Chereads / Coincidence 7.1 / Chapter 2 - Chapter 2: Genesis

Chapter 2 - Chapter 2: Genesis

Hmm? Apa yang terjadi? Dimana aku? Samar-samar, kubuka mataku dan melihat jalanan yang tak asing. Aku terduduk di aspal jalanan dan dikelilingi kerumunan orang.

"Akhirnya, kau sadar! Kenapa kau bisa tertidur di pinggir jalan, nak?"ujar seorang nenek di hadapanku. "A...aku,"ucapku terbata-bata. "Kau baik-baik saja? Bisa berdiri?"tanya seorang polisi sembari mengulurkan tangan.

"Mungkin segelas teh manis akan membantunya,"kata seorang ibu yang memegang gelas berisi teh hangat. "Siapa namamu, nak? Apa kau hilang?"tanya polisi itu lagi.

Apa maksudnya? Aku bahkan tau siapa namamu, pak. Pak Johan, polisi di jalan Vega, Oma Vina, dan bu Tari yang biasa menjual minuman di jalan Vega. Aku kenal kalian semua, tapi mengapa tidak ada seorangpun yang mengingatku?

"Bisakah bapak tunjukkan jalan ke Perumahan Melati?"tanyaku pada Pak Johan, polisi yang seharusnya mengenalku. "Tentu saja, nak. Menolong orang adalah tugasku."katanya sembari tersenyum. "Baiklah, bapak ibu sekalian boleh membubarkan diri! Saya akan mengantar anak ini pulang!"teriak Pak Johan.

Orang-orang kembali ke kesibukan mereka masing-masing dan meninggalkanku dan Pak Johan. "Baiklah, nak. Ayo kita berangkat!"katanya dengan penuh semangat.

"Perumahan Melati tak jauh dari sini, aku penasaran, mengapa kau bisa ada di tepi jalan dalam kondisi tertidur?"tanyanya sembari berjalan menemaniku. "Aku pun tak tahu, pak."kataku sembari menunduk.

"Hmm...mungkin kau diculik atau tersesat lalu kelelahan?"tanya Pak Johan. "Mungkin,"jawabku singkat. Seandainya kau tau pak, kalau aku mengenalmu sejak lama.

"Permisi, pak. Mau antar anak ilang,"kata Pak Johan menyapa petugas keamanan perumahan. "Silahkan, pa..sebentar,"katanya sembari menatap wajahku. "Kau..."katanya sembari menatapku lekat-lekat. "Heri, ambil hp-mu dan telepon keluarga pak Erza! Bilang padanya, Genesis telah ditemukan!"teriaknya pada petugas keamanan yang lain.

Tak lama, seorang perempuan dan laki-laki datang dengan tergesa-gesa. Perempuan tadi langsung memelukku, sementara lelaki yang datang bersamanya menunduk dan berterimakasih berkali-kali pada Pak Johan.

"Kemana saja kamu, nak? Kami sudah lama mencarimu!"katanya sembari menangis. "Maaf,"kataku sembari melepas pelukannya. "Siapa Anda?"tanyaku padanya. Wajah keduanya terlihat shock, hal yang sama terjadi pada wajah kedua petugas keamanan.

"Apa maksudmu, Genesis? Ini aku, Martha, ibumu!"katanya sembari menangis. "Genesis, apa maksud dari pertanyaanmu? Kau tak mengenali ibumu sendiri?"tanya lelaki tadi sembari menenangkan sang perempuan.

"Tidak, aku tak mengenal kalian berdua. Nama ibuku bukanlah Martha, dan kau bukanlah ayahku. Akulah yang seharusnya bertanya apa maksud kalian mengaku-ngaku sebagai orangtuaku?"tanyaku sembari menjaga jarak.

"Jaga ucapanmu, Genesis! Aku tak ingat pernah mengajarimu untuk berbicara tak sopan pada orangtua!"hardiknya. Tapi, aku tetap tak bergeming, tidak tak sedikitpun. Aku tak takut dengan hardikannya, karena dia bukan siapa-siapa bagiku.

"Pak Johan, terimakasih telah mengantarku kemari. Sejujurnya, aku mengenalmu dengan baik, namun entah mengapa kau tidak mengenaliku sama sekali. Kurasa sekarang aku tahu kenapa aku ditemukan di pinggir jalan,"kataku sembari berjalan pergi.

"Aku tidak ingin berada dalam kediaman kepalsuan,"kataku sembari tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun. "Apa yang kau lakukan, Heri? Kenapa kau diam saja? Kejar dia!"teriak sang petugas keamanan.

"Ba...baik, pak!"katanya sembari berlari. Genesis perlahan menghilang, wujudnya berubah menjadi kabut, dan tak lama, ia hilang sepenuhnya.

Sang ayah memucat, dan wajah sang ibu berubah menjadi sesosok manusia bertopeng. "Anomali ditemukan di distrik 3, subjek, Genesis."katanya pelan. "Kalian telah gagal menjalankan tugas, selamat tinggal."kata sosok bertopeng itu sembari melangkah pergi.

"Tunggu, tuan! Beri kami satu kesempatan lagi!"teriak sang lelaki. "Benar, ampuni nyawa kami, tuan!"teriak sang petugas keamanan. "Keputusan tidak berada di tanganku dan kebetulan, anomali yang sama terjadi di beberapa tempat. Jadi, kurasa tak akan ada pengampunan kali ini,"kata sosok bertopeng sembari memegang dagunya. "Adios,"katanya sembari menghilang.

"Tidak...tidak!!!"teriak mereka bertiga seraya tubuh mereka menghilang perlahan-lahan hingga tak berbekas. Hanya ada dunia putih, tanpa apapun di dalamnya, seolah-olah memang tak ada apapun di dalam sana dan memang begitu sedari awal. Semua eksistensi hilang begitu saja. Lenyap, tanpa sisa.

—————————————————————

Aku harus mencari seseorang yang sama denganku, pasti ada diantara sekian banyak orang di sini.

"Dan itulah kisahku sebelum aku memulai kelompok ini. Kelompok dimana orang-orang yang sadar dan ingat tentang siapa dirinya yang sebenarnya berkumpul, the Conscious."kata sang perempuan.

"Jadi, kau dan orang-orang yang ada di sini, sama denganku?"tanya Zalm. Perempuan itu mengangguk. "Tapi, aku masih tak mengerti semua ini. Dimana ini, apa kita bermimpi? Atau ini dunia nyata yang berubah drastis dalam semalam?"tanya Zalm lagi.

"Jawaban dari kedua pertanyaanmu adalah, ya. Asumsimu benar untuk keduanya,"kata perempuan itu.

"Apa maksudmu?"tanya Zalm tak mengerti. "Kau tahu istilah Lucid Dreams?"tanya perempuan itu. "Ya...maksudmu..."balas Zalm seolah ia mengerti apa yang dimaksudkan. "Ya, kita sedang berada dalam kondisi seperti itu, setidaknya itu yang ku tahu,"

"Tapi, bagaimana bisa mimpi semua orang terhubung?"tanya Zalm lagi. "Untuk masalah itu, aku belum tahu caranya, yang jelas ada seseorang yang bermain-main dengan kesadaran kita. Maksud dan tujuannya? Tidak jelas,"jawab sang perempuan.

"Yang kutahu, mereka bermain-main dengan apa yang dinamakan 'kebetulan'."lanjutnya. "Aku masih tak mengerti maksudmu,"kata Zalm. "Semenjak kau tersadar, berapa banyak kebetulan yang sudah kau alami?"tanya perempuan itu.

Zalm terkesiap, pertemuan dengan teman lamanya di sekolah, yang seharusnya tak ada di duia nyata, kenyataan bahwa ia juga sadar sepenuhnya dan ingat tentang identitas dirinya, bagaimana mereka bertemu dengan seseorang yang seperti mereka dan membawa mereka kemari.

"Kau bilang, semua kebetulan itu diatur oleh mereka?"tanya Zalm tidak percaya. "Kau sebut itu kebetulan, aku lebih suka menyebutnya takdir."balas perempuan itu. "Kebetulan bukanlah sebuah kebetulan jika itu direncanakan!"kata Zalm lagi.

"Tepat. Mereka bermain-main dengan pikiran kita, dan mereka bermain-main dengan takdir. Seolah-olah merekalah 'Tuhan' atas kita."kata perempuan itu lagi.

"Satu hal lagi, kau sudah pernah bertemu dengan 'general'?"tanya sang perempuan. "Siapa?"tanya Zalm. "General, mereka adalah orang yang berbeda dengan kebanyakan orang. Perbedaan mereka bisa dilihat dari fisiknya dan kehadirannya yang membuat setiap orang bergidik."

Zalm teringat bagaimana ia kehilangan kesadaran untuk kedua kalinya. "Sepertinya, aku pernah."katanya sembari mengingat bagaimana ia dicekik di hari pertamanya di sekolah. "Ada 7 general atau jendral di sini. Mereka tak punya nama. Aku bertemu dengan sosok bertopeng dimana di topengnya terdapat angka dua. Bagaimana denganmu?"

"Angka?" Zalm berpikir sejenak. "Ah! Kurasa aku melihatnya di dahinya! Angka 6 kecil di sudut dahinya! Kukira itu hanya tato biasa," Perempuan itu tersenyum. "Baiklah, kita sudah menemukan tiga,"katanya lagi.

"Tim kami terdiri dari 5 orang yang memiliki fungsinya masing-masing. Selama kita bersama, kita aman, kami menyambutmu ke dalam tim..."kata perempuan itu sembari menjulurkan tangan. "Zalm,"kata Zalm sembari menyambut uluran tangannya. "Aku tahu kau berbohong, katakan saja namamu yang sesungguhnya,"

Zalm terlihat ragu, namun akhirnya mengatakannya juga. "Libero, panggil saja Ibe." Perempuan itu menggenggam erat tangannya, "Selamat bergabung, Ibe!"katanya lagi dengan keras.

—————————————————————

"Fufufufufu...mereka sudah bertemu rupanya,"kata seorang perempuan sembari menatap layar. "Apa yang kau lihat, enam?"tanya seseorang dari belakang. "Bukan apa-apa, hanya sekelompok orang yang menyangka mereka aman dari kita,"

"Itu bodoh, kau membuang-buang waktumu untuk melihat kebodohan mereka,"kata seseorang itu lagi. "Tidak juga, mengawasi mereka bisa menjadi keuntunganku di kemudian hari."

"Mereka takkan tahu bahwa serigala pun bisa mengembik seperti domba,"