BAB IV SEBUAH PESAN
Sesekali, kupandangi bola Kristal pemberian tabib tatkala penyakitku bertandang kambuh. Desiran hangat pun kembali mengalir dalam tubuhku, begitu lembut, begitu tenang, seperti udara pagi menyapa ramah sang matahari.
Berkali-kali kubaca kalimat-kalimat dalam catatan sang tabib, saat itu sebelum kami berpisah, dia membawaku ke puncak bukit, menunjukkanku arah yang harus kutempuh.
Aku ingat sebelum berkata, Tabib itu menghela nafas panjang, raut mukanya nampak datar tanpa ekspresi. Entah apa yang dalam batinnya. Aku hanya bisa menebak kalau Ia merasa sangat berat melepasku pergi.
"Kau tahu tempat yang kau inginkan?
Saya rasa tidak,...
Tapi jangan bersedih.
Saya akan membawamu ke puncak tertinggi yang Saya mampu
Dari sana Saya akan memintamu melihat tulisan terindah,
tulisan yang tidak pernah kau lihat dan bayangkan sebelumnya..
Jangan kau baca terlebih dahulu,..tapi rasakan dulu di dalam hatimu.
Jangan kau baca di luar kepalamu,...tapi di dalam kepalamu..
Bila tiba masanya,kau akan melihat, Saya tidak akan ada lagi disampingmu,
Tapi Saya dekat denganmu, meskipun juga kau tidak akan merasakannya
Kau akan bahagia, dan Saya pun akan tersenyum...itulah tandanya.
Apa pun yang kau lakukan, jangan pernah merasa terikat budi dengan Saya..
Jangan pernah merasa kau menyakiti Saya...
Jangan pernah merasa kau hina karenanya..
Karena apa? Bukan! Bukan cinta! Tapi sayang.
Seperti yang Saya katakan, Saya akan tersenyum untukmu...Itulah tandanya.
Jangan khawatir Saya tidak akan meninggalkanmu sebelum kau bahagia,
Sebentar lagi, Kau akan turun sendirian dari puncak itu sebagai diri yang lain
Karena disana juga ada kesenangan hingga tiba masanya, kau akan berbuat sama seperti Saya.
Seperti Adam yang diturunkan dari taman kenikmatan
dengan bekal dua pilihan.....
Itulah tandanya.
Bila tiba masanya...."