Chereads / Revenge Mr.A / Chapter 5 - Puzzle

Chapter 5 - Puzzle

Steve POV

Aku tak pernah menyadari kisah hidupku begitu kelam. Yeah, selama tak ada yang mengungkitnya atau memulainya kembali. Aku pernah di diagnosa mengidap Skyzofrenia. Penyakit mental yang membuatku selalu berhalusinasi dan melakukan hal-hal gila. Itu semua karena mimpi burukku, mimpi yang merenggut masa depanku. Mimpi yang tak ingin aku rasakan seumur hidupku. Tapi, itu nyata. Aku melihatnya.

Kematian Ayahku.

Aku tak berhenti menyalahkan diriku selama bertahun-tahun. Setiap malam aku selalu mendengar suara yang berbisik di telingaku. Suara itu selalu mengatakan bahwa aku pecundang, pengecut, bodoh. Ya, aku bodoh. Aku tak bisa melindungi Ayahku.

Tikk...tikk...tikk...

Suara itu. Suara dentingan jam dinding. Terasa masuk ke dalam mimpiku. Aku membuka mata dan melihat ke sekelilingku. Huft, aku masih berada di dalam ruangan kantorku yang dingin. Harap dimengerti, ini musim dingin.

Tokk...tokk..

Kriek..

"Steve. Aku baru saja menemukan bukti lain. Kau mau lihat?" Jane baru saja masuk kedalam ruanganku. Ia timku saat ini. Aku yang memintanya pada officer.

Aku rindu menyapa bibir indahnya setiap malam. Ia wanita yang cantik, cerdas dan dapat membuat orang cepat sekali jatuh cinta padanya. Sekarang, ia begitu dingin. Ia seolah tak butuh cinta. Apa itu karena diriku?.

"Steve?" Jane bertanya lagi dan melambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Aku tersentak dari lamunan pendekku. Maaf.

"Mana?" aku membuka map bukti seperti biasa. Jane sangatlah teliti. Aku memujinya sebagai rekan kerja.

"Baca dengan teliti. Aku juga sudah mengirim bukti lainnya kedalam emailmu. Oh, ya temanmu sudah angkat kaki dari cafe itu." pernyataan Jane membuat tanganku terhenti membaca file di depanku. Sejenak aku menatapnya dan mengerutkan dahi.

"Angkat kaki? Maksudmu, pindah?"

Jane mengangguk. Ia menyerahkan bukti lainnya lalu berkata," Steve, dia bukan pemilik cafe itu. Dia hanyalah tamu biasa yang sudah dianggap pemilik oleh pemilik yang sesungguhnya."

Aku kembali mengerutkan dahi. Aku mencoba mencerna semua yang dikatakan oleh Jane. Kalau memang benar, berarti selama ini temanku membohongiku?

"Kau sudah cek?"

"Sudah. Bahkan nama John Anderson itu sudah meninggal tiga tahun yang lalu," ucap Jane tegas.

Boom!! Jantungku terasa berhenti berdetak. Orang itu membohongiku lagi. Tidak, tepatnya ia menipuku. Astaga, ada apa ini. Pertanda burukkah?.

"Dia membohongiku."

"Kau mudah sekali ditipu Tuan Steve Richardson. Sudah berapa kali kau diperlakukan seperti ini?" Jane mengulang pertanyaan itu lagi. Ia seperti menyindirku.

"Ya, berarti aku orang yang baik."

"Bukan orang baik. Tapi orang bodoh." Jane kembali menyindirku. Aku terdiam. Ucapannya benar, aku bodoh.

Jane menatapku sekali lagi, aku membuang pandanganku dari matanya. Aku melirik kosong pada jari manisnya yang sudah terlapisi cincin. Entah kenapa rasanya hatiku hancur saat melihatnya. Andai aku tak berbuat hal itu, tentu aku akan menjadi pasangan Jane seumur hidup saat ini.

"Kau sudah bertunangan? Kapan?" aku menanyakan hal bodoh. Jane menatapku dan memamerkan cincin pertunangannya. Aku melihat ia menyeringai diantara senyuman manisnya.

"Kau tahu Steve, Roland bahkan lebih romantis darimu. Ia membelikanku mobil sport, apartemen mewah dan semua kebutuhanku ia penuhi. Ia pria yang baik. Dan satu lagi yang perlu kau tahu, dia pria yang setia. Aku akan menikah tengah tahun depan. Kuharap kau datang ke pestaku." Jane melangkah mantap meninggalkan ruanganku. Mataku mengikutinya.

Dan dia berbalik lagi." Kau harus datang dengan pasanganmu."

Aku mati kutu dibuatnya. Ia wanita yang cerdas. Ia mampu membawa dirinya. Dugaanku salah, ia tak patah hati. Ia hanya dingin padaku, bukan pria lain. Aku rasa dia membenciku. Bahkan mungkin, untuk selamanya.

Steve POV end

***

Jingle bell....jingle bell....jingle all the way....

Suara nyanyian natal itu mengalun merdu diantara suara rintihan tangis seorang wanita. Ia meraung-raung minta dilepaskan sejak satu jam yang lalu. Pria itu yang menculiknya. Pria yang diketahui mempunyai wajah buruk rupa dan terlihat, menjijikkan. Ia melepas topengnya dan menyeringai di hadapan korbannya.

"Kumohon, lepaskan aku. Kumohon tuan. Kumohon." wanita itu menangis dan terus memohon. Pria itu diam. Ia seolah tak mendengar jeritan permohonan itu. Ia duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung ke arah korban. Satu buah pisau lipat ia mainkan di atas tangannya.

"Kau tahu, alasanku menculikmu?" suara pria itu seperti suara hewan tercekik. Wanita itu membencinya.

"Aku tidak tahu." wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Karena namamu, persis dengan nama ibuku. Aku membencinya."

Pria itu menghampiri korbannya dan menusuknya satu kali tepat di ulu hatinya. Wanita itu menjerit kesakitan. Pria itu semakin dalam menusukkan sampai akhirnya, wanita itu pun akhirnya tewas mengenaskan.

Pria itu menyeringai. Namun detik selanjutnya ia menangis. Ia melihat cairan merah keluar dari tubuh wanita itu dan membanjiri lantai rumahnya.

Ia berteriak, meraung-raung dan memukul lantai dengan keras. Oh, tidak ia membunuh lagi." Ibu, aku membunuh lagi. Ibu, maafkan aku. Ibu jangan marahi aku."

Ia terus mengucapkan kalimat itu, lalu membanting semua benda yang ada di salam ruangan. Namun tiba-tiba ia berhenti. Ia menyeringai lagi, tersenyum dan tertawa sekencang-kencangnya.

"Ibu, bukankah kau bahagia jika aku membunuhmu? Kau tak merasakan sakit lagi? Tenanglah, Ibu. Kau akan bahagia di surga. Haa...haaa..ha....."

****

Steve masih di dalam ruangannya. Ia masih terhanyut pada lamunannya tadi siang. Ia bahkan tak sadar jika ia sudah mengurung dirinya sendiri dalam ruangan kantornya sejak tiga jam yang lalu dalam keadaan melamun. Entah apa yang ia lamuni. Pikirannya kacau.

Dua berkas itu masih belum ia baca seluruhnya. Ia tak sanggup berkonsentrasi saat ini.

Tokk...tokk..

Suara ketukan pintu menginterupsi lamunan Steve. Ia tersadar.

"Masuk."

Seorang wanita berusia diatas lima puluh tahun masuk kedalam ruangan. Ia membawa secangkir teh dan menaruhnya di atas meja kerja Steve.

"Kudengar kau menangani kasus pembunuhan? Kau pasti lelah." wanita itu bernama Bibi Claire. Ia seorang pegawai sipil di lingkungan kepolisian. Orangnya baik, ramah dan selalu memberikan saran yang menurut Steve itu sangat bijak. Bahkan, ia pernah menasehati Steve saat pria itu mengalami depresi dua tahun silam.

"Terima kasih, Bi. Ini chamomile?" Steve menunjuk tehnya. Bibi Claire mengangguk dan tersenyum.

"Kau selalu tahu rasa teh buatanku. Jadi, apa yang membuatmu melamun? Ceritakan padaku, kau sudah kuanggap anakku sendiri." Bibi Claire menyentuh tangan Steve. Ia mengusap lalu menepuknya pelan. Tangan Bibi Claire hangat, Steve menyukainya.

"Aku merindukan Ayahku. Delapan belas tahun sudah ia pergi, aku masih merindukannya." Steve menunduk. Bahunya terlihat naik turun. Ia menangis, airmatanya turun. Bibi Claire berdiri dan menghampiri Steve lalu memeluk bahunya.

"Menangislah. Jangan merasa sendiri, ada Bibi yang akan menemanimu. Terkadang, rindu itu menyakitkan. Rindu itu membuat orang terluka. Tapi, karena rindu pula seseorang bisa bahagia. Ayahmu pasti bahagia karena anak yang dicintainya sangat merindukannya." Bibi Claire mengusap kepala Steve. Ia pun ikut menangis karena melihat Steve terluka.

***

"Steve, officer mencarimu." teriak Lucas. Mantan teman satu timnya dulu saat di agency detektif. Steve mengangguk. Ia berjalan ke arah ruang officer dan mengetuk pintunya.

"Masuk." teriak seseorang dari dalam. Steve membuka pintu dan masuk. Ia duduk di hadapan sang officer. Matanya liar menelusuri ruangan yang penuh dengan hiasan dinding. Oh, tidak lukisan cat air abstrak. Dan sebuah potret keluarga di mejanya.

"Ruanganmu unik. Penuh hiasan dinding." Steve mencibir officernya. Pria itu tertawa. Selera humornya tinggi.

"Ruanganku penuh dengan inspirasi anakku. Lihatlah, disana ada lukisan anak pertamaku bernama Lousie. Dia cerdas," ucapnya dengan nada bangga. Steve mengangguk.

"Jadi, ada apa kau menyuruhku kesini? Aku tak berbuat kesalahan, lagi."

Officer kembali tertawa. Bila ingat masa lalunya, ia teringat tentang Steve yang selalu berbuat ulah sejak pertama kali dipindahkan ke kantor kepolisian. Ia cerdas, tapi emosinya tak stabil. Sering meracau dan berbuat aneh saat di kantor.

"Aku melihatmu sering melamun. Ambillah cuti malam natal nanti. Aku berikan tiga hari agar kau bisa menikmati waktu luangmu dengan Ibumu. Bukankah kau merindukannya?" pertanyaan itu membuat hati Steve kembali sakit. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Ya, aku merindukan mereka. Ibu dan saudariku. Sudah dua tahun aku tidak kembali. Ah, tapi rumah mereka sudah pindah. Mereka ada di Minnesota saat ini." Steve teringat kalau ibunya sudah pindah dari apartemen mereka di New York. Rumahnya yang di Ammay Road sudah dijual oleh ibunya tepat tiga tahun setelah ayahnya meninggal.

"Tiket penerbangan masih ada. Berliburlah. Carilah jodoh di Minnesota."

"Aku belum memikirkannya."

"Sampai kapan? Kau tahu, Jane sebentar lagi akan menikah. Ah, apakah kau mau ikut kencan buta?"

"Terima kasih, aku tak berminat."

****

Jane mengernyit sedikit jijik saat melihat mayat itu. Tubuhnya mulai membiru dan kaku. Jane menyentuh kuku jarinya dengan ujung pena. Ini sudah korban kedua. Dengan motif yang sama. Penusukan di ulu hati.

"Apakah ada luka di tempat lain? Maksudku, selain ulu hati," tanya Jane pada petugas forensik yang datang ke tkp. Ia masih penasaran dengan lukanya.

"Tidak ada. Hanya ada bekas lilitan tali di pergelangan tangan saja. Selebihnya, luka tusuk benda tajam yang berkarat." ahli forensik menunjukkan bekas lukanya. Jane ingin muntah saat melihatnya. Luka itu menganga lebar seperti habis terkoyak.

Jane memeriksa berkas penyidikan. Namanya Emma, Emma Clover. Dia warga asli New York. Tak ada yang aneh, tapi kenapa ia jadi korban pembunuhan?.

Jane mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Ia pun menghubungi Steve.

"Steve, kau ada di kantor? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini tentang korban kedua."

***