Genesis berjalan kesana kemari, ia terlihat frustasi. Bagaimana mungkin mereka mengetahui keberadaan kami? Zen sudah memastikan berkali-kali bahwa tempat ini adalah daerah titik buta! Kecuali...Genesis terkesiap. Ia mengambil handy-talkienya, "Zen, aku minta kau periksa tempat ini sekarang,"
"Baik,"balas Zen dari luar gedung. Zen memandang sekelilingnya. Matahari sebentar lagi bergerak, semuanya akan terlihat sebentar lagi. Ia memandang langit, kemudian memandang perkotaan yang terbentang di hadapannya. Ada yang aneh. Zen melihat jam tangannya. Seharusnya, sebentar lagi, katanya dalam hati.
Lokasi titik buta berbentuk lingkaran dengan radius 2 km. Semua bangunan yang berada dalam titik buta tidak memiliki bayangan. Dan titik buta berpindah setiap 7 minggu. Yang artinya, seharusnya markas kita masih belum terlihat. Sekarang, aku lebih penasaran tentang darimana Genesis mendapat semua informasi itu?
Zen mengambil walkie-talkienya. "Genesis, aku tidak melihat adanya keanehan dari markas kita. Aku akan pergi ke tempat lain untuk melihat keseluruhan kota ini," Bzzt! "Baiklah,"balas Genesis. "Jangan lupa untuk mengaktifkan pelacakmu agar keberadaanmu diketahui markas."sambungnya lagi.
"Baik,"kata Zen sembari menekan pin-nya. Zen berlari dan melewati gang-gang kecil dan sampai di persimpangan jalan. Hawkeye Security Corp. terlihat dalam pandangannya. Sebentar lagi, katanya sembari terus berlari. Hawkeye Security Corp. adalah titik terluar dari zona titik buta. Ia hanya perlu berlari sedikit lebih jauh, dan ia akan sampai di tempat dimana semua bayangan terli…
Apa maksudnya ini? tanya Zen dalam hati. Ia terus berlari melewati gang demi gang dan sampai hingga ke zona Abyss(daerah dimana semuanya terlihat putih, tidak ada apapun di sana hanya tempat kosong yang tidak berujung). Bzzt! Zen menghidupkan walkie talkienya. "Cek, satu."katanya sembari terus berlari.
Aku terlalu jauh, aku harus segera kembali, setidaknya, hingga walkie talkie ini bisa berfungsi. Zen terus berlari melewati gang demi gang. Hawkeye Security Corp. kembali terlihat. Baru saja ia melewati perusahaan itu, kabut terlihat memenuhi pandangannya dan sesosok bayangan terlihat mendekatinya.
Bzzt! Zen menekan tombol walkie talkienya. "Genesis, dengarkan aku. Ini mungkin akan menjadi pesan terakhirku."katanya sembari mengambil senapannya. Bzzt! "Katakanlah,"jawab sebuah suara. "Semua bayangan hilang dari kota, kuulangi, semua bayangan."kata Zen lagi. Sosok tersebut perlahan mendekat, dan kini, Zen tahu dengan jelas siapa yang dihadapinya.
"Kembali ke markas, sekarang juga Zen, aku tak menger..."
"Maaf, Genesis."katanya memotong pembicaraan. "Kurasa kali ini, tak bisa,"katanya sembari melempar walkie-talkienya ke lantai dan menginjaknya hingga hancur. Dari balik kabut, sesosok anak perempuan muncul dengan memegang tangan bonekanya. Di pipinya, sebuah angka tertulis dengan tinta hitam. Tujuh, sosok yang familier dalam ingatan Zen.
"Sudah selesai?"kata nomor tujuh sembari menggosok matanya. "Sudah,"kata Zen sembari mengangguk. Ia melihat Zen dengan tatapan kosong, tanpa ekspresi. Ia memandang walkie talkie yang hancur di bawah kaki Zen. "Tentu kau tahu, bahwa kami bisa mendengar semua percakapan kalian," Zen mengangguk. "Hanya tindakan preventif,"jawabnya. "Yang tak berguna,"sambung nomor tujuh.
Nomor tujuh mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Zen. Asap kehijauan terlihat mengelilingi mereka. "Kau ...akan tertidur ...dalam beberapa detik,"katanya. Zen menahan napasnya dan memakai masker dari dalam tasnya. "Aku tak akan melukaimu ...jika kau mau bekerja sama,"katanya lagi tanpa ekspresi. "Mohon ...kerjasamanya,"katanya sembari menunduk. "Kerjasama, huh? Ini ...lebih seperti... pemaksaan secara halus,"kata Zen yang sudah terkapar di lantai.
Seharusnya…aku tahu…bahwa ini tidak akan cukup…untuk menghadapi…kabut asapnya, pikirnya. Nomor tujuh mendekatinya dan menyadari ia tak bisa bergerak. "Apa yang kau lakukan?"tanyanya sembari mencoba menggerakan jemarinya. "Hanya…racun,"kata Zen sembari tersenyum.
"Racun?"tanyanya dengan kebingungan. "Kau…pasti tak menyadari…kapan aku…melakukannya, bukan?"tanya Zen sembari menjaga dirinya agar tetap sadar. Nomor tujuh menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang dimanapun, katanya dalam hati. Darimana? pikirnya. "Kcart…"ucapnya. Sebuah benang putih keluar dari tangannya dan melacak jejak darimana racun tersebut berasal.
"Ini…"kata nomor tujuh sembari melihat ke walkie talkie yang sudah dihancurkan. "Tepat…dalam walkie talkie…ku simpan...kelemahan para 'general',"katanya lagi. "Kalian…tak menyangka-nya…bukan begitu?"katanya sebelum akhirnya ia tertidur.
—————————————————————
"Dia sudah bangun,"kata seseorang. Siapa? Genesis memandang sekelilingnya, buram, hanya ada bayang-bayang dari sosok manusia yang tak jelas wajahnya.
"Dia belum sadar sepenuhnya, mungkin beberapa jam atau hari lagi,"kata seseorang dari sebelah kiri. "Tinggalkan saja, professor, aku yang akan mengurusnya,"katanya lagi. "Ya, baiklah, aku hanya akan menyapanya sebentar."kata seseorang dari sebelah kanan.
"Hei, akhirnya kau bangun juga ya? Mulai saat ini, namamu Genesis..."
"Genesis! Koordinat terakhir Zen telah ditemukan! Bersamaan dengan kode yang dikirim Zen sebelum komunikasi dengannya terputus!"kata Tech.
Genesis tersentak, tersadar dari lamunannya. "Biar kulihat!"katanya sembari mendekat menuju komputer. "Lele? Apa maksudnya?" Tech mengangkat bahu, tanda bahwa ia pun tak mengerti.
"Koordinat terakhirnya?"tanya Genesis. "L'Ele Hotel, sebuah hotel yang tak jauh dari sini,"jawabnya.
"Kau yakin kau tak mengetahui apapun, Tech?"tanya Cyan tiba-tiba. Tech menggeleng, wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun, seperti biasa. "Baiklah,"kata Cyan sembari menghela napas.
"Salah satu dari kita harus pergi ke L'Ele Hotel, siapa tau ada petunjuk di sana,"kata Genesis. "Aku akan melakukannya,"kata Agnis. "Siapa tahu ini ada hubungannya dengan hilangnya Libero."katanya dengan memandang tajam ke arah Genesis.
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang. Eldric, berikan dia peralatan runner yang biasa dipakai Zen." Eldric mengangguk dan mengarahkan Agnis untuk mengikutinya.
"Kau tau, Genesis. Aku belum percaya padamu sepenuhnya."katanya sembari berlalu. "Aku tahu,"kata Genesis sembari menyilangkan tangannya, kemudian berbalik.
—————————————————————
Duak! Sebuah hantaman keras melayang dari tangan mungil nomor tujuh. "Bangun."katanya tanpa ekspresi. Zen memegangi perutnya sembari mengerang kesakitan. "Aww, sungguh sambutan yang kasar," Zen terbangun dan menyadari dirinya berada dalam sebuah ruangan dengan layar monitor yang besar. "Akhirnya, aku kembali,"katanya sembari memandang kedua tangannya.
"Aku tak akan membangunkanmu... jika kau pintar,"katanya lagi. Ia menekan sebuah tombol dan dari layar tersebut, terlihat Agnis, seorang diri berada di depan bangunan Ale Hotel. "Kenapa dia bisa ada disana? Aku bahkan tak pernah ke sana!"katanya dengan nada bingung. "Temanmu ...bahkan tak menyadari ...siapa yang menjadi ...pengkhianat di antara mereka*(tanda bintang menandakan percakapan dalam bahasa Abrup, bahasa kuno yang hanya dimengerti oleh beberapa orang)"
"Kau, kau bisa berbicara dalam bahasa burrgh..." Nomor tujuh mengikat mulut Zen dengan sulur tanaman sebelum ia sempat menghabiskan perkataannya. "Perhatikan mulutmu ...jika kau mau berbicara dengan nyaman.*"
Zen mengangguk. "Teman-temanmu...sedang mengarah ke tempat yang sesuai dengan rencana nomor dua. Begitu mereka sampai ke sana ... .... ....*"
Zen terbelalak. "Itu tak mungkin! Aku sudah mengirimkan kode yang mudah dipecahkan oleh...oh tidak*" Sekarang, semuanya jelas. Mengapa markas mereka ditemukan, mengapa keberadaan Zen pun ditemukan.
"Dugaanmu...tepat. Temanmu... yang membaca pesan itu... pertama kali...dia berkhianat*..."