Rencana Sempurna
Drtttt, Bummmm..
Mobil telah dinyalakan.
Suan mengemudi kendaraan itu dengan sendiri tanpa bantuan seorang Supir. Sesekali ia melihat ke arah kaca depan mobil, memandang mata memerah Aria yang duduk di kursi bagian belakang. Sepertinya saat itu Aria sedang menahan rasa sakit di dalam hati karena perlakuan Suan yang tidak pernah lembut terhadap dirinya.
" Hm, ada apa ini?, tidak biasanya seorang Suan yang begitu sombong mengakuiku sebagai tunangannya." Aria melipat tangan serta kaki, ia terlihat membalas lirikan mata Suan.
Sebenarnya saat itu Aria masih sangat gelisah, ia takut jika Arkas yang belum pergi meninggalkan gedung permainan bola biliar, berakhir menerima pukulan dari teman-teman wanita yang laki-laki itu cintai hingga Aria juga akan ikut merasakan rasa sakitnya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Suan membalas lirikan Aria sembari mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan kencang di jalanan kota.
"Aku," Aria tersenyum kecut, sebenarnya ia merasa sedikit terkejut karena Suan memikirkan tentangnya saat itu. "Tentu saja aku sedang duduk di mobil anda, tuan Suan yang terhormat." Jawab santai Aria lalu membuang wajah ke luar jendela, menyembunyikan senyuman kebahagiaan dari laki-laki di hadapannya.
"Aria, kau memang tidak pernah ada habisnya ya, mengganggu kehidupan orang lain." Senyuman kebahagiaan yang tadinya menghiasi bibir sontak menghilang ketika mendengarkan ucapan Suan yang tidak ada habisnya menyakiti hati wanita itu, " mau berapa banyak lagi laki-laki yang akan kau sakiti hanya untuk membuatku cemburu?, hingga sekarang, kau bahkan tetap tenang meskipun telah dipermalukan di depan umum." Suan geram, bahkan terkadang ia menghela nafas berat, berusaha untuk mengendalikan emosi. "Sadarlah, kau itu sudah bertunangan, Jadi jangan mempermalukan nama baikku sesuka hatimu!" Suara Suan terdengar keras, ia bahkan semakin mempercepat laju mobilnya.
"Huh," Aria membuang nafas sejenak, lalu tertegun, "Baiklah, aku akan patuhi permintaanmu itu, tapi kau juga harus mengabulkan keinginanku untuk memecat Sekretaris barumu," kemudian melontarkan permintaan yang semakin memperparah amarah Suan.
Crrrrrtttt..
Hingga laki-laki itu mendadak menghentikan laju mobilnya setelah memasuki gang sepi di salah satu perumahan elite.
"Aria, berhentilah memaksakan kehendakmu sendiri!" geram sekali Suan terlihat saat itu, suara gigi-giginya yang menyatu bahkan terus terdengar bergemeretakan lalu tangannya tampak menggenggam erat stir mobil.
"Aku ingin dia dipecat maka pecatlah!, sebenarnya jika kau tidak mengabulkan keinginanku, aku juga akan tetap membuat dia keluar dari perusahaanmu."
"Jadi kau mengancamku?" tatapan Suan begitu tajam memandang Aria yang hanya membuang wajah dan tidak ingin membalas tatapan dari laki-laki tersebut. "Dengar baik-baik!, Aku, tidak akan pernah memecat sekretaris berbakat itu bahkan jika kau memohon sekalipun, aku tidak akan melakukannya, jadi sekarang turun!" Suan tidak lagi tahan dengan sikap Aria, ia kini memaksa wanita itu untuk turun dari mobilnya.
"Baiklah," dengan santai Aria memegang handle pintu mobil.
Krrrkkk, namun terkejut ketika pintu mobil tidak dapat terbuka. "Kenapa kau menguncinya?, bukankah kau telah mengusirku turun?"
"Lalu setelah turun, kau akan pergi menemui laki-laki itu lagi, menyakitinya lalu membuangnya seperti Sampah, begitukan?" Sepertinya Suan memikirkan ulang keinginan hatinya untuk menurunkan Aria ketika mengingat kembali sifat wanita itu yang sangat ia kenali. "Berhentilah menyakiti orang lain lagi, tidak cukupkah bagimu menghancurkan hidupku lalu sekarang masih ingin merusak hidup orang lain?" Kali ini Suan membentak, entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun kelihatannya laki-laki tersebut sangat tidak ingin Aria berada dalam masalah.
"Aku," Aria yang tidak tahan terus-menerus menerima bentakan pada hari yang sama, mulai menggertakan giginya kembali karena geram, "...sampai kapanpun tidak akan pernah menyakitinya, Kau paham?, kalau dia sakit maka aku juga ikut merasakan akibatnya jadi jangan sembarang kalau berbicara!" Aria balas membentak, dia bahkan mulai membalas tatapan Suan dari kaca.
Matanya memerah, bahkan suara gertakan gigi-giginya masih terdengar.
Saling bertatapan lama, " Hm,"
"Apa yang kau lakukan, Suan?" Aria terkejut ketika tangannya ditarik paksa oleh Suan untuk mendekat lalu kini tubuhnya berada di dekat laki-laki tersebut, kemudian wanita itu merasakan pipinya ditekan oleh satu tangan laki-laki di dekatnya itu.
"Tenang, bisakah kau dengarkan aku?" Aria tertegun, matanya memandang mata Suan yang begitu dekat hingga detak jantungnya memompa kencang dan wanita itu salah tingkah, tidak tahu lagi cara bersikap untuk melawannya. "Tenang dan tetap duduk dengan baik!" suara perintah Suan membuat wanita itu mau tidak mau harus menuruti, terlebih lagi saat itu keadaan detak jantungnya juga tidak memungkinkan ia untuk mengabaikan perintah dari laki-laki tersebut.
Segera setelah tangannya dilepaskan, ia duduk dan membuang wajah. Membiarkan Suan melanjutkan kemudi mobil untuk membawa wanita tersebut pulang ke rumahnya.
**********
Seperti biasa, meja makan yang panjang diisi penuh dengan makanan mewah. Berbagai jenis Minuman juga terlihat disana.
Begitu pula dengan beberapa orang pelayan yang mulai menuangkan Jus Anggur ke dalam gelas-gelas kaca di samping beberapa orang yang terlihat duduk di kursi depan meja makan tersebut.
Lampu hias mewah terlihat menggantung jauh di atas mereka. Cahaya lampu, bersinar terang di ruangan yang luas.
Seorang yang terlihat sedikit tua tampak sedang duduk di ujung meja sembari mengobrol dengan seorang Laki-laki yang mungkin berusia lebih muda darinya dan duduk tepat di samping depan kanannya.
Dua orang wanita dengan wajah yang terlihat masih muda meskipun usianya sudah lumayan tua, juga terlihat saling berhadapan dan sesekali membuka obrolan.
Dua orang wanita muda lain terlihat saling duduk berdampingan dan juga saling mengobrol bahagia.
"Aku kembali." Suan masuk ke dalam ruangan, dia yang baru saja kembali dari kesibukannya, kini telah terlihat di pandangan mata semua orang di ruangan makan tersebut.
Memang, mereka sedang menunggu kedatangannya sebelum memulai acara makan malam bersama, tetapi sebelum memulai acara tersebut, sepertinya telah terjadi sesuatu hingga semua orang kini menghentikan obrolan masing-masing dan menatap marah kepada laki-laki yang baru saja tiba tersebut.
"Duduklah!" wajah salah seorang kepala rumah tangga di sana terlihat dingin dan begitu serius.
Suan yang masih berdiri sontak tertegun memandang wajah marah Ayahnya. Dia mulai menyadari sesuatu hal yang mungkin telah terjadi karena ulah Aria.
Lagi dan lagi,
Pikirnya, memang wanita tersebutlah yang selalu mengadukan segala keinginan hatinya yang tidak terpenuhi oleh Suan kepada ayah laki-laki tersebut.
Suan bahkan merasa jerah dan teramat lelah menghadapi sikap manja Aria yang terus-menerus memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mempedulikan perasaan laki-laki itu.
"Bawa dia kemari!" perintah ibu Suan kepada salah seorang pelayan sebelum Suan bergerak menuju kursi dan duduk di sana.
Mata Suan sontak terbelalak.
Ia yang tadinya akan mendekati kursi saat itu telah menghentikan langkah dan melihat sekretaris Pribadinya sedang menangis sesunggukkan serta melangkah maju dengan terpaksa karena didorong oleh seorang pelayan hingga ia jatuh terduduk di depan semua orang di sana. "Ma.. hiks hiks.. maafkan aku, tuan." Pinta wanita itu teramat memohon, tubuhnya gemetaran hebat, tangisannya juga tidak kunjung berhenti, dengan gugup ia juga berusaha berbicara.
"Apa maksud ini semua, Ayah?" tanya Suan terlihat tidak terima, ia bahkan merasa kasihan melihat sekretarisnya diperlakukan sedemikian rupa.
Aria tersenyum getir ketika mendengarkan ucapan Suan tersebut. "Benarkan paman?, Suan telah berselingkuh dengan sekretarisnya di belakangku, sekarang dia bahkan membelanya," wanita itu berpura-pura merasa tersakiti. Malam itu, ia bahkan ingin sekali menampar wajah Suan karena geram mengingat mimpinya sendiri. "Ayah bagaimana ini?" kali ini ucapannya ia tujukan kepada ayahnya yang duduk di samping wanita itu." Terus-menerus, haa.. aku saja yang terus-menerus mengejar Suan, sementara Suan malah bermain hati dengan wanita lain. Ayah, sakit sekali hatiku ini." lanjut wanita tersebut menambahkan amarah ke dalam hati semua orang di sana terhadap perilaku Suan. "Sudahlah, batalkan saja.."
"Aria jangan bilang begitu, pasti saat ini sedang terjadi kesalahpahaman di antara kalian berdua, benarkan Suan?" senyuman kepuasaan mengembang di bibir, Ayah Suan bahkan terlihat begitu berusaha untuk meyakinkannya agar pernikahan dia dan laki-laki yang ia cintai, tidak berakhir gagal.
"Batalkan?, hm, ya sudah batalkan saja." Tidak lagi sanggup menahan kekangan yang selalu membebani hidupnya, Suan mulai berjalan menghampiri sekretaris pribadinya untuk membantu wanita itu berdiri.
Paaaaaakkkk...
Tetapi sebelum ia mendekat, sebuah tangan telah menarik lengan tangannya dan tangan yang lain memukul kuat pipi laki-laki tersebut.
Mata merah karena marah memandang wajah Suan dengan menengadah kepala, "berani sekali kau berselingkuh dengan wanita murahan itu?" Ibu Suan yang telah datang mendekati, mengeluarkan amarah dan membentak Suan di depan semua orang di sana. Suaranya menggema, ia terlihat begitu sangat emosi dan tidak tahan lagi melihat sikap putranya.
"Haah," Aria semakin tersenyum puas, "baiklah, Batalkan. Ayah, ibu kita pulang saja." Aria mengancam, ia bahkan berani menipu dirinya sendiri yang sangat tidak ingin pernikahan mereka berdua dibatalkan, tetapi mau bagaimana lagi. Menurutnya dengan cara itulah ia bisa menyingkiri Sekretaris dari laki-laki yang ia cintai.
"Aria, Aria jangan bilang begitu, apa yang kau ucapkan ini?, bukankah kau bilang sangat ingin bergabung dengan keluarga kami?" Cecilia yang sedari tadi diam bahkan ikut membuka suara, ia menahan Aria untuk tidak pergi dari rumahnya dengan menggenggam lengan atas wanita itu. "Jangan pergi!, Aku bahkan sudah menyiapkan makanan kesukaanmu."
"Aku, aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini." Suan mengalah, ia menahan emosinya untuk yang kesekian kali. Sungguh, dia benar-benar tidak sanggup melihat keluarganya untuk selalu memohon kepada Aria.
"Benarkah kau tidak memiliki hubungan dengan Suan, wanita murahan?" Aria menghina, ia begitu geram mengingat saat terakhir kali pertemuannya dengan wanita itu di Hawai dan Suan membelanya.
"Tuan Suan hanya ingin bersenang-senang denganku saja, Nona." Jawab sekretaris Suan, menuruti rencana Aria untuk menuduh Suan karena ia takut akan masalah lagi.
"Kau," bukannya marah kepada sekreatrisnya, Suan yang memang mengetahui Sifat Aria sontak menoleh kepala ke arah wanita yang terlihat berwajah Sedih dan berpura-pura itu, " Kau merencanakannya, benarkan?" Suan geram, ingin sekali ia mendekati wanita itu namun keinginannya ia tahan karena enggan melihat keluarganya mendapatkan masalah dengan keluarga Aria.
"Aku," Aria terus saja berpura-pura, "bukankah sudah kukatakan padamu jadikan aku sekretarismu tapi kau menolaknya?, lalu ketika aku memintamu untuk mencari sekretaris laki-laki saja, kau juga menolaknya, jadi kenapa sekarang kau menuduhku?, Hiks, mungkinkah karena aku begitu mencintaimu dan merasa tertekan dengan perselingkuhan kalian lalu mengadu kepada ayahmu, maka dari itu kau membenciku?" begitu hebat wanita itu memainkan perannya dan mengatakan kebohongan yang nyata hingga semua orang merasa iba terhadapnya dan semakin marah kepada Suan saat itu." Sudahlah, terserah saja, Aku menyerah, rasa cintaku yang tulus ini, kubuang saja." Lanjutnya berteriak keras hingga menggema.
"Tenanglah Aria, kau tidak perlu menyerah." Ibu Suan dan ibu Aria datang mendekati, mereka berdua berusaha menenangkan tangisan wanita itu.
"Jangan khawatir Aria, paman akan mengatasi masalah ini dan pasti, tidak akan terulang lagi." Ayah Suan juga terlihat berusaha untuk menenangkan tangisan Aria hingga membuat Suan merasa sangat muak untuk melihat wajah Aria lagi dan pergi berlalu dari tempat tersebut.
"Huh." Ayah aria mulai menghela nafas berat "aku tahu dari dulu hanya Aria saja yang mencintai Suan," Dia yang sedari tadi diam kini mulai membuka Suara,"...
maka dari itu, aku mulai takut Jika Putriku akan tersakiti seperti ini lagi dikemudian hari nanti," tambahnya mengejutkan semua keluarga Dikintama yang mendengarnya,"Ron, tolong beri peringatan kepada putramu agar hal ini tidak terulang kembali, atau kalau tidak bisa, lebih baik kita akhiri saja hubungan kekeluargaan ini." Lalu melontarkan ancam dan meraih tangan Aria, membawa wanita tersebut meninggalkan ruangan makan keluarga Dikintama diikuti oleh ibu Aria yang terlihat kesal dengan kejadian yang berlangsung saat itu.
Rencanananya berhasil sempurna, ia yang tadinya menangis kini telah tertawa begitu bahagia di dalam hati.
Baginya, segala cara akan ia lakukan agar Suan tidak pergi darinya bahkan menipu keluarganya sendiri sekalipun ia tidak peduli.
**********
Tik tik tik..
Suara detik jarum jam berbunyi.
Keringat dingin mengguyur deras ketika ia sedang terbaring nyenyak di dalam mimpi tadinya.
"Haaaa.."
Matanya terbuka, dengan cepat ia segera duduk dengan memegang dada.
"Sakit sekali, haa.. haa.." Dia mengeluh, nafasnya terengah-engah.
Bahkan ketika sedang beristirahat sekalipun, ia diganggu dengan perasaan menyakitkan itu.
Perasaan yang menyatakan bahwa saat itu Arkas akan berada dalam bahaya.
Swaaapp..
Disingkapnya selimut yang menutupi tubuh tadinya.
Dilihatnya jam weker di meja yang jarumnya menunjukan angka 6.
Segera wanita itu berdiri untuk membersihkan diri, setelah itu ia berniat pergi ke tempat Arkas berada sebelum rasa sakit itu semakin parah.
Rasa sakit yang menyiksa karena bus yang akan ditumpangi Arkas mengalami kecelakaan nantinya.
Luar biasa mengerikan hidupnya.
Pikir wanita yang telah menggulung rambut dan mengikatnya lalu memakai sandal santai menuju ke kamar mandi di dalam ruang kamarnya.
Perasaan yang tiba-tiba muncul semakin terasa sakit jika saja ia tidak memikirkan Arkas di dalam otaknya. Yang membuatnya bertanya-tanya saat itu adalah mengapa Arkas selalu berada di dalam kesialan?, lalu mengapa ia yang tidak sengaja menabrak laki-laki tersebut, harus ikut merasakan kesialan itu?
Langkahnya terus berjalan hingga masuk ke dalam kamar mandi yang semerbak harumnya mampu menenangkan jiwa namun sayangnya tidak berpengaruh kepada hati Aria yang gelisah.
"Brengsek," maki Aria karena rasa sakitnya kini semakin bertambah dan dia tidak memiliki banyak waktu lagi untuk membersihkan diri.
Bab 5 Batin yang tersiksa
Dua wajah, itulah yang dimilikinya.
Satu wajah lembut yang digunakan untuk menarik perhatian orang lain dan satu lagi adalah wajah Asli yang terkadang tidak banyak orang akan menerimanya.
Menggunakan wajah manapun yang ia miliki, itu sama sekali tidak berguna baginya untuk berbicara kepada laki-laki yang kini telah berdiri dan menatapnya penuh dengan kebencian.
Mau bagaimana lagi, Aria juga mengingat bahwa perilakunya beberapa hari yang lalu telah menyebabkan Arkas semakin dijauhi oleh wanita yang ia cintai.
"Kenapa kau datang lagi?" Pertanyaannya terdengar menolak kehadiran. Arkas yang telah mengenakan pakaian rapi untuk memenuhi panggilan kerja bahkan terlihat begitu risih memandang wajah Aria terlalu lama.
Wajahnya yang cantik meskipun tidak memakai riasan karena terburu-buru untuk datang ke tempat laki-laki berwajah lonjong dengan poni rambut yang sedikit naik ke atas serta rambut yang mungkin telah ia potong rapi untuk memenuhi panggilan kerja, terlihat datar dan dingin karena wanita itu tidak menyukai lontaran pertanyaan yang baru saja di ucapkan oleh laki-laki tinggi namun bertubuh kurus di depannya.
"Taaraa, Aku sudah datang, Arkas." Aria mengabaikan pertanyaan laki-laki tersebut, wanita cantik dengan rambut lurus alami serta helaian rambut berwarna hitam dan terkadang bercampur dengan warna pirang telah mengubah mimik wajah dinginnya menjadi mimik wajah penuh keceriaan.
Segera ia datang semakin mendekat, lalu tanpa sengaja memandang ke area perkarangan rumah yang tidak lagi di penuhi oleh barang-barang rongsokan, "Pergilah!" tetapi sayang, ia diusir lagi.
"Kau sudah menjual semuanya?" tidak mempedulikan pengusiran, Aria malah bertanya untuk menghindari rasa malu dan harga dirinya yang telah dipandang remeh oleh laki-laki tidak tahu diri, menurutnya itu.
Pagi yang harusnya cerah, hari itu malah membuat suasana hati Arkas kesal dan emosi, "Pergi!" Arkas terus mengusir, suaranya bahkan sedikit diperkeras saat itu.
"Kau ingin pergi kemana?, bagaimana kalau aku saja yang mengantarkanmu?, Hm, sekalian saja, aku akan mentraktirmu sarapan jika kau masih belum makan pagi ini." Seolah-olah tidak terjadi sesuatu, dengan berwajah tebal, Aria terus berpura-pura menjadi orang yang baik untuk mencegah Arkas berada dalam bahaya.
"Kau tidak dengar aku ya?"
Arkas yang tadinya telah berjalan dan diikuti oleh Aria, membalikan badan lalu mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak bertindak ceroboh terhadap Aria yang menurutnya sangat menjengkelkan.
"Tidak mau, aku tidak mau pergi. Aku, ehm." Aria tertegun, ia terlihat mengalihkan pandangan untuk tidak melihat wajah Arkas yang sebenarnya tidak ia suka. "Aku masih ingin bersamamu." Lanjut Aria memberikan senyum lembut dengan terpaksa meskipun matanya masih tidak ingin membalas tatapan Arkas.
"Kau," Arkas berbalik lalu melangkah dengan cepat, "benar-benar..." Dia tidak lagi memiliki banyak waktu untuk melayani segala perilaku Aria saat itu.
"Aku Aria, kau harus mengingat namaku mulai dari sekarang karena aku akan selalu hadir disaat kau butuh." Aria berlari mengejar, meskipun sebenarnya ia tidak biasa berlari menggunakan sepatu hak tinggi.
Gang rumah itu tidak terlalu ramai, bahkan ada banyak rumah-rumah yang masih kosong karena belum ada pembeli, dan lagi, perumahan tempat tinggal Arkas tersebut berada di pinggiran kota yang sedikit lebih jauh dari pusatnya lalu untuk masuk ke dalam tempat tersebut dari jalanan raya juga memakan waktu yang cukup lama maka dari itu, sangat jarang penduduk kota tersebut mau membeli rumah di sana.
"Aku tidak butuh kau." Jawab ketus Arkas masih berjalan keluar gang diikuti oleh Aria yang terlihat berlarian kecil, berusaha mengiringinya.
"Aku tidak peduli jika kau tidak membutuhkanku, aku hanya perlu ada bersamamu saja dan itu sudah cukup bagiku."
"Benar-benar tidak tahu malu." Arkas menghina kembali dan Aria telah mempersiapkan diri untuk menerimanya. Meskipun ia sempat merasa sakit hati dan menghentikan langkah, tetapi karena tidak ingin merasakan perasaan mengerikan itu lagi, ia mengulangi langkah lari kecilnya untuk terus beriringan dengan Arkas kembali, mencegah laki-laki tersebut untuk menaiki bus kota.
Terus melangkah kaki hingga tumit Aria terasa sakit karena begitu jauh untuk sampai ke jalanan raya menurutnya berada, Aria sedikit merasa lega karena Arkas tidak lagi mengusirnya pergi.
Mereka berjalan melewati rerumputan tinggi dan tebal di pinggiran jalan yang sepi, tak berumah. Hanya terkadang kendaraan motor saja yang lewat berlalu lalang, terkadang juga terlihat mobil lewat di jalanan yang tidak lebar tersebut, namun hanya bisa dihitung dengan jari saja kendaraan tersebut melewati mereka.
Langkah Arkas benar-benar cepat, hingga Aria terkadang terpaksa berhenti, menahan lelah dan kembali berlari untuk mengejarnya.
Aria memang tidak terbiasa berjalan terlalu lama meskipun ia sering berolahraga di taman samping rumah setiap beberapa hari sekali.
Criitt bummm..
Sebuah motor menghalangi langkah Arkas, "Arkas, dia siapa?, mungkinkah kekasihmu?" seorang pengendara motor yang berjenis kelamin laki-laki mulai bertanya saking penasarannya ia terhadap apa yang dia lihat sedari tadi.
Sepertinya laki-laki tersebut merupakan tetangga di perumahan Arkas.
"Bukan." Arkas menjawab, suaranya terdengar ketus lalu laki-laki tersebut segera bergerak kembali menghindari motor yang melintangi jalannya, dan melangkah kaki lagi dengan cepat.
"Kau kekasihnya?" kali ini pengendara motor tersebut bertanya kepada Aria yang tadinya akan segera berjalan mengikuti Arkas.
"Benar." Jawab Aria santai, lalu mulai melangkah kembali.
"Kau," Arkas geram, ia merasa dipermainkan.
Aria yang tidak mau menanggung rasa malu karena akan dikira sebagai wanita penguntit, mau tidak mau, mengucapkan kebohongan tersebut.
"Aku ke..ka ..sih..mu." Aria mengulang kembali perkataannya agar pengendara motor semakin yakin bahwa mereka adalah pasangan kekasih lalu mengira saat itu mereka berdua sedang bertengkar.
"Astaga, kekasihmu cantik sekali," Pengendara motor memuji, ia terlihat begitu menganggumi wajah cantik serta tubuh tinggi yang terbalut kemeja berlengan panjang dan celana hitam polos. Pakaian itu sengaja Aria gunakan karena ia mengetahui bahwa pasti, ia akan berada di tempat bercuaca panas bersama Arkas. "kalian sedang bertengkar ya?"Pengendara motor melanjutkan ucapannya, kali ini ia bertanya sesuai dengan perkiraan Aria.
Aria menghela nafas sejenak, lalu memandang mata pengendara motor tersebut."hmm, benar sekali. " Kemudian menjawab pertanyaan yang membuat pengendara motor sontak membuang wajah karena merasa sangat malu dipandang oleh wanita cantik seperti Aria.
"Ah, benar, aku ada urusan, jadi harus pergi." Memahami situasi yang sedang terjadi antara Arkas dan Aria yang menurutnya adalah sepasang kekasih, laki-laki pengendara motor mulai menyalakan kendaraannya kembali untuk berlalu pergi dan tidak ingin mengganggu kedua orang itu. "Arkas, jangan marah-marah lagi." Teriaknya menasihati arkas dari kejauhan, lalu pergi berseberangan arah dengan mereka.
Melihat Arkas telah berjalan sangat jauh, Aria melepaskan sepatu hak lalu mengejar Arkas dengan segera.
"Bisakah kau tidak menggangguku?" Aria yang telah berhasil mengejarkan, dihadapkan dengan permintaan Arkas yang mungkin telah menyadari kedatangannya.
"Kalau begitu, terimalah aku menjadi kekasihmu atau temanmu saja juga tidak masalah." Aria malah balik melontarkan permintaan.
"Lucu sekali," Arkas menghentikan langkah, perlahan-lahan ia berbalik, menghadap ke arah Aria di belakangnya. "Bukankah kau sudah memiliki tunangan?, bahkan tunanganmu saja begitu perhatian padamu. Ataukah kau memang tidak tahu malu, atau mungkin, kau adalah wanita murahan yang suka berganti-ganti pasangan?"
"Tunanganku tidak pernah mencintaiku, kelihatannya saja perhatian tetapi tidak begitu yang sebenarnya. Aku hanya ingin dekat denganmu, itu saja cukup dan tidak butuh apapun darimu." Jelas Aria, berusaha menenangkan kemarahan Arkas.
Keringatnya bercucuran, kini wanita itu dan Arkas telah sampai di dekat jalan raya.
Rasa sakit di kaki karena hak tinggi yang telah ia lepas menambahkan rasa lelah.
Kemarahan Arkas kepadanya juga semakin memperparah.
"Aku tidak mau tahu urusanmu, tolong, aku hanya tidak ingin diganggu dan tidak ingin wanita yang kucintai salah paham lagi." Arkas memperpelan suaranya, lalu memanggil kendaraan angkutan umum yang akan melewati mereka tadinya. Kendaraan tersebut bukanlah bus kota, maka dari itu hati Aria kini telah lega dan wanita itu membiarkan Arkas pergi begitu saja.
Perasaan aneh itu telah berhenti dan tidak menyakiti lagi. Saat itu Aria masih belum bisa memahami bagaimana perasaan itu akan terjadi dan juga berlangsung?, dia masih sangat bingung serta berpikir keras mengingat berulang kali, awal perasaan menyakitkan itu muncul.
Aria menghela nafas lega, ia mengenakan sepatu haknya kembali untuk mencari taksi dan memerintahkan supir pribadinya untuk mengambil mobil yang masih tertinggal di dekat rumah Arkas.
Tempat ia berada kini telah ramai tidak seperti sebelumnya, di sana terlihat banyak sekali orang-orang yang berjalan maupun berkendara.
Tukkk..
Satu langkah ia gerakan.
Deg.. degup..
Haaa...
Tapi tiba-tiba kepalanya sedikit pusing meskipun perasaan aneh tidak menyakiti hatinya lagi.
Degg deguuppp..
Haaa... hiks..
Aliran air mata mengalir deras, membasahi wajah.
Haaa...
Wanita itu jatuh melipat kedua kaki ke belakang sembari menutup wajah menangis sesenggukan.
"Permisi,"
"Kak,"
"Hai, kau kenapa?"
Beberapa orang datang mendekati Aria yang masih duduk menangis tersedu-sedu tetapi Aria tetap diam dan tidak menjawabnya.
"Hallo, nona cantik."
Aria berdiri tanpa menjawab sapaan dan kekhawatiran orang-orang di sana.
Gerakan cepat wanita itu berhasil mengejutkan orang-orang di sekitarnya tersebut.
"Akhh hiks, hiks, " dan bahkan sebagian dari mereka merasa iba ketika Aria berlari lalu terjatuh karena hak sepatunya patah hingga kedua lutut wanita tersebut mengeluarkan darah.
"Kau baik-baik saja?" seorang wanita mencoba membantu tetapi Aria mengabaikannya.
Segera Aria berdiri lalu melangkah dengan kaki pincang mencari taksi yang tidak kunjung terlihat.
"Butuh tumpangan?" seorang laki-laki mencoba menawarkan diri namun Aria tidak mendengarkannya.
Hari itu, Aria telah melihat masa depan akan nasib dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah dan ia memutuskan untuk segera menghentikannya meskipun harus menaiki bus kota yang ia sendiri bahkan tidak pernah menumpangi kendaraan tersebut sebelumnya.
************
Taakkk taaakkk taakkk...
Suara hentakan kaki terdengar, kaki yang menghentak itu tidak memakai satupun alas, baik itu sepatu ataupun sandal.
Tangisan terus menyesakkan hatinya yang teramat perih hingga membuat para karyawan yang bekerja di perusahaan itu, segera pergi menghindari karena mereka memang sangat mengenal Aria.
"Haa.. hikss.. haaa haaa..hikss." Dia terus berjalan sembari menangis sesenggukkan. Dia juga tidak peduli dengan darah yang mengalir di lutut kakinya.
Tidak ada tas yang ia bawa, karena tasnya ia tinggal di dalam mobil dan bahkan ketika menaiki bus kota, ada seseorang yang membantu membayarkannya.
"Haa.. hiks.. hikks.." Tangisannya bercampur dengan emosi yang membabi buta, "Hiks hiks," ia terus menangis hingga sampai ke depan sebuah pintu ruangan yang berdindingkan kaca.
Pandangannya menatap sesosok laki-laki dari dalam dinding kaca, laki-laki itu bahkan begitu bahagia melihat tangisan Aria yang telah mengetahui masa depan dari dirinya sendiri.
Baaaaaakkkk..
Tidak ada seorangpun karyawan yang berani menghentikan Aria membuka pintu pemimpin perusahaan mereka.
Pintu yang berada di bagian sudut ruangan terbuka hingga menabrak sebuah gorden mewah yang berfungsi untuk menutupi jendela kaca dan melindungi ruangan tersebut dari panas sinar matahari.
Aria masuk tanpa mempedulikan rasa sakit yang dia derita.
"Wah hebat sekali." Puji laki-laki yang tak lain adalah Suan. Laki-laki tersebut terlihat bersandar di meja kerja lalu melipat tangan ke dada. "Bahkan aku baru ingin memulainya tapi dengan begitu cepat kau telah tiba. Berapa banyak jumlah mata-mata yang kau miliki untuk mencari tahu semua hal tentangku?" dengan santainya Suan berbicara dan dengan matanya pun ia bahkan memberikan isyarat kepada Aria untuk melihat dua orang lain yang sedang duduk, memohon sesuatu kepada Suan di ruangan tersebut.
"Kau membelinya?"Aria geram, tangisannya semakin pecah, " Kenapa kau membelinya?, kau kira kau bisa bahagia seperti cerita-cerita romansa?, Kau kira dengan membeli gadis dari hutang orang tuanya, kau bisa lepas dariku?" wanita itu berteriak mengeraskan suara saking menyakitkannya keadaan yang ia rasakan saat itu.
"Aku membelinya tentu saja karena aku menyukainya, aku menyukai wanita seperti ini, dan bukan wanita sepertimu." Dengan segera Suan meraih tangan gadis yang mungkin baru saja tamat sekolah menengah atas tersebut, hingga gadis itu berdiri dan jatuh kepelukan laki-laki itu.
"Akhh," gadis itu mengerang kesakitan karena genggaman erat tangan Suan di pergelangan tangannya. Saat itu, dia terlihat sangat ketakutan," ayah, tolong jangan jual aku!" lalu memohon kepada laki-laki tua yang terduduk menundukan kepala.
"Maaf,"
"Pergi!" Suan mengusir laki-laki tua itu. Dengan cepat laki-laki tua tersebut berlalu dari sana.
"Kenapa kau menjual anakmu?" bentak Aria menahan tetapi karena ia telah lemah, laki-laki tua dengan cepat menghempaskan tangannya lalu tanpa menjawab pertanyaan, ia berlari keluar dari ruangan tersebut."Hiks haa.. hikss... lepas kubilang!" perlahan-lahan langkah gontai Aria mendekati Suan.
"Hikss hikss." Gadis yang terjual itu juga ikut menambah suasana menyedihkan di ruangan tersebut.
"Kenapa aku harus melepaskannya?" bukan melepaskan, Suan malah semakin mempererat pelukannya.
"Lepaskan kubilang!" kali ini Aria berhasil mendekati dan mencoba melepaskan gadis itu dari tangan Suan.
"Mana mungkin aku melepaskan gadis yang telah susah payah kubeli ini begitu saja. Harganya juga cukup mahal, dia juga masih perawan, aku juga sangat menyukai bentuk wajahnya, jadi berhentilah berpikir bahwa aku akan melepaskannya begitu saja." Suan melepaskan tangan Aria yang lemah karena tubuhnya dipaksa menahan rasa sakit fisik dan juga batin.
"Hm," Hingga ia lelah lalu terduduk jatuh di atas lantai. "Hm hahahahaha," dan tertawa lebar begitu menggema, "kau berani kepadaku, Suan?, hahaha, Ah benar, sepertinya kau melupakan siapa aku?" Aria mengembangkan senyuman kecut diantara kepahitan hatinya, ia bahkan sempat melayangkan ancaman.
"Hm, lakukan saja apapun yang ingin kau lakukan, wanita ini juga sudah siap mati di tanganmu." Suan menarik gadis itu maju ke depannya, lalu menekan kedua pipi gadis tersebut dari belakang, memperlihatkan dengan jelas bagaimana bentuk wajah gadis yang baru saja ia beli tersebut kepada Aria.