Mereka dipertemukan ketika kembang api musim panas pecah di langit malam yang cerah. Hikaru menangis dengan wajah ketakutan. Dia menatap sekeliling di dalam keramaian orang-orang yang menikmati festival musim panas. Dia kehilangan kakaknya ketika tidak sengaja melepas tangan yang menggenggamnya.
.
.
.
Hikaru telah beranjak dewasa. Dia telah jauh lebih tinggi daripada ketika Masaki menemukannya beberapa tahun yang lalu. Dia tumbuh menjadi pemuda yang tampan, setidaknya itulah yang ada di pandangan Masaki. Mata indahnya kadang terlihat sayu. Ketika pemuda itu tersenyum, Masaki seakan melihat Takaki saat berusia enam belas tahun. Meski itu sudah begitu lama, namun kenangan akan Takaki tidaklah pernah pudar. Lalu Hikaru datang dan seakan mencoba menjadi pengingat bagaimana sosok Takaki hari itu.
"Kemana kita akan pergi?" Bahkan terkadang nada bicara mereka tidak jauh berbeda ketika suasana hati mereka sedang buruk.
Masaki menoleh ke samping dan tersenyum, hanya sekilas dan setelahnya dia kembali fokus ke jalanan. Dia tahu bahwa suasana hati Hikaru belum membaik, "Apa kau masih bertengkar dengan kakakmu?"
Setelah pertemuan malam itu, hubungan mereka agak dekat. Hikaru butuh tempat untuk berkeluh kesah dan pria itu tidak keberatan. Masaki tahu bahwa tidak seharusnya dia mencampuri pertengkaran di antara keduanya. Namun jika dia tidak mengambil sedikit keberanian, hubungan persaudaraan itu bisa saja berantakan. Dan kemudian pikirannya jatuh ke dalam kilasan masalalu, dimana hubungan dirinya dengan kakeknya juga merenggang karena keegoisan masing-masing. Bahkan hingga sekarang, hubungan itu tidak mudah untuk dikembalikan seperti semula.
"Bagaimana dia tidak mau mengerti?" Hikaru mengalihkan pandangannya keluar jendela, seakan enggan menatap Masaki yang lebih fokus membawa mobil yang mereka tumpangi, "aku hanya mencoba untuk mengambil langkah terbaik. Jika aku bisa masuk ke sekolah itu, maka akan lebih mudah untukku melanjutkan kuliah."
Dan lagi Masaki tersenyum, namun kali ini sedikit terasa kaku. Dia tahu bahwa pemuda di sampingnya terlalu naif dan tidak berpikir bahwa hidup tidak akan selalu sejalan sesuai dengan rencana. Jika tidak, mungkin Takaki akan berada dalam pelukannya sekarang. Kenyataannya pria itu tidak pernah lagi terlihat. Takaki telah tidur dengan tenang, itulah yang Masaki tahu ketika dia menghadiri upacara kematian beberapa tahun yang lalu.
"Jika kau telah melewati masa kedewasaan, mungkin dia akan bisa menerima keputusanmu." Masaki hanya bisa mengatakan kalimat itu.
Hikaru menghela nafas panjang seakan dia merasa semakin kesal karena tidak seorang pun yang mencoba mengerti keinginannya. Jika saja Kyosuke masih hidup, mungkin pria tua itu akan mendukungnya.
Namun Harada mempunyai pemikiran yang berbeda. Harada lebih dulu tahu, hidup di asrama sangat keras. Bukan hanya persaingan keberanian, akan tetapi juga fisik. Tidak peduli seberapa cerdas dirimu, tetap saja pada akhirnya kastalah yang menentukan segalanya. Setidaknya jika kau terlahir dari keluarga kaya raya, maka hari-hari damaimu akan terjamin. Tapi cerita tentang Takaki sedikit berbeda. Dia harus berakhir tragis meskipun pemuda itu putra satu-satunya pemilik saham terbesar di beberapa perusahaan elektronik. Bukankah itu sungguh mengenaskan? Takaki hanya terlambat melewati masa kedewasaannya yang membuat dia terdampar di sekolah yang dipenuhi para Alpha. Dan mungkin saja hal tersebut yang ditakutkan kakaknya Hikaru.
"Aku akan turun disini."
"Aku akan mengantarmu sampai rumah."
"Harada-san!"
Masaki ingin menghela nafas, namun rasanya begitu sulit seakan apa yang dia lalui hari ini mencoba untuk mencekiknya dengan pelan. Dia berharap hatinya akan sedikit tenang ketika dia melihat wajah Hikaru, namun perselisihan antara Hikaru dengan kakaknya menghancurkan harapannya.
Harada menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Sementara itu Hikaru meninggalkan dirinya tanpa satu katapun. Rasanya dia benar-benar merasa lelah akhir-akhir ini.
.
.
.
Dulu ketika dia pulang, akan selalu ada Yashuhiro yang menyambutnya. Tersenyum dan menuntunnya ke dalam untuk segera menyantap makan malamnya. Seberapa banyak pekerjaan serabutan yang diambil, Yashuhiro akan selalu menyempatkan banyak waktu untuk menemani dirinya. Namun setelah Kyosuke pergi, hari-hari yang mereka habiskan bersama pun juga ikut pergi. Waktu Yashuhiro lebih banyak untuk pekerjaan.
Yashuhiro akan berangkat pagi-pagi sekali. Meski sarapan telah disiapkan, namun kakaknya tidak lagi menemani dirinya di meja makan. Dia tidak lagi mengucapkan 'hati-hati dijalan' atau pun 'selamat datang'. Lalu Yashuhiro akan pulang ketika malam telah larut dengan wajah yang begitu kelelahan. Itu sungguh membuat Hikaru merasa bersalah. Jika saja orang tua mereka masih hidup, akankah kakaknya harus bekerja sekeras itu? Terkadang Hikaru berpikir demikian. Tapi kakaknya bahkan tidak pernah menyinggung satu kalipun tentang orang tua mereka. Hanya Kyosuke lah satu-satunya orang tua bagi Yashuhiro.
"Kau sudah pulang." Sejujurnya itu bukanlah pertanyaan. Yashuhiro menatap Hikaru sekilas dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Lalu kemudian kembali sibuk dengan makanan yang dia pindahkan ke atas piring, "maaf, kakak tidak sempat untuk memasak."
Hikaru sedikit terkejut ketika melihat Yashuhiro tengah menyiapkan makan malam untuknya, "kakak pulang lebih cepat?" Dia merasa bahagia. Namun rasa menggebu itu hanya sebentar singgah ketika mengingat bagaimana kukuhnya sang kakak dalam menghalangi rencana masa depannya.
"Ayo cepat ganti baju dan segeralah makan."
Hikaru segera bergegas menuju kamarnya dan mengganti pakaiannya. Dia akan mandi setelah menyelesaikan makan malamnya. Dia tidak akan melewatkan makan malam dengan kakaknya begitu saja. Terkadang kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya, bukan?
"Bagaimana dengan sekolahmu?"
Baru sesuap Hikaru memakan kari di depannya dan kakaknya telah menghancurkan suasana hatinya untuk makan. Dia meletakkan sendok di tangannya ke atas piring dan menatap kakaknya dengan datar.
"Aku akan tetap mengikuti ujian masuk ke SMA Jokyu."
"Hikaru-kun!"
Hikaru tahu bahwa kakaknya tidak akan setuju dengan keputusannya. Dia tahu bahwa kakaknya tidak menyukai sekolah asrama. Jika saja Yashuhiro mengatakan alasan atas ketidak-sukaannya terhadap sekolah asrama, mungkin Hikaru bisa mempertimbangkan keputusannya dan menerima saran Yashuhiro. Namun seberapa gigih dia mencoba mencari tahu akan hal itu, Yashuhiro akan semakin bungkam. Dan Hikaru menganggap hal itu hanyalah keegoisan Yashuhiro.
"Bukankah sudah kubilang bahwa SMA AoShita lebih bagus?" Nada bicara Yashuhiro hampir bergetar, seakan ada ketakutan di dalamnya.
"Jika aku bisa masuk ke SMA Jokyu, semua akan lebih mudah untukku dalam menentukan karir masa depanku."
"Kau pikir semua akan sesuai yang kau rencanakan?" Yashuhiro hampir berteriak, namun suara sendok yang diletakkan secara kasar di atas meja terdengar lebih keras. "Apa yang kau pikirkan? Apa kau sudah melewati masa kedewasaanmu? Apa kau berpikir bahwa kau akan berakhir sebagai Alpha? Apa yang akan terjadi jika ternyata kau seorang omega?"
Untuk sesaat Hikaru menahan nafas. Pada akhirnya dia mengetahui tentang ketakutan Yashuhiro. Dia tahu Yashuhiro begitu menyayangi dirinya. Pria itu bahkan menghabiskan seluruh hidupnya untuk menjaga Hikaru. Tapi Hikaru mempunyai pemikiran lain. Jika dia tetap bertahan pada garis aman, pada akhirnya dia akan berakhir seperti kakaknya dan tidak akan pernah bisa membuat kakaknya hidup dengan nyaman.
"Aku belajar dengan keras agar bisa masuk ke sekolah yang bagus. Semua demi kakak. Tapi kakak tidak mencoba untuk sekalipun merasa bahagia."
"Apa aku harus bahagia ketika melihat satu-satunya orang yang kusayangi berakhir di tempat para Alpha?" Yashuhiro mulai melepaskan sendok di tangannya. Rasa lapar perlahan menguap ketika emosi menguasai dirinya.
"Jika pada akhirnya aku adalah Omega, aku akan keluar dari sana dan pindah ke sekolah pilihan kakak."
"Kau akan pindah? Bagaimana kau akan melakukannya?" Yashuhiro tidak dapat berdamai dan mengakhiri perdebatan itu, "Apa kau berpikir bahwa para Alpha akan menolongmu ketika masa kedewasaanmu tiba? Coba kau pikirkan. Alpha mana yang akan menolak Omega yang mengalami heat untuk pertama kalinya?"
Hikaru menahan nafas tanpa sadar. Dia tidak pernah memikirkan hal tersebut sampai sejauh pemikiran kakaknya. Namun Hikaru tetap tidak akan merubah keputusannya ketika peluang masih menunjukkan setengah dari seratus. Dia belum tentu seorang Omega.
"Apakah salah jika aku berharap kita akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak?"
Hikaru dapat melihat mata kakaknya melebar ketika mendengar sepenggal kalimat itu. Dia benar-benar tidak berpikir bahwa dia akan mengatakan hal itu.
"Seperti itu kah kau melihat apa yang telah kulakukan untukmu?" suara itu bahkan lebih bergetar lagi. Yashuhiro terdiam untuk beberapa saat sampai ketika matanya benar-benar telah memerah, "maaf jika kau harus hidup seperti ini, sementara kedua paman dan kakekmu adalah orang kaya."
Mata Hikaru melebar mendengar hal itu, "a-apa maksud kakak?"
"Kita bukanlah saudara. Aku membawamu lari ketika tidak ada satupun dari keluargamu yang mengharapkan keberadaanmu." Yashuhiro menatap pemuda di depannya dengan rasa penyesalan, "jadi, aku membebaskanmu sekarang. Kau bisa pergi mencari keluarga yang bisa memberikanmu kehidupan yang layak.
Hikaru tidak bisa untuk tidak lebih terkejut. Kakaknya, satu-satunya orang yang amat dia sayangi telah mengatakan kalimat yang bearti bahwa dia telah diusir dari rumah. Rasanya sungguh menyakitkan ketika kau tahu bahwa orang yang menyayangimu dengan tulus bukanlah keluargamu.