Memandang tangga tangga curam dan sempit yang hanya bisa di lalui satu orang di Caminito del Ray membuatku bergidik ketakutan, nampak di depan kami tebing tebing tinggi yang sangat curam dengan lebar jalan hanya satu meter, sejujurnya ini sangat luar biasa indahnya, seperti seekor elang di puncak tebing di ketinggian seratus lima meter diatas permukaan laut, dengan jarak pandang sangat luas.
Sebelumnya jalan setapak ini pernah ada namun kemudian di rusak oleh para pemanjat, jalan ini kemudian dibangun kembali tiga tahun yang lalu, sekitar tahun 2015, sebelumnya pengunjung harus benar benar rock climbing, menurut pemandu jalan tempat ini sudah banyak menelan korban jiwa, hingga dikenal sebagai jalan paling berbahaya di dunia.
" Are you oke, Jade." Valter tiba tiba berbisik di belakangku, mengaget kan aku dari bayangan ketakutan dan rasa gugup.
" Aku baik baik saja. " sahutku lantang menutupi ketakutanku. Valter memastikan helm ku dalam posisi yang aman.
Joseph dan Liana berbisik bisik saling memeluk sambil menatap ke sisi lain. Mereka kemudian berbalik dan berjalan ke arah kami.
" Jangan bilang kamu ketakutan Jade." Joseph tertawa meledekku.
Mungkin karena wajahku begitu tegang.
" Jangan sampai engkau yang akan berteriak ketakutan nantinya." sahutku gusar.
Valter hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah kami seperti anak kecil. Joseph memang terkadang mengesalkan, bagaimana bisa Liana begitu tergila gila dengan makhluk satu ini, gumanku dalam hati.
Kami berjalan melewati gerbang perlahan menyusuri tepian tebing Caminito del Rey, jalan setapak berupa susunan kayu yang dipagari oleh kawat besi. Kesan pertama memasuki kami sudah di kelilingi oleh pemandangan yang spektakuler, menyusuri jalan setapak yang membawa kami melewati Ngarai Gaitenejo, makin lama jalanan makin tinggi menuju ke arah puncak tebing.
" Lihat Jade, sangat indah. " ucap Valter menunjuk ke arah ngarai.
" Iya, kita tidak akan pernah bisa menikmati nya, jika tidak melewati jalan berbahaya ini. " bisikku sambil memegang erat pinggiran jembatan.
Memandang ke bawah membuatku sedikit mual dan pusing, cukup membuat darahku bergolak, tapi tetap tak ingin melewati keindahan disekitar. Aku memandang para pengunjung lain yang berjalan pelan seperti semut di tebing lain.
Aku bisa melihat terowongan kereta api dari atas ketika memasuki ngarai kedua, dan tiba di tebing Las Palomas, terowongan terbuat dari besi di sebuah jembatan kecil yang melintasi tebing sebagai penahan agar kereta tidak tergelincir dan tetap berada pada jalurnya.
Ada juga jembatan kecil di sini yang melintasi ngarai yang disebut Jembatan Raja . Ini bukan lagi bagian dari jalur pendakian, tetapi digunakan untuk menghubungkan rel kereta api dan trotoar layanan. Biasanya orang orang juga akan menunggu kereta di sini.
Di ujung ngarai kedua, terlihat tempat yang lebih datar dengan pemandangan ngarai ketiga. Tebing tebing tinggi terukir alami, ketika melewati jembatan aku bisa melihat ceruk ceruk tebing yang terkikis oleh air, yang nampak begitu indah.
Di bagian lain mendekati puncak Caminito del Rey adalah titik yang paling menajubkan ada balkon kaca yang cukup ruangan untuk berdiri beberapa orang.
Kami menyempatkan untuk mengambil gambar dengan latar belakang yang indah.
Udara diatas sini begitu terasa berbeda. Segar, sejuk, kuat dan luar biasa.
Melewati lantai kaca, ada sebuah area yang dikenal sebagai pantai fosil . Aku menatap detil ke dinding batu, melihat beragam fosil.
Aku melangkah cepat, melupakan ketakutan akan ketinggian asyik menikmati kesempatan langka berada disini.
Tempat dimana aku berpijak bergetar, membuat aku kaget dan refleks mengengam tali di tepian tebing.
kreeeeeekkkkk, disertai bunyi bebatuan yang terpantul di tebing, aku tergelincir di jalan setapak, aku kehilangan pijakan kaki tubuhku meluncur bebas ke arah bibir tebing.
auuuuuuhhhhh....
Aku Jatuh...
Oh tidak aku masih sempat mengengam tali.
Sepersekian detik, aku merasakan lengan Valter yang kokoh mengengamku namun tidak mampu menahan semua badanku untuk tidak keluar dari jalan setapak.
Aku merasakan butiran keringat mengucur deras dari seluruh badanku.
Sayup aku mendengar jeritan di sekelilingku yang kebetulan menyaksikannya.
Aku ketakutan, mungkin ini menjadi ketetapanku untuk berakhir disini.
.
.
.
Napas ku terasa pendek, aku di ujung ketakutan yang sangat,
kepanikan yang tidak bisa aku luapkan,
aku tidak bisa bergerak banyak,
itu hanya akan membuatku semakin cepat untuk jatuh ke dalam jurang.
Aku berusaha keras untuk bisa tenang, dan mengatur nafas, seluruh badanku terasa licin begitu pula dengan tangan Valter yang semakin lama semakin basah. cepat atau lambat ia tak akan sanggup menahan beban badanku jika hanya bertumpu pada satu tangan.
Peluh dan air mataku terasa menyatu, aku menutup mataku, dan membukanya perlahan, menatap wajah Valter yang tenang memberiku arahan untuk tetap tenang dan tidak bergerak aku sudah tidak dapat mendengar arahan dengan jelas, semua informasi buyar disapu ketakutan yang tinggi.
Aku memalingkan tatapan ke bunga liar disisi bawah di ujung sepatu Valter,
berwarna hijau kekuningan,
tanpa dedaunan,
hanya ranting dan bunga,
kelopaknya berupa putik yang mengembang indah.
Aku menatap pasrah menikmati sedikit keindahan walau untuk terakhir kalinya.
indah, sejuk, kututup lagi kedua mataku.
Aku menyerah.
"Jade... Bantu aku, angkat badanmu. Berusahalah memanjat " teriak Valter keras menyadarkanku dari lamunan.
" JAAADDDDEEEE." teriak Valter, itu adalah teriakannya yang paling keras yang pernah kudengar, suaranya terpantul di dinding tebing tebing tinggi.
Dengan cepat aku memaksa tubuhku terdorong ke atas, Valter di bantu Joseph dan lain berusaha keras menarik badanku, pelan dan perlahan.
Aku berusaha memanjat dan mengengam bebatuan yang bisa kugapai disekitarku, perlahan tubuhku ditarik ke atas.
Aku selamat.
Aku menangis keras sambil memeluk Valter, itu pertama kalinya aku merasakan nyawaku berada di ujung tanduk, aku nyaris kehilangannya.
Semua orang di belakang kami ribut dan panik. Sebelumnya kami sudah berjalan sepanjang dua kilometer, kita harus meneruskan perjalanan kurang lebih sembilan ratus meter ke depan menuju akhir perjalanan.
Tidak ada cara lain untuk terus berjalan perlahan menyelesaikannya, tidak ada shortcut yang bisa membantumu mengakhiri perjalanan ini dengan pintas, kami harus tetap berjalan.
Valter mengengamku erat sepanjang perjalanan, keadaan tidak memungkinkannya untuk mengendongku melewati jalan setapak.
Bagian terakhir dari perjalanan kami masih harus menyeberangi jembatan gantung di samping saluran air.
Ini adalah bagian tersulit rasanya dari sepanjang perjalanan. Apalagi dengan trauma yang baru saja aku alami.
Dari balik pijakan kaki di jembatan gantung kamu dapat melihat betapa tingginya posisiku, menghadapi kematian disini bukanlah bagian yang menyenangkan.
Pemandangan lembah yang fantastis tidak mampu membuatku lupa akan kejadian barusan, aku masih begitu shock.
Setelah tiba di titik akhir kami kembali ke titik awal perjalanan dengan menggunakan bis tour, dan menikmati makan siang kami di kafe terdekat.
Liana mengengam tanganku, raut wajahnya begitu khawatir dan terlihat iba memandangku.
" Jade, apakah kamu baik baik saja ? " tanyanya pelan nyaris tak terdengar.
Aku mengangukkan kepala dan menatapnya lirih, mengukirkan sedikit senyum untuk menghilangkan ke khawatirannya.
Valter meraihku ke dalam pelukannya, berkali kali mengecup dahiku dan menatapku memastikan aku berada dalam kondisi psikis kembali ke normal.
Valter menarik kursi dan mendudukanku di depan sebuah meja makan kafe, dan secara serentak Joseph dan Liana duduk di seberang meja di depanku sambil menatapku iba.
" Aku tidak apa apa, hentikan tatapan kalian. Ini tidak membuatku berhenti menjelajah. " sahutku tersenyum.
Kami makan dengan lahap nya di hari itu, diselingi canda tawa membuatku lupa akan peristiwa yang nyaris merenggut nyawa.
Ketakutan adalah bagian normal dalam hidup, dan aku bisa melewatinya, justru mendatangkan sebuah keberanian lebih karena telah mampu melewatinya. Semuanya terasa lebih intens, selalu saja ada petualangan baru dan pengalaman baru yang bisa menjadi pelajaran lebih buat ku pribadi. Bila aku menoleh kebelakang, aku tetap akan memilih jalan ini, sebagai seorang pengembara dan mengambil resiko.
π π π