Chapter 22 - Bab 22

Setelah pertandingan, aku pulang ke rumah. kegembiraan kemenangan tidak bisa mengalahkan kecemasan kalau Roman akan datang ke apartemenku.

"Aubrey," kataku saat masuk, "Apa yang harus kulakukan?"

Aubrey menguap, memperlihatkan taringnya yang mungil. Aku menggelengkan kepala padanya.

"Aku tidak bisa bersembunyi di bawah tempat tidur sepertimu. Aku tidak akan percaya."

Kami berdua melompat saat mendengar ketukan tiba-tiba di pintu. Untuk beberapa detik, aku nyaris mempertimbangkan tempat tidur sebelum akhirnya meminta Roman masuk. Aubrey memperhatikannya sesaat, kemudian, jelas terlalu bahagia dengan kehadiran dewa seksi di tempat kami masuk ke kamar tidurku.

Roman berpakaian kasual, berdiri sambil membawa enam kotak mountain dew dan 2 bungkus deritos. Lalu sekotak sereal.

"Lucky Charms?" Tanyaku.

"Sangat lezat," jelas Roman. "Diperlukan untuk proyek pembangunan."

Aku menggelengkan kepalaku, masih terpana dengan caranya masuk ke sini. "Ini bukan kencan."

Dia menatapku dengan kurang ajar. "Sudah jelas. Aku akan membawa Count Chocula untuk itu."

"Aku serius. Ini bukan kencan," aku menegaska.

"Iya, iya. Aku mengerti." Roman meletakkan barang-barang itu di konter dan berbalik padaku. "Jadi, di mana barangnya? Ayo kita mulai."

Aku menghembuskan napas, tidak terlalu lega dengan sikapnya yang terbuka. Tidak ada rayuan, tidak ada pendekatan seksual yang terang-terangan. Hanya kejujuran, persahabatan yang paling membantu. Aku akan menyusun rak itu, kemudian dia akan pergi.

Kami membuka kotak besar itu, menumpahkan rak dan panel, begitu juga dengan bermacam-macam sekrup dan paku. Buku petunjuk nya minim kata-kata, kebanyakan berisi beberapa diagram tidak jelas dengan tanda panah menunjukkan tempat dimana beberapa benda harus dipasang. Setelah beberapa menit mengawasi, akhirnya kami memutuskan sebuah papan hitam besar sebagai awalnya, meletakkannya di lantai dengan rak dan papan di atasnya. Setelah semuanya disejajarkan dengan baik, Roman mengambil sekrup, mempelajari di mana tempat sekrup itu menggabungkan beberapa bagian menjadi satu.

Roman memeriksa sekrup, melihat kotak, kemudian kembali menatap rak. "Aneh sekali."

"Apanya?"

"Aku pikir... Kebanyakan benda seperti ini memiliki lubang di kayunya, kemudian mereka menyertakan alat kecil untuk memasukkan sekrup."

Aku mencondongkan tubuh melihat ke kayu. Tidak ada lubang di sana. Tidak ada alat-alat. "Kita harus menyekrup ini sendiri."

Roman mengangguk.

"Aku punya obeng... Di suatu tempat."

Roman menatap kayu itu. "Aku pikir itu tidak akan berhasil. Sepertinya kita membutuhkan bor."

Aku merasa kagum dengan pengetahuan alat berat nya. "Kalau itu Aku tidak punya."

Kami pergi ke sebuah toko bangunan besar, masuk 10 menit sebelum tokonya tutup. Seorang pelayan toko yang terburu-buru menunjukkan bagian bor kepada kami, kemudian meninggalkan kami segera, berteriak Kalau kami tidak punya banyak waktu.

Semua alat itu menatap kami, dan aku melirik Roman mencari petunjuk.

"Sama sekali tidak tahu," akhirnya dia mengakui setelah hening beberapa saat.

"Kupikir kau hebat dalam hal pekerjaan tangan,"

"Yeah...well..." Roman berubah malu-malu, sikap yang baru untuknya. "Itu hanya berlebihan."

"Seperti bohong?"

"Tidak. Seperti sesuatu yang berlebihan."

"Sama saja."

"Tentu saja tidak."

Aku membiarkan masalah semantik itu berlalu. "Lalu kenapa kau bilang begitu?"

Roman menganggukan kepala dengan semangat. "Sebagian karena aku ingin bertemu denganmu lagi. Dan sisanya... Entahlah. Kupikir singkatnya adalah kau bilang ada hal sulit yang harus kau lakukan. Jadi aku ingin membantu."

"Jadi aku gadis yang dalam kesulitan?" Godaku.

Roman memperhatikanku dengan serius. "Sama sekali bukan. tapi kau adalah seseorang yang ingin ku kenal lebih dekat, dan aku ingin kau tahu bahwa ada hal lain yang kuinginkan selain menidurimu."

"Jadi kalau aku menawari mu seks di lorong ini, kau akan menolak ku?" Komentar sembrono itu keluar dari mulutku sebelum aku bisa menghentikannya. Itu adalah mekanisme pertahanan, sebuah lelucon untuk menutupi betapa membingungkan pernyataannya yang polos itu. Kebanyakan pria memang hanya ingin membawaku ke tempat tidur. Aku tidak yakin harus bagaimana dengan pria yang tidak menginginkan itu.

Kebodohanku berhasil menghancurkan semuanya. Roman kembali pada dirinya yang lama, penuh percaya diri dan menawan, dan aku hampir menyesali perubahan yang kutimbulkan, bertanya-tanya apa yang mungkin akan terjadi.

"Aku harus menolakmu. Kita hanya punya waktu 6 menit sekarang. Mereka akan mengusir kita sebelum selesai." Roman mengalihkan perhatian pada bot dengan tenaga yang bisa diisi ulang. "Dan soal keahlianku yang berguna," dia menambahkan, "aku bisa belajar dengan sangat cepat, jadi aku tidak benar-benar berlebihan. Begitu malam ini berakhir, aku pasti sudah pandai."

Tidak benar.

Setelah memilih bor secara acak dan pulang, Roman mencoba mensejajarkan bagian-bagian lemari buku itu dan menggabungkannya. Dia memasang salah satu rak di papan belakang, menyesuaikan sekrupnya, dan mengebor.

Bor itu menembus dalam keadaan miring, dan meleset dari raknya.

"Sialan," Roman menyumpah.

Aku menghampiri dan berseru saat melihat sekrubnya keluar dari belakang lemari buku. Kami menariknya keluar dan menatap lubang di belakangnya.

"Mungkin lubang itu akan tertutup buku," kataku.

Wajah Roman muram saat dia mencoba lagi. Kali ini sekrubnya berhasil masuk tapi tetap belum pas. Dia menariknya lagi, memasukkannya dengan tepat pada percobaan ketiga.

Sayangnya, proses itu hanya berulang saat dia melanjutkan. Menatap lubang demi lubang yang muncul, akhirnya aku bertanya apa aku boleh mencoba. dia mengayunkan tangannya menyerah dan menyerahkan bor padaku. Aku melepaskan sekrup, membungkuk, dan mengebornya dengan sempurna pada usaha pertama.

"Ya, Tuhan" kata Roman. "Aku benar-benar tidak berguna. Akulah yang menyusahkan."

"Tidak mungkin. Kaulah yang membawa sereal."

Aku selesai memasang rak. Selanjutnya dindingnya. Papan belakangnya memiliki tanda samar dan kecil sebagai panduan supaya sejajar dengan raknya. dengan hati-hati, Aku berusaha mensejajarkan nya dan menyamakan ujung-ujungnya.

Hal itu tampaknya mustahil, dan aku segera menyadari sebabnya. Terlepas dari hasil borku yang sempurna, semua rak yang sudah terpasang tampak tidak lurus, beberapa terlalu miring ke kiri atau ke kanan. Dindingnya tidak pas dengan papan belakang.

Roman duduk di sofa ku, mengusap mata dengan tangannya. " Ya, Tuhan."

Aku maunya segenggam lucky charms dan berpikir. "Yah. Ayo kita dirikan sebisa mungkin."

"Benda ini tidak akan mungkin bisa menahan buku."

"Yeah. Kita lakukan apa yang kita bisa."

Kami mencobanya dengan dinding pertama, dan meskipun hal itu cukup memakan waktu dan hasilnya mengerikan, sepertinya cukup bisa dipakai. Kami mulai melanjutkan dengan yang lain.

"Kurasa akhirnya aku harus mengakui kalau aku tidak berbakat dalam hal ini," kata Roman sambil merenung.

"Tapi sepertinya kau cukup berbakat. Wanita yang penuh keterampilan."

"Entahlah. kupikir satu-satunya bakat yang dimiliki adalah tidak berurusan dengan hal-hal yang harus kulakukan."

"Itu nada paling menyedihkan yang pernah kudengar. Kenapa? Kau punya banyak hal yang harus kau lakukan?"

Aku hampir tersedak karena tertawa, memikirkan semua adegan pertahanan diri succubus. "Bisa dibilang begitu. Maksudku, bukankah semua orang juga begitu?"

"Ya, tentu saja, tapi kau harus menyeimbangkannya dengan hal-hal yang ingin kau lakukan. Jangan terlalu terpaku dengan keharusan. Kalau tidak, tidak ada artinya hidup ini. Hidup hanyalah soal mempertahankan diri."

Aku menyelesaikan sebuah sekrup. "Kau mulai cukup serius dalam hal ini, Descartes."

"Jangan sok lucu. Aku serius. Apa yang benar-benar kau inginkan? Dari hidup ini? Atau di masa depanmu? Misalnya, Apa kau berencana bekerja di toko buku itu selamanya?"

"Untuk saat ini. Kenapa? Apa kau ingin bilang ada yang salah dengan itu?"

"Tidak. Hanya saja kelihatannya terlalu biasa. Seperti cara mengisi waktu."

Aku tersenyum. "Tidak, tentu saja tidak. Dan meskipun memang iya, kita tetap bisa menikmati hal-hal yang biasa."

"Ya, tapi menurutku kebanyakan orang menciptakan mimpi untuk sesuatu yang lebih menarik. Yang mungkin terlalu gila untuk benar-benar dilakukan. Untuk orang yang lain terlalu sulit, terlalu banyak yang harus dikerjakan, atau terlalu mustahil. Pegawai pom bensin yang bermimpi menjadi bintang rock. Akuntan yang berharap dia mengambil kelas sejarah seni dan bukannya statistik. Orang-orang melupakan mimpi mereka, entah karena mereka pikir itu mustahil, atau karena mereka akan melakukannya suatu hari nanti."

Roman berhenti bekerja, wajahnya tampak semakin serius.

"Jadi apa yang kau inginkan, Georgina Kincaid? Apa mimpi gila mu? Yang kau pikir tidak bisa Kau dapatkan tapi diam-diam kau impikan?"