Miller tersadar ketika Soully menghempaskan paksa lengannya. Beberapa menit itu bagaikan menembus ruang waktu kejadian bertahun-tahun lamanya. Miller berkaca-kaca menatap Soully yang memandangnya dengan ketus.
Soully memperhatikan pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkraman tangan Miller. Miller meraih pergelangan Soully lagi lalu melihatnya. Merasa bersalah karena menyakitinya sekaligus tak ingin Soully berbuat nekad.
"Tuan, tolong lepaskan! ini sakit sekali." Soully berkaca-kaca. "Oke, aku janji takkan lompat dari mobilmu," janji Soully yang sebenarnya mulai ketakutan.
Tanpa berucap, Miller meraih kotak P3K yang selalu ada di mobilnya. Ia mencari sesuatu semacam salep pereda nyeri lalu mengoleskannya pada pergelangan tangan Soully. Meniupnya perlahan. Soully terdiam dan merasa canggung melihat sikap Miller yang penuh perhatian.
Miller menatap Soully yang sedang menatapnya dalam. Soully memalingkan wajahnya dan menjadi salah tingkah. Miller tersenyum, ada rasa bahagia dalam hatinya. Bahkan ia hampir saja memeluk erat perempuan yang ada di sisinya.
Bimo memperhatikan raut wajah Miller yang membaik dengan perasaan lega dan bahagianya. Sepanjang perjalanan menuju restaurant Korea yang sudah di booking itu, tak henti-hentinya Miller menyunggingkan senyuman di wajahnya.
***
Korean Food Restaurant
Para staf dan kru sudah berkumpul. Mereka yang terlebih dahulu tiba sudah memesan paketan makanan yang tersedia. Beberapa meja sudah penuh karena terisi oleh para staf dan kru. Mereka juga menandai dan mengosongkan tempat untuk Miller, Soully dan Bimo. Sesaat mereka tiba, para staf dan kru melambaikan tangan.
Mereka sudah duduk di tempat masing-masing dan makanan pun sudah tersaji dan tertata dengan rapi ketika para pelayan restaurant datang. Tanpa berbasa-basi lagi mereka mulai menikmati makanannya. Sebelumnya mereka berdoa dan berharap kelancaran serta kesuksesan acara yang akan segera mereka tayangkan.
Sesekali mereka tertawa dan bercanda sambil menikmati makanan yang tersaji. Miller terus memperhatikan Soully yang sedang menikmati makanannnya. Dengan telaten pula ia memanggang daging supaya matang dan enak dimakan oleh Soully, kejadian di kantin itu memberikan pelajaran padanya. Bahkan ia ingat sekarang, dulu gadis yang dijodohkan dengannya saat itupun sama tidak sukanya dengan daging mentah yang bisa membuatnya mual. Miller tersenyum getir.
Dulu, apakah aku juga yang hampir membunuhmu dengan memaksamu menikmati makanan yang aku suka tapi sesungguhnya kau sangat tersiksa?
Dulu, begitu besarkah rasa cintamu padaku hingga kau rela melakukan apa saja demi diriku?
Sekarang, sepertinya aku yang harus bekerja keras demi dirimu agar kau ingat dahulu pernah sangat mencintaiku...
***
Miller mengantarkan Soully pulang ketika acara makan malam bersama itu berakhir. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam saja, sampai akhirnya Miller mendekatkan dirinya dan membuka suara. Walaupun secara alami juga Soully menggeserkan tubuhnya hingga beradu dengan pintu mobil.
Lagi, Miller tersenyum melihat tingkah konyol Soully.
"Apa memar di keningmu sudah sembuh?" tanya Miller membuka suasana.
"Kurasa sudah baikan," jawab Soully yang Miller kira takkan direspon.
"Tapi, sisa-sisa memarnya masih membekas," ucap Miller menelisik kening Soully yang tertutup poni rambutnya. Tangan Miller menyingkap poninya, Soully menunduk risih.
"Tuan, tolong jangan berbuat hal yang kurang ajar lagi!" sergah Soully merasa kurang nyaman.
"Kau...pernah melihat permainan sulap yang nyata?" tanya Miller membuat Soully membulatkan matanya.
Kata-kata itu seperti dejavu baginya. Ia merasa pernah mendengar ucapan itu. Soully memejamkan matanya, mengingat di mana ia pernah mendengar kata-kata itu. Lalu dengan usapan pelan Miller membelai dahi Soully. Dengan sekejap mata, bekas memarnya pun hilang. Sama seperti dulu ketika ia menghilangkan luka di tangan Soully.
Miller mamandang wajah Soully semakin dekat. Ia teringat akan perbuatannya pada gadis yang dijodohkan dengannya dulu.
Apa dulu kau memang secantik ini? Kenapa aku tak menyadarinya jika kau benar-benar sangat cantik.
"Oh ya, aku ingat sekarang!" teriakan serta tepukan tangan Soully membuyarkan lamunan Miller.
"Ingat apa?" wajah Miller berseri. Berharap Soully ingat masa lalu bersamanya.
"Kau, yang waktu itu menyembuhkan luka di tanganku, kan? Kau Tuan Miller yang sama yang pernah datang menemuiku!!" ujar Soully meyakinkan diri. "Tunggu sebentar! (Soully membuka tasnya lalu mencari cermin kecilnya) benar, kan? Ternyata itu kau, lihat luka memar ini bahkan menghilang juga," girang Soully. "Oh ya ampun...maafkan aku, aku baru mengingatmu. Terima kasih untuk 'magic'-mu waktu itu." Soully menggenggam tangan Miller, dia melupakan semua yang terjadi sebelumnya, bahkan sikapnya kali ini lebih hangat.
Dan inilah yang disukai Miller, Soully masih sama seperti gadis yang dulu dijodohkannya. Gadis ceria yang dulu sempat diabaikannya.
"Oh ya, maaf karena aku menamparmu tadi. Apa sakit?" Soully mendekatkan diri, menyentuh pipi Miller yang ditamparnya tadi. Kini wajah mereka berdekatan. Detak jantung Miller berdebar semakin cepat. Namun, entah kenapa Miller menjadi sedih ketika Soully memegang pipinya. Kilasan kejadian waktu itu ketika gadis yang ditolaknya mati di pangkuannya.
"Aku tak apa-apa." Miller memalingkan wajahnya. "Maaf, tadi pun aku bersikap kurang ajar padamu," ucapnya meminta maaf yang tersekat di tenggorokan. Ia hampir menjatuhkan air yang sudah menggenang di matanya.
"Oke, tapi lain kali aku mohon padamu untuk tidak mengulanginya lagi, Tuan. Kau harus ingat kalau aku sudah menikah. Aku tak ingin kau berakhir di tangan suamiku. Kau tentu tahu kekuatan apa yang dimilikinya karena kalian satu 'spesies' yang sebenarnya tak ku mengerti. Kenapa makhluk seperti kalian ada di bumi ini? Haha, konyol bukan? Bahkan aku menikah dengan salah satunya," celoteh Soully yang tanpa dia sadari Miller memandangnya penuh kagum namun sedih.
Bimo melihat raut wajah yang berubah dari tuannya. Ada rasa kerinduan yang terlalu dalam ketika ia memandang Soully.
Mobil yang mengantarkan Soully pun telah sampai. Rasanya waktu terasa sebentar bagi Miller. Kenapa dia harus berpisah kembali di saat ia mengetahui kebenaran masa lalunya.
"Apa suami protektifmu tidak menyambutmu?" Miller mengalihkan pandangannya mencari sosok Yafizan.
"Dia ada meeting di luar kota, mungkin juga dia takkan pulang," jawab Soully. "Terima kasih atas tumpangannya dan sudah berbaik hati mengantarkanku pulang. Hati-hati, Tuan," pamit Soully membungkukkan setengah badannya lalu keluar dari mobil.
Soully berdiri menunggu mobil Miller itu pergi.
"Tunggu!" Miller keluar dari mobil, memutari setengah mobilnya lalu mendaratkan pelukan di tubuh Soully. Mendekapnya erat.
"Lagi? Hei Tuan, kau..." Soully kesal.
"Sebentar saja, aku takkan macam-macam. Ini pelukan perpisahan," sahut Miller melepas pelukannya lalu pergi masuk ke dalam mobilnya sambil melambaikan tangannya.
Bimo melajukan mobilnya, Miller melihat Soully masuk ke dalam apartementnya. Dia melihat telapak kanannya, lalu tersenyum sendiri.
"Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Bimo.
"Aku? Apa kau melihat aku baik-baik saja?" jawab Miller yang dijawab dengan pertanyaan.
"Kurasa memang perasaanmu sekarang sedang campur aduk," tukas Bimo asal menebak.
"Kenapa...di dunia ini dia malah berjodoh dan menikah dengan Yafizan? Kenapa dia tidak bertemu denganku lebih dulu, Bimo?" ucap Miller lirih.
"Maksud anda apa, Tuan?" tanya Bimo tak mengerti. Lalu seketika ia paham. "Jangan bilang anda kini tahu kalau perempuan itu bukan reinkarnasi adik anda, Tuan?"
"Hm. dia...gadis yang seharusnya menjadi istriku. Di masa lalu bahkan harusnya sekarang. Aku terlambat bertemu dengannya. Bahkan sekarang dia menikah dengan orang yang membunuhnya dulu..." Miller tersenyum getir, dia berucap dengan nada yang di lambat-lambat.
"Tidak tidak, takdir sebenarnya sudah mempertemukan kami, dulu, bahkan dia masih berbaik hati dan perhatian sama seperti dulu. Namun tetap saja aku tidak menyadarinya." Miller teringat akan gadis remaja yang memberinya satu botol air minum. "Bodoh! Kenapa aku terlambat menemukannya. Aku terlalu sibuk dengan dendam yang menahun dalam hatiku. Aku terlalu sibuk menghancurkan Yafizan yang sebenarnya aku sendiri yang membunuh adikku." Miller menangis merutuki dirinya sendiri.
Yang paling ditakuti Bimo saat ini adalah tuannya mengalami depresi seperti dulu. Depresi kehilangan Mayra dan mungkin pula kehilangan gadis yang dijodohkannya. Bimo menepikan mobilnya di pinggir jalan.
"Tuan, tenanglah," ucap Bimo perlahan. Ia menghentikan mobilnya, membiarkan tuannya melepas semua kepenatannya.
***
Bimo menyelimuti tubuh tuannya yang sudah terbaring lelap di tempat tidurnya. Ada sisa air mata yang mengering di sudut matanya. Mungkin tuannya masih menangis sebelum terlelap.
Bimo meletakkan ponsel tuannya di atas nakas samping tempat tidurnya. Tanpa sengaja ia melihat gambar sketsa gadis remaja yang di jadikan wallpaper utama layar ponselnya.
Kaukah gadis yang sama, Nona Soully?
Aku turut bersedih karena di kehidupan ini pun kau tak berjodoh dengannya, Tuan...
Bimo mematikan lampu kamar tuannya lalu menutup pintu rapat-rapat. Ada bulir kristal bening yang mengalir di sudut matanya, Miller membuka matanya lalu mengambil ponselnya.
"Apa harus seperti ini takdir kita? Ucapanmu benar, di kehidupan ini kau memang tak mencintaiku. Tapi di kehidupan ini aku yang mencintaimu. Konyol bukan? Apakah rasanya seperti ini ketika dulu dengan gigih kau mengejar dan mencintaiku namun aku mengabaikanmu?" lirihnya.
Hai, senang berjumpa denganmu lagi, Malika...
Apa kau...masih mengingatku?
***
Soully sudah membersihkan dirinya ketika ponselnya bergetar. Dia tersenyum lebar ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.
"KEMANA SAJA KAU?" teriak Yafizan di seberang teleponnya membuat Soully menjauhkan ponselnya dari telinganya. Bahkan Rona yang saat itu berada di dekatnya pun langsung menutup telinga.
"Hei...kenapa kau berteriak begitu keras? Aku masih bisa mendengarmu. Kau hampir saja membuat telingaku copot saja," sahut Soully.
"Kau...kenapa baru sekarang ponselmu aktiv? Apa kau bersenang-senang sampai melupakanku?" tanya Yafizan yang masih emosi. "Apa terjadi sesuatu? Miller sialan itu tidak melakukan hal yang buruk, kan?" imbuhnya.
"Kau ini seperti wartawan saja. Aku memang bersenang-senang tapi aku tidak melupakanmu. Ponselku tadi kehabisan daya dan aku baru mengisinya. Kau yang melupakanku, bahkan kau tak pulang."
"Maafkan aku, Sayang. Aku harus menginap. Besok pagi aku harus menghadiri acara talkshow di sini. Inilah jika aku terlahir tampan dan mapan."
"Cih, sombong sekali."
"Aku merindukanmu, Sayang..."
"Aku juga."
Sekejap kedipan mata, tiba-tiba sebuah tangan merengkuh pinggang Soully dari belakang. Soully menyadari tangan kekar yang sedang memeluknya.
"Kalau kau merindukanku, kenapa kita tidak melampiaskan kerinduan kita ini, Sayang..." bisik Yafizan di telinga Soully membuat tubuh Soully bergidik geli. Langsung ia membalikkan tubuhnya.
"Kenapa kau bisa di sini? Ups, aku lupa kalau kakek super seperti dirimu bisa datang dan pergi begitu saja."
"Kau, wangi sekali, Sayang. Apa kau baru mandi?" goda Yafizan. "Dan, what? Kakek super? Ough, kau sungguh romantis..." manjanya.
"Jangan menggodaku. Kau cepat kembali sana!"
"Kau mengusirku? Apa kau tak merindukanku?"
"Aku merindukanmu, tapi nanti orang-orang akan mencarimu di sana..."
"Masa bodoh dengan orang-orang itu."
Yafizan tak bisa menahan hasratnya lebih lama lagi. Dia mencium lembut bibir Soully, semakin lama ciumannya semakin dalam dan menuntut. Dia menjatuhkan tubuh Soully di tempat tidur. Pasangan itu saling melepas kerinduan mereka. Malam mereka dihabiskan dengan penuh gairah cinta, lagi dan lagi...
***
Sementara di tempat lain, Miller masih dalam kegundahan hatinya. Dia tenggelam dalam fikiran penyesalannya namun niat jahat terselip dalam hatinya. Baginya, Yafizan adalah orang yang membunuh wanita yang mungkin seharusnya berjodoh dengannya.
***
Bersambung...