Chapter 53 - Bab 53

Pernyataan cinta Yafizan membuat hati Soully membuncah bahagia. Sepanjang perjalanan pulang wajahnya tak berhenti berseri, seolah ada mantra senyum yang ditanam dalam dirinya.

Miller hanya bisa menahan rasa cemburunya berusaha tetap tegar dan baik-baik saja di samping perempuan yang sangat disayanginya kini. Dirinya merasa senang ketika melihat wajah Soully yang berbinar bahagia, namun tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit karena rasa bahagia itu ditujukan bukan padanya. Mungkin, Miller harus bersabar dan menahan gejolaknya saat ini karena ia sendiri yang bersikeras ingin mengantarkan Soully pulang.

Apa sesakit ini jika kita mencintai secara sepihak kepada seseorang?

Apa dulu dirimu merasakan sakit yang kini kurasakan?

Oh, betapa bodohnya diriku yang terlalu mengabaikan seseorang yang seharusnya berjodoh denganku!

Terlalu bodoh, sampai-sampai diriku tak bisa menerima takdir indah yang seharusnya menjadi milikku...

"Tuan, jalan ini..." Soully merasa bingung karena mobil yang dikemudikan Miller melewati apartementnya. "Tuan, jalannya terlewat!" seru Soully saat memang dirasa Miller mengemudikan mobilnya dengan pandangan kosong. "Tuan!" sekali lagi Soully menyadarkan Miller dengan menepuk pundaknya.

Ckiiiiiiiiiitttttt

Seketika Miller menghentikan mobilnya. Rem dadakan itu membuat Soully terbentur dashboard mobil yang berada di depannya. Aww...Soully meringis seraya mengusap-usap dahinya. Miller pun merasa shock sejenak, namun segera fikirannya teralih pada sosok yang ada di sampingnya.

"Kau tak apa-apa?" panik Miller. "Apa sakit? I'm so sorry, maafkan aku..." cemasnya terus meminta maaf.

"Tak apa, lagipula ini tidak terlalu keras," tukas Soully menenangkan. "Kau baik-baik saja, Tuan? Apa kau terluka?" kini gantian Soully yang merasa cemas.

"No...i'm oke," jawab Miller. "Apa kau yakin kepalamu baik-baik saja? Kita ke rumah sakit sekarang, oke?"

"Tidak usah, ini baik-baik saja." Soully tersenyum dan senyuman itu membuat Miller semakin merasa berasalah.

"Tenanglah, Tuan. Kau tak usah berlebihan seperti itu. Aku akan turun di sini saja. Terima kasih atas tumpangannya. Ups, maksudku sudah mau mengantarku pulang," pamit Soully berterimakasih sedang tangannya mencoba menekan tombol untuk melepaskan seatbelt-nya.

"Kenapa turun di sini? Biar aku mengantarmu sampai depan apartement," ujar Miller.

"Tak apa aku turun di sini saja. Kau harus berputar arah lagi dan itu jauh jika harus mengantarku sampai depan apartement. Di sini aku bisa jalan sebentar, lagipula ini tidak terlalu jauh," sanggah Soully yang masih berkutat dengan tombol seatbelt-nya.

"Oh ya ampun, kenapa ini susah sekali," gumam Soully dalam hati.

Miller memperhatikan tingkah Soully yang kesusahan membuka seatbelt-nya, bahkan tombol itu enggan melepaskannya. Seolah seatbelt itu mewakili perasaannya yang ingin terus menahan Soully lebih lama di dekatnya.

"Tu-tuan, tolong kau bisa bantu aku?" tanya Soully membuyarkan fikiran narsis di otak Miller.

"Hah?" Miller hanya menganga yang dibalas Soully dengan isyarat matanya menunjukkan pada tombol pembuka seatbelt-nya. Miller akhirnya paham lalu tangannya bergerak menekan tombol itu dengan susah payah, yang tanpa disadarinya tubuh Miller mendekat ke arah Soully. Nafas Soully terasa dekat dengan dirinya, jantungnya berdebar kencang. Rasanya ingin sekali ia mendekap Soully dengan erat.

"Apa masih susah?" Soully membuyarkan imajinasi Miller. Dengan kekuatan supranaturalnya seatbelt itu terlepas.

"Terima kasih. Sampai jumpa dan hati-hati," pamit Soully.

Soully membuka pintu mobilnya. Tangan Miller menahan lengan Soully yang hendak keluar dari mobilnya. Perasaan yang tak bisa ditahannya dengan berani ia mencium pipi Soully dengan cepat.

"Hati-hati, maaf kau harus berjalan dari sini," ucap Miller dengan dingin seolah ia tak melakukan apapun. Sedang Soully masih diam, di sisi lain ia merasa marah namun di sisi lain ia berfikir positif. Mungkin itu salah satu bentuk salam perpisahan ala orang luar negeri karena Miller pernah tinggal di sana. Dan perasaan aneh apa yang menggelitik hatinya ketika Miller mendekatkan diri padanya?

Stop Soully, jangan berfikir yang macam-macam. Kau sudah bersuami sekarang. Suami yang sangat mencintaimu! Benak Soully menepis perasaan anehnya terhadap Miller.

Tanpa merespon ucapan Miller Soully meneruskan tubuhnya keluar dari mobil. Dengan segera ia berjalan menuju apartementnya dengan langkah gontai. Tubuhnya merasa lelah, sedang ia harus berjalan.

Sedang Miller masih memperhatikan Soully dari dalam mobil hingga ia benar-benar melihat sosoknya masuk ke dalam kawasan apartement tersebut.

Jantung Miller masih berdebar kencang mengingat tindakan ekstrimnya barusan. Dia sempat meruruki dirinya sendiri karena tak bisa menahan gejolak dalam hatinya, namun di sisi lain ia merasa begitu senang.

Bagaimana tidak senang, jika itu adalah hal yang paling ia dambakan setiap harinya. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya membuncah bahagia.

***

Beepp

Pintu terbuka ketika Soully menekan pin password masuk apartementnya. Kini dia sudah bisa mengingat pin tersebut setelah berusaha keras mengingat angka-angka yang ia tekan ketika membukanya. Sebelumnya dia harus melihat catatan di ponselnya karena masih saja lupa. Tanpa disadari Soully, nomor pin tersebut adalah tanggal pernikahannya.

Soully merebahkan tubuhnya di sofa. Lalu menghela nafas dalam. Ia memegang pipinya yang tadi dikecup Miller. Dia pun memegang perutnya yang dirasa tak enak dari tadi siang. Kini kesadarannya kembali pulih. Ia merutuki bosnya itu. Lalu mengusap kasar pipinya menghilangkan jejak bibir yang tadi menciumnya. Rasa lelah menghilangkan rasa tak enak di perutnya. Hingga tanpa terasa alam bawah sadarnya mengajaknya melayang bersama dirinya di alam mimpi indahnya.

Sebuah tangan kekar menggendong tubuh Soully yang ketiduran di sofa. Lalu membaringkannya di tempat tidur.

"Dasar bodoh. Kenapa kau tak langsung masuk kamar? Pesta kejutan yang kusiapkan kini sia-sia," gerutu Yafizan lalu tersenyum getir. "Apa pekerjaanmu berat hari ini? Kenapa kau cepat tertidur tanpa mengenal tempatnya terlebih dahulu bahkan kau tak sempat membersihkan diri dan mengganti bajumu," tuturnya lirih. Tangannya membelai wajah cantik Soully lalu dikecup keningnya lama.

Have a nice dream, my Soully, my Angel. I love you always more more and more forever. I can't live without you...

***

Pagi buta ketika Soully membuka matanya karena panggilan alam membuatnya ingin bergegas pergi ke kamar mandi. Namun dirinya kaget luar biasa ketika mendapati ada sesuatu yang menahan tubuhnya. Sebuah tangan melingkari pinggangnya dan sesuatu yang berat namun hangat menyelimuti punggunggnya.

"Apa ini suamiku?" benak Soully dalam hati. Pelan-pelan ia melepaskan tangan yang sedang memeluknya, namun pelukan itu semakin erat. Seolah tak ingin melepaskan sesuatu yang sudah ada di hadapannya. Belum sempat ia menoleh pandangannya ke belakang dan membalikkan badannya, suara serak itu mengejutkannya lagi.

"Mau ke mana?" tanya Yafizan dengan tetap memejamkan matanya.

"Sayang!" pekik Soully menganga tak percaya namun girang. Karena tangan yang memeluknya kini benar-benar suaminya.

"Pelankan suaramu dan tutup mulutmu, bisa-bisa lalat masuk ke dalam mulut mungilmu itu," tutur Yafizan masih dengan suara khas malas bangun tidur. Sontak membuat Soully refleks menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Sayang, kapan kau pulang?" tanya Soully penasaran.

"Entahlah..."

Soully membalas pelukan Yafizan, semakin mengeratkannya. Sejenak ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya. Lalu ia beranjak berdiri karena panggilan alam kamar mandinya muncul kembali. Tanpa basa basi Soully segera berlari tanpa mempedulikan lagi pelukan suaminya yang dilepas dengan paksa.

"Hati-hati!" Yafizan cemas karena suasana yang masih temaram dalam kamarnya. Dia tersenyum melihat tingkah laku istrinya itu.

"Sudah selesai?" Yafizan sudah duduk bersandar di tempat tidurnya ketika Soully keluar dari kamar mandi lalu hanya dijawab Soully oleh anggukan kepala. Dengan lemah Soully berjalan memutari tempat tidurnya dan hendak berbaring. Tiba-tiba gerakan cepat badannya segera beranjak menuju kamar mandi kembali. Yafizan yang hendak memeluk Soully kembali pun diurungkannya.

Mungkin sudah ke-4 kalinya Soully bolak balik kamar mandi. Kini wajahnya sudah pucat dan lemah, bahkan untuk berjalan pun sepertinya sudah tak ada tenaga.

"Apa...kau ada stock obat untuk menghentikan sakit perutku?" tanya Soully lemas yang kini jalannya dibantu Yafizan lalu mendudukkan tubuhnya di tempat tidur.

"Kita sebaiknya ke rumah sakit untuk memeriksa kondisimu yang sebenarnya," cemas Yafizan dan Soully hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau sudah empat kali bolak balik kamar mandi, Sayang..."

"Cepat kau beri aku obat untuk menghentikan sakit perut dan diare-ku ini saj..." sanggah Soully yang pada akhirnya BRUGG Soully pingsan. Yafizan dengan panik langsung mengangkat Soully pergi ke rumah sakit.

***

Seseorang berlari dengan tergesa-gesa menuju ruang VVIP di mana seseorang berbaring lemah di ranjang pasien. BRAKK tanpa mengetuk atau permisi, Erick mendobrak pintu untuk masuk ke dalamnya.

Empat pasang mata langsung menoleh dan tertuju padanya. Hanya Yafizan yang menahan pandangan tak suka saat melihatnya.

"Kenapa dia ke mari? Padahal aku sudah menghindari bahkan menunjuk dokter spesialis lain untuk menangani Soully," benaknya dalam hati.

Erick memandang Soully dengan cemas, wajah cantik itu memucat dengan tenang memejamkan matanya.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya menanyakan dokter Anne ketika menangani Soully.

"Keadaannya sudah stabil sekarang, dia akan segera membaik," jelas dokter Anne.

"Apa penyebabnya?" tanyanya lagi.

"Dia mengalami alergi jenis makanan dan ada kandungan caffein dalam tubuhnya. Tapi itu tidak parah, hanya ke depannya tolong jaga pola makannya dengan baik," terang dokter Anne. "Baiklah saya harus mengontrol pasien yang lain, jika ada apa-apa jangan sungkan hubungi saya atau anda bisa memanggil dokter Erick. Dia dokter hebat di rumah sakit ini," pamitnya diikuti suster.

Rupanya dokter Anne tidak tahu Yafizan memang sengaja menghindari dokter Erick agar tak menangani Soully.

Setelah dokter Anne pergi, Erick mendekati Soully. Tangannya bergerak mengelus rambutnya. Namun niatnya terhenti ketika tangan kekar menepis tangannya.

"Jangan berani-beraninya kau menyentuh ISTRIKU!" Yafizan dengan nada yang ditekankan di akhir kalimatnya.

"Aku hanya memastikan kondisinya," sangkal Erick.

Padahal dari lubuk hatinya ia memang ingin sekali memeluk erat perempuan yang sedang berbaring lemah di hadapannya. Hal itu mengingatkanya kembali ketika Soully terbaring dalam tidur panjangnya. Bukan hanya itu, dirinya memang sangat merindukan Soully mengingat sudah lumayan lama ia tak bertemu atau hanya bertukar sapa dengannya. Tugas rumah sakit membuatnya sibuk beberapa hari terakhir bahkan tak jarang ia pun sering keluar kota bahkan keluar negeri.

"Apa kau yang membuat perutnya sampai bermasalah?" pertanyaan Erick membuat Yafizan mengepalkan kedua tangannya, tatapan tajam itu siap menyerang.

***

Bersambung...

Jangan lupa tekan Like dan Comment juga votenya ya Readers...

Saksikan kisah selanjutnya yaa

Terima kasih 🙏🏻