Budi terus melangkah dengan kakinya yang kini telah pincang akibat pertarungan di markas perserikatan petualang.
Malam yang mulai menelan langit tidak mengehentikan langkahnya, dengan sabar Budi terus melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya.
Tidak lama kemudian Budi sampai di tempat tujuan keduanya, lalu dengan ringan dia melemparkan kristal kecil ke sudut salah satu bangunan dan kembali berjalan lagi.
Hal ini terus Budi lakukan ke belasan tempat di seluruh bagian Ibukota. Tempat yang menjadi sasarannya adalah tempat berkumpulnya banyak orang dan lokasi-lokasi penting.
Meskipun Budi tahu bahwa hal ini mungkin akan menghancurkan bukan hanya orang-orang kuat saja, tapi pengorbanan ini harus dilakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, jadi harga ini tidak seberapa.
Akhirnya, setelah seminggu, rencananya siap dilaksanakan, malam ini akan menjadi malam yang tidak terlupakan.
Sedangkan itu, di tempat lain, Write sedang duduk bersama Toldo di sebuah bar yang ramai. Tawa dan teriakan orang-orang tidak pernah berhenti dan aroma anggur yang memabukkan tercium hingga ke sudut ruangan.
"Kita sudah seminggu di sini, bukankah lebih baik kita pulang saja."
Write merasa perasaan tidak nyaman di hatinya semakin kuat dan ingin bergegas pulang.
Meskipun pekerjaan petualang tidak lepas dari bepergian, tapi mereka juga menetapkan sebuah kota untuk markas.
Toldo meneguk segelas anggur lalu berkata.
"Baiklah, besok kita bicarakan lagi dengan Hans."
"Oke."
Write tidak mengeluh lagi dan mencoba melupakan kegelisahannya dengan minum anggur, tapi dia tetap tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak di hatinya itu.
"Oh, iya, menurutmu siapa yang akan hamil terlebih dulu, Beliam atau Selvi?" tanya Toldo dengan senyum lebar di wajahnya.
"Siapa yang peduli, biarkan mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan."
Write berkata dengan masam. Sebenarnya dia menyukai Selvi, sifatnya yang berkebalikan darinya membuat Write merasa tertarik, tapi sayangnya Selvi lebih menyukai pria tampan dan kuat seperti Hans.
"Haha, tenang saja sobat, masih banyak wanita lain, lupakan saja Selvi."
Mendengar apa yang Toldo katakan, Write langsung membantahnya. "Apa hubungannya denganku, aku tidak peduli sedikit pun tentang wanita bodoh itu."
"Haha, kau benar-benar mudah ditebak." Ucap Toldo dengan senyum tipis di wajahnya.
"Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak peduli dengannya."
Namun, Toldo tidak memedulikan ucapan Write dan memandang langit-langit lalu berkata. "Kau tahu, aku benar-benar muak dengan dunia ini, setiap hari aku harus berusaha untuk menjadi lebih kuat. Aku tidak seperti kau yang bisa melakukan sesuatu dengan mudah meskipun dengan sedikit usaha, aku harus berlatih terus-menerus agar tidak tertinggal."
"Apa yang kau katakan, kami tidak akan meninggalkanmu."
Toldo tersenyum lalu terus berkata. "Aku tidak mengerti kenapa iblis harus menyerang manusia, kenapa kita tidak bisa saling memahami, jika mereka ingin makan daging bukannya lebih enak makan daging sapi, kenapa harus manusia? Kenapa juga mereka ingin menguasai dunia, apa yang menarik dari dunia ini? Kenapa juga mereka harus ada? Apa manfaatnya? Apa artinya? Apa tujuannya?"
Semakin lama suara Toldo semakin serak, kemudian dia memejamkan matanya sejenak lalu memandang Write sambil tersenyum.
"Lupakan semuanya, itu hanya celotehan orang mabuk." Ucap Toldo lalu menegak anggur dalam gelasnya.
Write mengela nafas lalu bergumam pelan. "Jika boleh memilih, aku juga tidak ingin hidup di dunia seperti ini."
Di tempat lain, Budi tersenyum lalu menyalurkan sihirnya untuk mengaktifkan jimat peledak yang dia tempelkan pada semua kristal yang telah dia sebar di seluruh penjuru Ibukota.
Secara bersamaan semua jimat peledak itu meledak dan menghancurkan kristal. Setelah kristal itu hancur, sebuah portal dimensi terbuka dan tidak lama kemudian sebuah geraman mengerikan terdengar dari dalam portal.