Hari ini hujan turun dengan lebat. Rinai mencebik di depan jendela dengan memakai seragam dealer. Mata coklatnya menatap lurus ke langit. Di atas sana, awan hitam masih bergelayut tebal seakan menolak untuk pergi dalam waktu dekat.
Ia menatap setiap butir yang terjun bebas ke bumi. Lalu mengira-ngira berapa lama rentang waktu sebuah tetesan hujan? Meski hanya memiliki waktu yang singkat, entah kenapa Rinai merasa kalau hujan selalu tampak bersemangat.
Ada untuk kembali hilang. Mereka selalu meninggalkan kesan dalam.
Rinai artinya gerimis kecil. Ibu bilang, dia memberi nama itu karena gerimis kecil adalah bagian dari hujan, dan hujan sendiri adalah berkah. Menyimpan filosofi yang dalam tentang harapan, kebahagiaan, kesederhanaan, rela berkorban, kesejukan, dan kebebasan. Ibu berharap, Rinai tumbuh dengan bahagiaan dan penuh harapan layaknya hujan.
Rinai suka hujan. Bukan karena namanya merupakan bagian dari hujan, tapi memang suka begitu saja. Ia selalu merasa lepas dan bebas setiap kali hujan datang. Seperti menemukan kebahagiaan. Meski di sisi lain, terkadang ia juga merasakan kesepian yang mendalam saat hujan. Seakan air deras yang mengguyur bumi itu mengingatkannya akan kenyataan, bahwa ia hanya sendirian. Tanpa ada kawan untuk berbagi kesedihan. Tidak seperti hujan yang selalu datang berombongan.
Kesadaran Rinai kembali saat matanya tak sengaja melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang. Ia mengintip embun di kamar yang masih tampak sibuk berdandan. Rinai kemudian melirik jam dinding, dan membuang napas saat mendapati 5 menit lagi batas toleransi keterlambatannya akan habis, dan itu artinya Rinai akan terlambat, atau bahasa kerennya, Rinai potong gaji! 50 ribu untuk 1 kali keterlambatan.
Mampus!
Rinai terancam kehabisan uang sebelum gajian. 50 ribu kan lumayan. Bisa dibelikan ke bakso, paket internet, jus alpokat, atau buku. Salahkan saja Pak William membuat kebijakan tak pengertian sep erti itu.
Tak lama, Embun melangkah keluar dari kamar. Ia berdiri di tempat Rinai sebelumnya dan mulai menggerutu.
"Kak, Kakak naik ojek online sajo lah! Gerimisnya lebat kali, nanti basah pulo," kata Embun.
Rinai terbelalak. Ini serius embun menyuruh rinai untuk pesan ojek online? Jam segini?! Setelah semua pengorbanan Rinai untuk menunggunya. Setelah Rinai mulai mengikhlaskan 50 ribu dari gajinya untuk denda keterlambatan?
Mantap!
Demi apa dia punya adik kayak Embun?! Bisa ditukar tambah gak, ya, adik kayak begini?!
Embun sendiri malah bersikap cuek dan mulai menyamankan diri duduk di seberang Rinai. Ia mengambil remote dan mengganti siaran beberapa kali.
Rinai doain baterai remotenya rusak!
Dongkol!
Dia kesal sampai ubun-ubun sama sikap seenaknya Embun. Mentang-mentang bisa bawa motor, sombong! Tapi mau bagaimana lagi?
Pertama, Rinai nggak bisa bawa motor. Kedua, hujan masih cukup lebat. Dan ketiga, kalo masih kebanyakan mikir, Rinai beneran bakal telat. Tapi... Memang pasti bakalan telat sih.
Rinai meraih HP dan membuka aplikasi ojek online. Setelah mengatur lokasi jemput dan lokasi tujuan, ia menekan tombol 'Pesan'. Tak lama, HP Rinai berdering. Nomor tak dikenal, tapi Rinai sudah firasat kalau itu driver ojeknya.
"Halo, Bang!"seru Rinai cepat, mengabaikan ucapan selamat pagi dari abang ojek. Padahal mah, harusnya Rinai gak perlu buru-buru, toh bakal telat juga ini. Nikmati saja dulu ucapan selamat-selamat kayak gitu, kan Rinai jomblo gitu loh, jadi seenggaknya bisa diselamatin abang ojek, jadi gak ngenes-ngenes banget.
"Iya, Dek, halo ..." sahut Abang Ojek, nggak kalah cepat.
"Ini Abang Ojek?"
"Iya Dek, Adek tadi pesan Ojek Online ya?"
"Iya Bang, cepet ya Bang, saya buru-buru nih!"
"Iya, mohon ditunggu ya Dek."
Tuuut!
Panggilan terputus, bersamaan dengan itu omelan ibu muncul.
"Kalau memang gak bisa kau antar kakak kau, kan bisa kau bilang sejak tadi. Ini udah ditunggu sama kakaknya dandan seabad, baru dibilang."
Rinai melirik ke arah dapur yang tertutup gorden. Tampak siluet ibu sedang sibuk memasak di sana.
"Jelas gerimis kayak gini, lebat mah, nanti habis ngantar Kak Rinai, sampai di kantor, Embun pulo yang basah kuyup," bantah Embun, nggak mau disalahin.
"Ya, yang ku masalahin kan, kenapa ndak sejak tadi kau bilang? Kan ndak perlu kakak kau nunggu. Bisa kakak kau berangkat sejak tadi, ndak perlu terlambat do. Jam segini baru kau bilang, lah selesai pulo kau ditungguinya berdandan."
Embun mendelik. Ia lalu mengatupkan lutut dan masih sibuk mengganti saluran TV, mengabaikan omelan ibu. Namun di dapur, ibu masih melanjutkan omelan.
Meski Rinai gak bilang apapun, ia setuju sama ibu. Ia sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Kalau memang bakal naik ojek, bilang! Kan Rinai bisa pesan sejak tadi. Jadi nggak perlu telat. Nggak perlu potong gaji. Dan nggak perlu kena tegur sama Pak Daniel lagi.
Duh!
Rinai lupa sudah pernah dapat peringatan dari Pak Daniel karena satu minggu lalu terlalu sering telat. Alamat kena marah lagi ini. Diam-diam Rinai berdoa sepenuh hati Pak Daniel belum datang.
Tiiin! Tiiin!
Rinai tersentak, ia menjangkau tas dengan cepat dan berlari keluar. Ojek online pesanan Rinai sudah datang. Si Abang Ojek kelihatan masih kayak anak kuliahan yang kerja sambilan. Saat Rinai mendekat, ia langsung tersenyum kepada Rinai.
"Helm sama jas hujannya, Dek." kata si Abang Ojek sambil mengulurkan helm yang sewarna dengan jaketnya.
Rinai merebutnya. Ia memasang kilat jas hujan dan helm, lalu langsung naik di boncengan. "Ayo Bang, saya udah telat!"
Tapi si Abang Ojek bukannya hidupin motor, malah menatap Rinai. Rinai kan ga kuat diliatin cowok cakep pagi-pagi gini. Lemes duh, lemes.
"Dek, helmnya tolong dicetekin ya, demi keselamatan."
Rinai melongo. Oh iya, lupa! Tapi karena Rinai udah panik duluan memikirkan kalau dia bakal telat, dan bakal kena tegur lagi sama Pak Daniel, cetekannya nggak mau tersangkut.
"Sini Dek, saya bantuin," kata si Abang Ojek sambil tersenyum geli, "Maaf ya."
Rinai terpaku. Udah cakep, baik, perhatian, sopan lagi. Lulus seleksi deh, kalau mau pedekate-in Rinai. Ikhlas, ridho.
Setelah cetekannya tersangkut, si Abang Ojek tersenyum puas banget. Seakan baru saja lulus sidang kompre. Sesudah itu ia langsung menghidupkan motor dan berangkat mengantar Rinai ke dealer.
Jarak dealer dan rumah Rinai tak begitu jauh. Hanya 15 menit saja. Kalau hujan begini ... yaaa, lebih dari 15 menit lah. Macet, Cuy! Rinai males mikir. Memangnya lagi ngerjain soal matematika? 'Soal 1. Berapa lama perjalan dari rumah Rinai ke dealer di pagi hari saat hujan sambil meluk abang ojek ganteng?'
Nggak, nggak meluk kok! Bercanda doang! Emang Rinai cewek apaan?! Ini aja dia pegangan ke besi bagian belakang motor.
Ngenes!
*****
CKIIITTT!!!
Abang Ojek berhenti tepat di depan dealer. Suara motornya yang berdesing menarik perhatian karyawan yang ternyata sudah cukup banyak yang datang. Malu-maluin coba, padahal rumah Rinai kan termasuk dekat, malah Rinai yang paling hobi telat.
Rinai turun dari motor dan buka jas hujan, lalu menyerahkannya ke Abang Ojek."Berapa, Bang?" tanya Rinai basa-basi.
Sebenarnya ia tahu sih ongkosnya berapa, lah pas dia mesan tadi udah ada kok argonya. Tapi supaya nggak canggung aja.
"Enam ribu, Dek," jawab Abang Ojek sambil sibuk sama androidnya. Kayaknya dia lagi konfirmasi sudah menyelesaikan pesanan. Rinai langsung merogoh tasnya. Mengulik kantong pertama, kosong. Kantong kedua, juga kosong. Kantong kecil di dalam kantong kedua, kosong juga!
RINAI SALAH BAWA TAS!!!
Tas ini tuh tasnya Embun! Warnanya coklat, hampir mirip sama tas Rinai, Deaain depan aja yang sedikit beda. Tas ini sudah seminggu dipakai Embun, sampai dia merasa bosan dan mindahin isinya ke tas lain yang ia bawa hari ini. Dan masalahnya, tas ini dan tas Rinai sama-sama terletak di atas meja di ruang depan. Dan saking paniknya, saat Abang Ojek datang Rinai langsung main jangkau aja tasnya tanpa memastikan terlebih dahulu.
Duh! Rinai panik! Gimana ya? Mana lagi Ojol-pay Rinai saldonya nol. Rinai bayar pakai apa nih? Minta belas kasihan sama Abang Ojeknya, atau Rinai kasihin aja HP-nya sebagai jaminan? Secara HP-nya itu lah satu-satunya barang berharga yang ia bawa. Gimana dong!?
"Dek, nggak apa-apa?"
Kayaknya kepanikan Rinai udah jelas banget sampai Abang Ojeknya sadar ada yang salah dari sikap Rinai saat itu. Rinai menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Kalo bilang uangnya tinggal trus janjiin bakal bayar nanti nggak apa kan? Dia bakal marah nggak ya?Rinai makin panik. Nggak bisa mikir.
"Kenapa Dek?" lagi, si Abang Ojek bertanya. Ia makin nggak enak hati ngeliat Rinai yang kayak habis dizalimi ibu tiri. Padahal dia udah ngebut gitu ngantarnya, masa Rinai nangis sih? Emang telat banget ya? Pikirnya, gak peka.
"Bang,"ucap Rinai, memulai peruntungan, "Saya kayaknya salah ambil tas, yang ini kosong," Rinai membuka tasnya lebar-lebar nunjukin kalo dia nggak bohong, "terus uang saya ketinggalan di tas yang seharusnya." Rinai menunduk, nggak berani natap wajah Abang Ojek, "Boleh nggak saya bayarnya nanti aja. Janji! Pasti saya bayar kok! Kan saya ada nomor HP Abang, nanti saya telpon. Abang kan juga udah tau tempat saya kerja, nggak perlu takut saya lari kok. Pasti saya bayar. Bener. Saya janji. Tolong ya, Bang, saya beneran salah bawa tas. Bener."
Abang Ojek melongo.Sedetik kemudian dia kembali bisa menguasai diri. Ia menatap Rinai yang udah berkaca-kaca, lalu tersenyum canggung. "Ya udah lah Dek, nggak apa-apa. Nggak usah nangis, nggak masalah kok."Ia nampak salah tingkah, "Saya ikhlas kok. Nggak di bayar juga nggak apa-apa. Anggap aja saya sedekah."
Rinai tersentak. No way! Enak aja sedekah! Emang Rinai cewek apaan?! Meskipun kalo abangnya sedekah agak cepek Rinai pasti terima dengan senang hati.Tapi ... Masaan iya, udah si Abang Ojek mau nganterin hujan-hujanan, kebut-kebutan, sekarang malah harus rela nggak di bayar sama Rinai.
Nggak bisa!
Emang Rinai seenggak punya hati gitu apa!?
"Nggak Bang, saya pasti bayar kok. Bener deh. Nggak bohong. Nanti saya telpon Abang ya, kalo uangnya udah ada," paksa Rinai.
Abang ojek yang melihat Rinai kekeuh, akhirnya menyerah. Ia mengangguk-angguk canggung sambil tersenyum maksa.
"Iya deh, Dek, terserah aja," ucapnya pasrah.
Rinai akhirnya lega. Seenggaknya ini adalah hasil terbaik dibanding harus menggadaikan HP satu-satunya ke Abang ojek hanya demi ongkos 6 ribu rupiah aja.
"Makasih ya, Bang. Saya masuk dulu Bang, udah telat banget, belum absen."
Si Abang Ojek mengangguk. Rinai melangkah masuk ke dalam dealer dengan perasaan malu, tapi cukup lega juga. Ditambah lagi Pak Daniel belum datang. Syukur-syukur!
"Dek, tunggu!"
Rinai mendadak berhenti. Ia berbalik menatap Abang Ojek yang berteriak dari teras dealer. Jantungnya kembali berlomba. Duh, jangan bilang Abang Ojek berubah pikiran dan lebih milih maksa Rinai buat menggadaikan handphone?!
Rinai mendadak tegang, nggak rela kalau masalah utang piutang ini harus melibatkan satu-satunya barang berharga miliknya. Karena Rinai tak kunjung sadar meski ia sudah memberi isyarat untuk mendekat, Abang Ojek akhirnya memilih untuk bicara. Akan kenyataan yang membuat ia kembali memanggil Rinai meski sebenarnya enggan. "Helmnya belum di lepas Dek!" serunya, nggak mengira-ngira menyetel volume suara sama sekali sampai satu dealer dengar. Mana ada konsumen juga lagi! Issshhh!!! Rinai kan jadi tengsin!
Beberapa menit kemudian, setelah Abang Ojek pergi dengan helmnya dan Rinai akhirnya berhasil absen. "Nai," panggil Bang Dewa yang berjalan dari arah bengkel.
"Ya Bang?"sahut Rinai tanpa melirik sama sekali.
"Kalo ongkosnya cuma 6 ribu, kan bisa pinjam ke kami loh!"
Rinai terpaku.
I-iya ya!?
Kok nggak kepikiran sama sekali sih!? Kan dia gak perlu malu-maluin kayak tadi! Duh, Gusti! Salah apa Rinai sampai otaknya dangkal banget gitu? Rinai cuma menghembuskan napas, tak sanggup berkata-kata, lalu menenggelamkan diri ke dalam tumpukan pekerjaan. Gak mau ingat-ingat lagi!
Malu!