

"Lagi hemat pulsa....." jawabku iseng menjawab SMS Herri.

Lama aku perhatikan tidak kunjung ada balasan,

" jangan - jangan Herri mau balas dendam nih," gumamku. Tapi beberapa menit kemudian tiba - tiba Hp ku berbunyi "ada SMS" suara khas Doraemon terdengar. Segera ku ambil Hp ku yang tergeletak di kasur

"Transaksi pulsa 100.000 berhasil xxxxxxxxxxxxxxx dst",

"waduh, ini pulsa nyasar dari mana sih?, perasaan aku tidak isi pulsa deh? pasti nanti ada yang telp atau SMS minta aku balikin pulsanya, kesel deh kalau begitu...." gumamku. Tiba - tiba suara Hp ku berbunyi lagi

"ada SMS"

"udah masuk pulsanya non" SMS Herri.

"Aduh, kok di isikan pulsa sih, aku kan cuma bercanda" batinku.

"Kok tiba - tiba isi pulsa?" SMSku

"pingin aja, sekalian mau minta malam soal kemarin malam, jangan marah y....!!!" balas Herri lewat SMS nya.

"siapa yang marah?...."

"Nitalah, makanya tidak mau balas SMS dan angkat telpku, alasan Nita aja yang bilang gak ada pulsa" SMSnya.

"Iya deh, aku ngaku lagi kesal sama Herri, habisnya nyebelin sih...." jawabku.

"Maaf y....." SMSnya.

"Iya...." tulisku singkat.

"Besok pulang jam berapa?" tanyaknya di SMS.

"Biasalah jam 3 siang.....".

"Aku jemput y...?".

"Aku kan bawa motor????" SMSku

"Motornya di tinggal bentar di kampus lah..." tulisnya.

"Emang mau ajak ke mana?" tulisku.

"Anterin aku beli buku donk, toko buku dekat kampus...."

"Oke deh, tapi bentar aja y....." tulisku.

"Iya non, masak sebulan..." candanya.

"Hihihi..... Oke deh, btw udah makan?" tulisku.

"belum, Nita sendiri udah" SMS nya

"belum juga, lagi diet" tulisku.

"Jangan deh diet - diet gitu, ntar sakit, Nita itu gak gemuk kok" SMS nya.

"Biarin aja, biar cepat dapat pacar" candaku

"Kan udah ada calonnya??"

"Siapa .....????" tulisku sok gak ngerti

"Nih yang lagi SMS, hehehe...." tulisnya.

"Emang mau kek...." tulisku, karena aku penasaran akan perasaan Herri kepadaku.

"Mau lah kalau di minta" tulisnya.

Baca SMS terakhir dari Herri kok buat aku kesal y bukannya senang, aku kan maunya Dia yang menyatakan cinta dulu, bukannya Aku. Kesel banget.

"Aku makan dulu y.... udah di panggil Mama" tulisku bohong, karena aku malas lanjutin SMS an sama Herri, aku butuh waktu untuk berpikir tentang perasaanku, jujur apa yang di katakan Pak sekretaris program studiku itu tadi siang mau tidak mau menjadi pertimbanganku. Dalam hati aku berpikir, mungkinkah Herri cuma mengambil kesempatan dari ketidak berdayaanku? Aku cuma wanita biasa, dengan usiaku yang sudah matang seperti ini aku sangat mendambakan seorang pendamping di sisiku, apakah salah jika aku berharap lebih dari Herri? Tapi apa mungkin Herri memiliki rasa yang sama denganku dan bukan cuma sekedar memanfaatkan ku.

"Met makan y non, ingat besok siang aku jemput" SMSnya. Bunyi SMS dari Herri sukses membuyarkan lamunanku.

"Ok, aku tunggu, dan jangan lupa makan juga y" tulisku untuk membalas SMS Herri.

Pagi itu berjalan dengan biasa, tidak ada yang istimewa, aku bekerja dengan biasanya. Siangnya aku pergi ke kantin untuk makan siang, setelah itu ke musholla untuk sholat Zuhur. Setelah sholat Zuhur aku segera kembali ke ruang kerjaku. Sesampainya di depan ruanganku, perasaanku tiba - tiba sedikit tidak enak karena tumben - tumbennya banyak mahasiswa bergerombolan di depan ruanganku, ada apa gerangan? Aku semakin mempercepat langkahku. Karena penasaran aku bertanyak kepada salah satu mahasiswa di sana

"Pak Ishak, ada apa?", tanyakku. Karena rata - rata mahasiswa Pascasarjana itu merupakan Bapak - bapak dan Ibu - ibu guru yang usianya jauh lebih tua dariku, maka aku panggil mereka dengan sebutan "Bapak dan Ibu" atau kalau sebaya atau lebih muda aku panggilnya "Mas dan Mbak".

"Pak Agus lagi marah...." jawabnya.

"Pak Sekretaris marah???" ulangku.

"Iya.... tidak tahu sebabnya, jadi tidak berani masuk untuk konsultasi tugas" jawabnya sedikit lesu.

"Ya udah, saya masuk dulu" pamitku.

"Apa urusan kalian ikut campur masalah pribadi saya, kalian itu lancang" samar - samar ku dengar suara Pak Agus memarahi dua orang mahasiswanya.

"Pokoknya saya tidak mau berurusan dengan kalian lagi, saya kecewa sama kalian, sebaik apa saya dengan kalian, saya malah anggap kalian seperti adik sendiri, kalian sering kerumah dan selalu saya layani walaupun sesibuk apapun saya, tapi ini balasannya pada saya?" sepi tidak ada suara, selang beberapa detik Pak Agus keluar dari ruangannya, menatapku dengan pandangan sinisnya lalu pergi begitu saja tanpa berbicara sepatah katapun.

Melihat kelakuan bosku membuat aku bingung, "kenapa aku yang ikut di marah? aku salah apa?" gumamku tidak suka. Pak Agus memang tidak berkata apa - apa kepadaku, tapi aku tahu kalau beliau juga marah kepadaku dari cara beliau memandangku barusan.

Aku masuk ke ruangan Pak Agus dan mendapati dua mahasiswa yang tadi dimarahi Pak Agus. Di sana ada Pak Jaelani dan Pak Aris. Mereka cuma duduk diam seribu bahasa.

"Ada apa sih Pak Jaelani?" tanyakku, yang ditanyak malah diam seribu bahasa.

"Ada apa Pak Aris?" tanyakku lagi.

"Biasalah pak bos lagi datang bulan, hehehe....." jawabnya asal dan bercanda. Mendengar jawabannya begitu aku langsung ngikik

"Alahhhh, Pak Aris, kalau gak ada orangnya sih berani jawab aku gitu, coba kalau di depan bos, diam aja kayak Malin Kundang di kutuk jadi batu..." jawabku sinis.

"Aku adukan ke pak bos y..." jawabku bercanda.

"Ehhh..... jangan donk dek, bisa-bisa Abang di gantung sama si Bos kalau adem ngadu, plis.... jangan y dek bilang macam-macam" mohon Pak Aris kepadaku.

"Aku tidak akan mengadu tapi Pak Aris kasih tahu donk ada apa?" pintaku penasaran.

"Ini cuma salah paham dek, Si bos tuduh kita berdua sebarin isu tentang retaknya rumah tangga beliau sama mahasiswa yang lain, padahal kita gak pernah cerita tuh sama orang - orang" jawab Pak Aris.

"Iya,....." jawab Pak Jaelani.

"Masak sih Pak Bos punya masalah keluarga? aku baru tahu juga nih" jawabku.

"Prak..." suara pintu di keprak orang membuat kami bertiga serempak kaget dan menoleh ke arah sumber suara.

"Sudah saya bilang kalau saya tidak suka orang membicarakan saya di belakang, dan saya tidak duga, kalian bertiga malah menggosipkan saya. Kamu juga Nita, jangan ikut campur urusan orang, urus saja urusanmu, saya kecewa sama kamu" bentak Pak Agus kepadaku.

Mataku panas, hatiku sakit banget mendengar kata - kata kasar dari Pak Agus. Dengan gusar aku langsung berlari mengejar Pak Agus yang meninggalkan ruangan kantor tanpa bicara setelah memarahiku. Aku mengejar beliau sampai ketempat beliau memarkir mobil, segera kuhadang mobil beliau yang hendak meninggalkan tempat dan meminta beliau untuk membuka pintu untukku. Pintu mobil dibuka beliau,

"Apa maumu?" ujarnya dengan nada marah.

"Dengar y pak bos, untuk pak bos tahu saja y, saya tidak pernah membicarakan orang di belakang dan saya juga tidak pernah mau tahu urusan orang lain, mau mereka bahagia kek, cerai kek, selingkuh kek, saya tidak peduli. Untuk apa saya urus masalah orang lain sementara saya juga punya masalah sendiri. Dan untuk Bos tahu y, saya tidak peduli tentang rumah tangga bapak, emangnya bapak siapa? artis juga bukan" kataku panjang lebar mengeluarkan unek - unekku yang tidak rela kena marah tanpa sebab. Setelah mendengar kata - kataku Pak Agus cuma diam dan langsung menutup pintu mobilnya dan berlalu begitu saja. Mendapat perlakuan seperti itu aku rasanya ingin menangis, sakit hati dan kesal berbaur menjadi satu.

Aku kembali ke ruangan kerjaku dengan lesu, kulihat dua orang mahasiswa tadi masih di depan ruanganku, mereka sedang menungguku.

"Dari mana dek? Kejar pak Bos y?" tanyak pak Aris.

"Iya...." jawabku singkat

"Bagaimana, apa kata Pak Bos dek?" tanyak pak Aris lagi.

"Tidak ngomong apa - apa"

"Gara - gara kalian sih, aku jadi ikut kena marah" sahutku sewot.

"Kok saya yang salah....?" jawab Pak Aris dan Pak Jaelani hampir bersamaan.

Aku malas bicara, jadi aku cuma diam di tempat dudukku sambil menghadap layar komputer yang menyala sedari tadi.

Mengetahui kegalauanku karena di marah Pak Agus, Pak Aris berusaha menghiburku

"Dek, gak usah kawatir, Pak Agus itu baik kok, jiwanya gitu, cepat marah tapi cepat juga memaafkan, besok paling beliau sudah ketawa ketiwi lagi sama kita.." hiburnya.

"Iya....." jawabku.

Pak Aris memang gitu, selalu optimis, humoris dan juga baik tentunya. Pak Aris lebih tua dariku dan suka sekali memanggil aku "Dek alias Adek", beda banget dengan Pak Jaelani yang serius dan jarang bercanda.