'Akan ada pertemuan dengan Takaki Seiya.'
Masaki mengingat kembali perkataan Hideaki tentang jadwalnya untuk beberapa hari lagi. Bertemu dengan Seiya adalah hal yang selalu dia hindari. Dia tidak tahu kenapa, namun dia kurang menyukai tatapan kebencian yang terpancar dari mata dingin itu. Seakan bagaimana Seiya ingin melampiaskan kekesalannya kepada Masaki. Dia tidak mengerti untuk apa amarah itu. Pertama kali mereka bertemu ketika sedang menghadiri upacara pemakaman Takaki Yashuhiro, putra bungsu dari Takaki Shouhei. Dan setelahnya mereka sering kali bertemu hanya dalam urusan bisnis keluarga mereka, tidak lama setelah Masaki telah mengambil alih perusahaan keluarganya.
Masaki menaikkan kaca mobilnya ketika rintik hujan mulai turun. Pikirannya mulai jatuh kembali akan Takaki.
Enam belas tahun yang lalu, ketika itu gerimis mengguyur saat upacara pemakaman Takaki Yashuhiro. Tidak banyak yang datang kecuali teman sekelasnya yang baru saja dikenalnya selama hampir setahunan dan sisanya para rekan bisnis ayahnya. Bocah itu penyendiri dan sering kali takut untuk berbaur. Dia hanya akan menghabiskan waktu luangnya di kamar Asrama. Masaki masih mengingat jelas bagaimana semua orang yang hadir tidak diijinkan untuk melihat wajahnya untuk terakhir kali. Keluarganya mengatakan jika hampir seluruh tubuh bocah itu hancur.
Lalu, bagaimana bisa Masaki masih berharap bahwa Takaki masih hidup? Selama bertahun-tahun dia terus mencari jawaban itu. Berharap bahwa tubuh dalam peti itu bukanlah milik orang yang dia sayangi. Berharap bahwa Takaki masih menatap langit yang sama di sebuah tempat lain. Terus berharap bahwa hari itu Takaki tidak pernah menaiki pesawat meninggalkan Jepang.
Tapi, bukankah itu hanyalah harapan semu? Dia bahkan masih ingat bagaimana Takaki Shouhei terlihat putus asa dan tidak berdaya di depan peti mati anaknya? Ekspresi itu seakan menjelma menjadi anak panah yang mengoyak harapannya.
Masaki menghela nafas dan memalingkan wajahnya. Sejenak dia seakan melihat Takaki ketika berusia enam belas tahun tengah berjalan di sebarang jalan. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat sebelum akhirnya memompa lebih cepat. Tanpa pikir panjang dia segera meminta sopirnya untuk menghentikan mobil. Dia membuka pintu mobilnya dan mengabaikan hujan yang mulai turun agak deras. Dia melihat ke kiri dan kanan sebelum akhirnya berlari menyeberangi jalan. Di depannya, seorang pemuda tengah berjalan dengan lunglai dengan kaos tipis pendek dan celana bahan.
Langkah Masaki melemah ketika dia hanya mendapati orang lain yang tengah berjalan menjauh darinya. Masaki menelan ludahnya dengan getir. Pemuda itu bukanlah Takaki Yashuhiro.
"Rin?" Masaki menatap tubuh itu dengan ragu. Pemuda itu tidak menoleh ataupun mengatakan sepatah katapun. Seakan dia hanyalah tubuh kosong tanpa jiwa yang tengah berjalan tanpa tujuan.
Masaki berjalan agak cepat mengikuti langkah pemuda itu. Dia mengerjap ketika air hujan tidak sengaja mengalir ke matanya.
"Rin!" Masaki menarik lengan pemuda itu hingga langkahnya terhenti. Namun tidak ada jawaban. Pemuda itu hanya diam dan menatap Masaki dengan kosong. Wajahnya begitu putus asa seakan seseorang telah menghancurkan hatinya. Benar-benar hancur dan sulit untuk disatukan.
"Apa yang terjadi?" Rasa khawatir bercampur dengan rasa penasaran menjadi satu teraduk memenuhi pikiran Masaki. Dia tidak pernah melihat Hikaru sehancur itu. Bahkan jika teman-temannya melecehkannya dan menghinanya tanpa ampun, dia tetap mampu berdiri dengan tegak. Tapi kali ini?
"Apa yang terjadi?"
Hikaru masih diam. Masaki dapat merasakan betapa dingin lengan yang ada dalam genggamannya itu. Dia agak ragu jika Hikaru membiarkan tubuhnya kehujanan sepanjang jalan.
"Hei, Harada-san ..." Hikaru berkata sembari mendongak dan menatap wajah Masaki.
Masaki terkejut. Dia benar-benar belum pernah melihat mata yang selalu menatapnya kesal itu kini memperlihatkan bagaimana hatinya terluka dengan parah.
"Katakan bahwa itu bohong."
"Apa yang terjadi?" Alih-alih menjawab, Masaki semakin merasakan perasaan tidak enak mendesak ingin keluar.
"Hei, Harada-san ..."
Masaki tidak tahu apakah air di pipi Hikaru adalah air mata atau hanya air hujan yang tidak henti jatuh. Namun mata indah itu kini terlihat seakan pemiliknya begitu kesakitan.
"Bagaimana bisa dia berkata bahwa aku adalah anak yang tidak diharapakan?"
Masaki tidak dapat mengatakan sepatah katapun ketika bibirnya terbuka hanya untuk menerima kalimat itu.
"Rin, sebaiknya kita pulang."
"Pulang? Kemana aku akan pulang?"
Masaki menutup mata, dia tidak mampu melihat ekspresi putus asa di depannya. Suara yang terdengar seakan ingin menjerit.
"Setelah 16 tahun merawatku, bagaimana bisa dia mengatakan bahwa aku bukan adiknya?" Hikaru melepaskan lengannya dan kemudian mencengkeram kemeja yang melekat di lengan Masaki, "Tidakkah itu jahat? Dia mengusirku dan mengatakan hal sekejam itu hanya karena aku tidak menjadi anak penurut."
"Rin, sebaiknya ikut aku pulang dan tenangkan dirimu."
Masaki semakin khawatir melihat Hikaru tidak meresponnya. Dia melepaskan lengannya dan menarik bahu Hikaru ketika pemuda itu hampir jatuh. Dia menggendong pemuda itu dan membawanya ke dalam mobilnya yang masih terparkir di seberang jalan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkin setelah ini, pekerjaannya akan bertambah.
.
.
.
Hanya Hipotermia
Itu adalah kalimat yang Masaki dengar ketika dokter telah selesai memeriksa Hikaru. Seharusnya dia tidak akan merasa begitu cemas jika Hikaru hanya mengalami Hipotermia. Namun pemuda itu tidak juga kunjung membuka mata, meskipun Masaki telah menyalakan penghangat ruangan. Dia bahkan juga telah memberikan banyak selimut tebal untuk membalut tubuh Hikaru agar kembali menghangat.
Masaki menutup mata. Dia tidak pernah berpikir bahwa selama ini tidak ada satupun tentang Hikaru yang dia ketahui. Seharusnya saat ini Masaki menghubungi kakak Hikaru, namun kenyataanya dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya. Dia tidak tahu siapa nama kakak Hikaru, alamat bahkan nomor yang bisa dihubungi. Meskipun hubungan keduanya sedang merengggang, namun tidak menutup kemungkinan bahwa seorang kakak di luar sana tengah mencari adiknya.
Masaki menghela nafas lalu bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke arah lemari dan mengambil selimut lainnya. Lalu keluar dari kamarnya. Ada baiknya jika dia tidur di ruang tamu untuk malam ini.
.
.
.
"Hiro-kun?"
Hana terkejut ketika melihat Yashuhiro dalam keadaan kacau. Kedua matanya bengkak dan wajahnya terlihat pucat. Dia tidak akan bertanya lebih lanjut. Dia tahu bahwa pria itu tidak tidur semalaman dan hanya memikirkan tentang adiknya. Hujan turun dengan deras semalaman. Bagaimana bisa Yashuhiro tidur dengan nyenyak?
"Kupikir lebih baik kau istirahat." Hana menaruh segelas air hangat di atas meja yang terletak di samping tempat tidur, "aku akan menghubungi tempat kerjamu."
"Tidak perlu." Yashuhiro berkata dengan pelan. Dia menyeka wajahnya dan melanjutkan kalimatnya, "aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari sana."
Meski Hana tahu bahwa Yashuhiro tidak bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak enak, namun kenyataan berkata sebaliknya. Dia sadar bahwa tidak seharusnya pria itu terjebak di tempat itu. Anda saja dia mempunyai banyak uang untuk melunasi hutang ayahnya, dia tidak akan membiarkan Yashuhiro menghabiskan waktu dan tenaganya di tempat itu. Tapi dia tidak mampu melakukan apapun agar Yashuhiro tidak terseret ke dalam masalah itu.
"Maaf!" tanpa sadar kata itu keluar dari bibir Hana yang sedikit bergetar.
Seketika itu dia dapat melihat raut wajah Yashuhiro berubah menjadi seakan menyesal.