Entah berapa lama aku berenang dalam samudera gelap perjalanan, terombang-ambing dihempas dahsyat. Tersadar, aku melihat seorang lelaki dengan tatapan yang lembut menyapa. Rupanya selama aku pingsan, lelaki itu lah yang telah menolongku.
Kudapati aku tengah terbaring diatas dipan berlapis busa empuk, di dalam ruangan sederhana yang sejuk, dan dipenuhi dengan wadah-wadah berisi sesuatu, yang kufikir itu adalah ramuan obat.
Dalam hatiku bertanya-tanya, jangan-jangan dialah pangeran itu. Sebab, pertama kali kubuka mataku, aku sudah merasakan aura kedamaian. Hatiku terasa lebih tenang.
"Apakah Tuan seorang pangeran?" tanyaku.
Sebelum menjawab, ia tersenyum sambil mengamati kondisi tubuhku yang penuh luka.
"Bukan" jawabnya.
"Berapa lama Saya pingsan?"
"Cukup lama"
"Saya sakit," kataku.
Ia mengangguk, tangannya memberi isyarat agar aku mengijinkannya untuk memeriksa mataku.
Aku mengijinkannya, dan sempat kulihat sorot matanya yang tajam seakan menusuk bola mataku. Ada perasaan aneh menyelimuti jiwa ragaku. Dingin! Seperti tetesan embun pagi hari yang menyentuh kulit.
Mendadak ia menghembuskan nafas, mendesah seakan melepaskan beban yang menyesakkan dadanya.
"Saya tidak bisa menyembuhkanmu. Racun yang ada padamu akan melemaskan saya jika menyentuhmu, dan saya bisa mati karenanya!" Katanya
"Separah itukah?" tanyaku sambil menahan sesak dadaku.
Akhirnya, tanpa bisa dibendung, air mata bening pun mengalir membasahi pipiku.
"Saya tidak punya penawarnya dan saya tidak mampu menyembuhkanmu!"
Kulihat lagi ia menghela nafas panjang. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan tersimpuh disisi pembaringanku. Nyaris ia terjatuh jika tangannya tak tersangga meja di dekat kepalaku. Dahinya berkerut dan berkeringat, ia nampak menahan sakit. Racun pada tubuhku merasuk laju ketika menyentuh tubuhku yang sakit.
Tak lama, dari mata dan mulutnya mengalir darah tipis. Dalam hatiku bergejolak, rasa takut kembali menyelimutiku. Aku takut…..Aku takut…. Aku takut tak bisa sembuh.
"Tolonglah, Tuan…. Saya ingin sembuh!" suaraku terdengar lirih
"Saya sangat ingin menyembuhkanmu, tetapi tidakkah kau lihat, kedatanganmu ke tempat ini pun sudah melemahkan saya, Tidak banyak yang bisa saya lakukan, hanya sekedar membantumu untuk bisa berdiri, bukan menyembuhkanmu…" katanya, "Saya seorang tabib, tapi untuk kasusmu Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya bisa mati bila mengobatimu. Kamu hanya bisa disembuhkan oleh seseorang yang jika kau menatap matanya, kepalamu akan tertunduk. Ia memiliki sebuah cincin emas dengan ukiran kalimat mantera, yang jika kau membacanya hatimu akan diselimuti kesejukan, mengusir semua racun dalam tubuhmu."
Aku menangis terisak sembari menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Aku bingung. Kurasakan tulang-tulangku retak, aku bermandikan darah! Aku kehabisan nafas, tubuhku bergetar...Aku menjerit, nyaliku mengkerdil, takut beradu kalut. Akankah aku mati disini??? Akankah Malaikat Maut menjemputku di sini?
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan tangan tabib itu lembut membelai kepalaku. Aneh, setiap sentuhannya seperti mengangkat satu-persatu rasa sakit yang menderaku. Oh,… aku merasa mendapatkan mukzizat, aku seperti hidup kembali. Perlahan aku menurunkan kedua telapak tanganku dan melihat betapa tabib itu semakin menderita setiap kali membelaiku.
"Tuan, Saya merasakan kesembuhan!" pekikku. "Kau pastilah pangeran itu!"
Si tabib tersenyum, tapi senyuman menahan sakit. Aku menampak darahnya semakin tebal mengalir dari sudut mata dan sela bibirnya. Ya Tuhan, mengapa demi aku, ia rela memindahkan sakitku padanya. Tapi aku seakan tak perduli dengan apa yang dialaminya. Sebab, aku merasa jiwaku terbebas dari jeratan racun yang memenuhi pori-pori hatiku. Belum pernah hal ini kurasakan sebelumnya. Dialah pangeran itu.
Oh, tidak! Aku tidak boleh begitu. Jangan karena aku, dia menderita. Di belakangnya masih banyak orang yang memerlukannya. Aku tidak boleh mementingkan diriku sendiri. Aku menjerit.
"Cukup Tabib! Cukup!" teriakku." Aku sudah merasa lebih baik sekarang!"