Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Brownies cokelat

🇮🇩Ptr_WB
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.6k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Sahabat

Aku tengah asik menyantap sarapanku yang lezat buatan ibuku tercinta. Tapi ada sesuatu yang kurang hari ini.

"Maaf aku terlambat." kata Axel.

Axel pun berjalan menuju meja televisi dan mengambil catokkan rambut.

"Cepat, udah di colokin belum ini catokkan?" tanyaku.

"Udah kok Deev."

"Cepat sini." aku mulai menarik-narik kepalanya, Aku kesal dengannya hampir setiap hari aku harus kejar-kejaran dengan waktu agar tidak terlambat sekolah.

Kalian pasti bingung kenapa Axel selalu meminjam catokan di rumahku? Jawabannya karena di rumahnya gak punya catokan.

Hehehehe.... bercanda, Karena Axel gak pernah tau dan memgerti cara menggunakan catokkan ini. Axel mencatok rambutnya karena rambut ikal yang dia miliki, katanya karena rambut itulah kemalangan selalu menimpa hidupnya. Jangan kira masalah hidup yang sering orang lain jalani, ini masalah wanita.

Dia akan sangat sensitif jika berbicara soal cinta, dia sudah di nobatkan sebagai rajanya jomblo di sekolahku.

Aku memiliki celengan babi kecil yang ku letakkan di depan Televisi biasanya, jika aku sudah mencatok rambut Axel. Dia pasti memasukkan uang koin ke dalamnya.

"Ayo..." ajakku

"Tunggu aku Deev."

"Cepat, nanti kita bisa ketinggalan bus. Kalau ketinggalan bakalan susah cari angkutan umum."

Aku bergegas berlari keluar dari gang rumahku, dengan terengah-engah aku terus berlari menuju halte bus dekat lorong rumahku.

"Adeeva... Cepat sekali kamu lari, tunggu aku." teriak Axel membuatku memperlambat langkahku.

Aku berbalik sesaat ke arahnya. "Cepat, ayolah axel kamu tak pernah datang lebih awal. Ini hukuman untukmu ayo cepat."

Aku mempercepat langlahku lagi, halte yang ku tuju sudah terlihat jelas di dapan mata. Bus pun sudah berhenti dan mungkin akan segera berangkat.

"Cepat Axel, bus nya sudah tiba. Cepat nanti ketinggalan."

Dan benar saja, bus nya sudah berjalan sebelum kami sampai di halte.

"Ha... Lihat bus nya sudah pergi." kata Axel terengah.

"Apa?!" aku menatap wajahnya penuh amarah.

"Kamu menapa Deev?" tanya Axel.

"Kamu pikir kenapa!?" tanyaku.

Aku menatapnya dengan penuh amarah, aku kesal sekesal-kesalnya dengan axel.

"Jangan menatapku seperti itu." kata Axel.

Aku terus menatapnya tak berkedip.

"Adeeva jangan membuatku takut."

"Rasanya aku ingim memukulmu Axel." jawabku dengan menghela nafas.

Aku duduk di bangku halte dan menunggu angkutan umum yang lain.

"Maaf." kata Axel.

"Hampir setiap hari seperti ini. Apa kau amnesia kalau jarak rumah dan sekolah kita itu jauh."

"Aku akan berdiri di pinggir jalan, mungkin saja ada teman satu sekolah yang lewat." Axel pun berdiri mulai melihat kiri dan kanan jalan.

"Terserahmu saja. Aku mau jalan kaki saja."

"Jangan begitu." Axel pun berlari mengejar ku.

"Kita cari kendaraan yang bisa kita tumpangi dulu Deev." lanjut Axel.

"Tidak akan ada lagi." aku mulai frustasi.

*Biipp...biipp...*

Tiba-tiba klakson mobil mengagetkan kami, serentak kami menoleh ke arah mobil itu.

"Aarav." teriak Axel dengan penuh semangat.

Axel berlari ke arah mobil itu dan sedikit berbincang ria.

"Mau sampai kapan ngobrol? Ini sudah jam 07.26." aku menunjukkan jam tanganku kepada Axel.

"Maaf, ayo masuk. Kita di ajak aarav naik mobilnya, lumayan kan dapet tebengan hemat ongkos pula." Axel menunjukkan senyum merekahnya.

Dengan sedikit ragu aku mengangguk kan kepalaku dan masuk ke dalam mobil Aarav.

"Apa kamu mengenalnya?" bisik Axel.

Aku menggelengkan kepalaku, memberi isyarat bahwa aku tidak mengenalnya sama sekali.

Tapi, kata Aarav dia pernag melihatmu.

"Kalian ngomongin apa?" tanya Aaarav.

"Gak kok." jawab Axel.

Sesampainya di sekolah...

"Akhirnya sampai, makasih ya Aarav." kata Axel

"Sama-sama." jawabnya sambil berjalan meninggalkan kami di parkiran sekolah.

Aku masih penasaran dengan apa yang di katakan Axel tadi. Dimana Aarav melihatku.

"Deev.." panggil Axel.

"Iya."

"Kamu kenapa?" tanya Axel.

"Gak apa-apa kok."

"Jangan banyak pikiran, kita harus fokus sekolah dan nanti malam harus fokus kerja." kata Axel.

"Iya bawel." jawabku sambil mencubit hidung Axel, lalu berlari menuju kelas.

"Deev, tunggu." Axel berlari menyusulku.

Aku memperlambat langkahku ketika sudah mendekati kelas. Ku lihat Aarav sedang berada di tengah-tengah segerombolan para gadis di kelas.

"Lihatlah." kata Axel.

"Lihat apa." jawabku sambil berjalan memasuki kelas.

"Laki-laki setenar itu kamu bisa tidak mengenalnya?" tanya Axel.

"Mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak mengenalnya."

"Kamu benar-benar tidak perduli dengan apa pun Deev." Axel menarik bangkunya dan meletakkan tasnya di atas meja.

Aku duduk dan mengeluarkan buku-buku ku, aku mulai membuka satu per-satu lembar buku ku. Aku mencari halaman tugasku.

"Xel, halaman berapa tugas kita kemarin." aku menoel-neol bahu Axel dari belakang.

"halaman 55. Makanya kalo tugas ya di bikin di rumah." jawab Axel.

"Yaelah, kamu kayak gak tau aja." aku menekan-nekan tutup pulpen ke bahunya.

Aku kembali membuka lembaran buku ku dan mencari halaman yang tadi di sebutkan Axel.

"Ketemu."

"Ada apa?!" Axel langsung melihatku.

"Gak ada, aku cuma ketemu sama halaman yang tadi kamu bilang." jawabku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Kamu ada-ada saja Deev." Axel lalu memukul meja ku.

Aku tertawa puas melihat ekspresi Axel yang kaget karena teriakan ku.

"Kamu pacaran sama Axel." tanya Hanin teman sebangku ku.

"Gak lah. Aku dan Axel itu teman masa kecil, Axel adalah sahabat terbaikku." aku merekahkan senyum sambil melihat ke arah Axel yang duduk di depanku.

"Yakin gak akan ada rasa?" tanya Hanin lagi.

"Yakinlah, sudah jangan ajak aku ngobrol. Nanti bu Arum udah masuk bisa mati aku." jawabku dan mulai menulis tugas.

"Hehehe, Maaf ya Adee."

Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil terus menulis dan memikirkan jawaban setiap soal yang sedang ku kerjakan.

"Bisa?" tanya Axel.

"Jangan ajak aku bicara." kataku yang masih asik menulis tanpa menoleh ke arahnya.

"Yakin bisa?" tanya Axel lagi.

"Mau ku tusuk pake pulpen?" tanyaku pada Axel sambil menunjukkan pulpen ku.

"Baiklah-baiklah, kalau ada yang gak bisa bilang saja ya. Soalnya bentar lagi jam pertama udah mau mulai." tawar Axel mengingatkanku pada seramnya bu Arum.

"Astaga Axel." aku memegang erat lengannya.

Axel nampak kesakitan karena peganganku pada lengannya sangat kuat.

"Ada apa Deev?" Axel memicingkan mata, menahan rasa sakit.

"Cepat mana tugasmu, biar aku menyalinnya."

"Sudah ku bilang, kamu pura-pura gak mau. Ini cepat salin nanti kalo ketahuan bu Arum bisa-bisa buku ku di bakar." kata Axel mengingatkanku.

"Apa kamu meragukan kecepatan tanganku?"

Aku langsung menulis dan mem-fokuskan pikitanku hanya pada tugas yang sedang ku salin.

Tiba-tiba...