Chereads / Aku dan 1000 kota / Chapter 41 - Postdam, Germany ( 2 )

Chapter 41 - Postdam, Germany ( 2 )

Suasana Postdam lebih sepi dan tenang daripada ibukota Berlin. Penuh dengan situs Warisan Dunia UNESCO karena dikelilingi dengan bangunan bangunan bersejarah, serangkaian danau yang saling berhubungan, taman-taman penuh sejarah dan istana kerajaan.

Postdam merupakan tempat lahirnya produksi film Eropa Babelsberg yang merupakan studio film terbesar dan tertua di Eropa dan pernah dianggap sebagai Hollywood Eropa. Semenjak berkuasanya Nazi, para aktor dan seniman kemudian migrasi ke Amerika.

Potsdam juga berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan di Jerman dari abad ke-19.

Salah satu yang paling iconic di Postdam adalah istana Sanssouci, bekas istana musim panas Friedrich II dari Prussia, raja Prussia. ( Prussia : kekaisaran Germany yang dihapus sejak perang dunia I ) Hingga kini keturunan monarki Prussia tetap membawa gelarnya sampai mati, salah satu contoh adalah keluarga Valter yang tetap memakai gelar kebangsawanan dalam nama belakangnya.

-

Sudah 2 bulan berlalu dari peristiwa kecelakaan di Spielberg, secara fisik George sudah menunjukkan banyak kemajuan, sekalipun kemampuan motoriknya belum aktif seperti semula, George masih harus menggunakan kursi roda.

Kemampuan komunikasi George juga meningkat pesat, meskipun keadaan emosinya masih harus terus dijaga, George biasanya tidak akan mulai makan jika tanpa kehadiranku, dan tidak akan pergi tidur tanpa mengengam tanganku.

Ada rasa kangen akan kembali ke Munich dan menikmati kehidupan bersama Valter, namun situasi sangat tidak memungkinkan, ketergantungan George membuat hati nuraniku tergerak untuk tetap tinggal.

Setiap weekend Valter harus bolak balik antara Munich dan Postdam. Hanya diwaktu weekend lah aku bisa melepaskan rasa kangen ku akan Valter. Aku merasa seperti membagi diriku kepada dua pria, menjadi Lou Salome yang memiliki Nietzsche dan Paul Ree disaat bersamaan.

Cuaca begitu cerah di pagi hari, akhir bulan Juli di musim panas, cuaca begitu hangat sekitar 25 derajat celcius, George memintaku untuk bepergian ke taman di pusat kota Postdam, sepertinya George sudah mulai bosan dengan pemandangan di sekitar vila dan taman belakang rumah. Dengan seijin mama Maloree kami pun pergi ditemani seorang perawat dan sopir.

Musim panas orang orang sangat senang menghabiskan waktu di tempat terbuka, berkumpul di taman, pergi menikmati danau, atau pergi berenang. Hari yang indah dan hangat untuk menikmati hangatnya mentari.

Kami berhenti sejenak di salah satu sudut taman istana Sanssouci, sejenak menatap kagum kemegahan istana yang di gadang gadang sebagai salah satu istana terbaik pesaing berat istana Versailles di France. Istana berada di sebuah bukit, dengan deretan panjang anak tangga berukuran lebar terhampar dari sebuah kolam besar menuju ke atas istana yang membuat istana terlihat sangat glorious.

Patung dan pohon anggur melilit di teras membingkai jalur sisi kiri kanan anak tangga dan jalan setapak.

Istana dengan 12 kamar ini berdiri di atas tanah seluas 500 hektar dan mencakup 150 bangunan besar dan kecil serta taman-taman istana.

" Kamu suka ? " tanya George pelan sambil memasang kaca mata hitamnya.

" Ini luar biasa, kamu pasti sangat bangga menjadi bagian dari keturunan kaisar. " ucapku dengan polos.

George tersenyum mendengar ocehanku, aku memandang George terharu, George tidak butuh pergi melihat istana atau berdesakan dengan banyak turis, dia dibesarkan dengan lingkungan seperti ini, ia melakukannya hanya untuk membuatku senang walau harus mempertaruhkan kondisinya di atas kursi roda.

" Aku berharap bisa mengajakmu ke seluruh tempat di Germany. " sahutnya lagi.

" Sayangnya aku tidak cukup puas jika hanya Germany, aku cukup serakah untuk urusan bepergian. Kamu harus cukup kuat untuk mengajakku pergi jauh, makanya, engkau harus segera pulih. " ucapku meledeknya sambil medorong kursi rodanya pelan.

" Kadang aku bersyukur mengalami ini semua sehingga aku bisa menahanmu cukup lama denganku. Berakhir di kursi roda dan menghabiskan sisa umur denganmu bukanlah sebuah ide buruk. " ucapnya lagi.

Aku tergelak mendengar ucapan George, " Jangan menyindirku George, aku tak lebih dari seorang perawat asia yang di bayar dengan upah surga oleh sang pencipta. " tambahku lagi.

" Atau mungkin seorang bidadari yang dikirim untukku yang kesepian." timpalnya dengan nada menggoda.

Aku tersipu mendengarnya. Entah kenapa George selalu berhasil membuatku tersipu malu, kadang aku harus mengakui aku terhipnotis masuk ke dalam perasaan yang senantiasa kuhindari. Kharisma George kuakui begitu kuat menarikku, jiwa nya yang periang dan terbuka membuatku selalu nyaman dan bersemangat, perasaan nyaman yang sama yang aku dapatkan dengan Valter yang memiliki berjiwa lebih tenang.

George yang manja dan spontan sepertinya membangkitkan sisi keibuanku, aku selalu sigap berada di dekatnya setiap dia membutuhkanku, aku seperti mendapatkan peran besar dari ketergantungan George, perasaan dimana selalu ada George yang membutuhkan dan menginginkanku, perasaan yang memberi makna lebih akan hidup.

Berada di Postdam terus terang adalah sebuah kenyamanan, aku bisa merasakan lengkapnya sebuah keluarga, bukan hanya sekedar seorang wanita yang tumbuh dengan berbagai jadwal tugas yang harus dikerjakan, seperti ada nafas kehidupan yang membuatku terus bersemangat, sekalipun harus terus berada di rumah sepanjang waktu, tak pernah sekalipun membuatku jenuh.

Siang hari ketika George pergi beristirahat aku akan memulai pekerjaanku memonitor perusahaan di Jakarta, sesekali melakukan video jarak jauh dengan ibu dan Nathan di Vienna, dan tak lupa saling berkirim pesan text dengan grup whatsapp dengan sahabat sahabat travellersku.

Aku juga menjadi salah satu anak kesayangan mama Maloree, mungkin karena semua pengabdianku kepada George. Semua kebutuhanku selalu terpenuhi dengan baik, dan tidak jarang ia mengundang desainer untuk membuatkanku beberapa potong pakaian yang kami perlukan, atau membawakanku katalog pakaian dan aksesoris untuk kupilih. Aku diperlakukan tidak berbeda seperti anak sendiri. Aku juga mendapat layanan terapis yang sama untuk perawatan perawatan rutin yang ia dapatkan.

Ruang makan adalah sebuah sentra penting untuk kita selalu dekat satu sama lain. Aku selalu berusaha hadir tepat waktu di jam makan pagi, siang ataupun malam, sekalipun di saat saat ketika kondisi diet. Duduk bersama di satu meja makan adalah sebuah aturan yang tidak pernah tertulis.

-

" Kamu tak pernah bercerita tentang pacar pacarmu. kemana saja mereka, kenapa tidak pernah terlihat menjengukmu ? " ucapku membuka pertanyaan.

" Aku memiliki beberapa kencan sebelumnya, tapi tak pernah ada keinginan berkomitmen, kadang aku harus bersembunyi dari mereka. " ucapnya dengan tertawa.

Perlahan satu persatu ingatan George mulai kembali, setiap hari aku memberikan pertanyaan pertanyaan sejauh mana kemampuan mengingat kejadian di masa lalu.

" Apa tidak ada salah seorang diantara mereka yang mampu membuatmu bertahan ? " ucapku lagi dengan tatapan menggoda dan sedikit tertawa.

" Tidak, mereka terlalu agresif juga terlalu banyak menuntut. Aku hanya akan dekat jika aku membutuhkan mereka. " sahut George merebahkan diri ke atas ranjangnya.

" Kau sudah 32 tahun, sebaiknya segera untuk memikirkan sebuah hubungan yang serius. " ucapku lagi.

" Sayangnya, aku hanya memikirkanmu. " ucapnya sambil menutup kedua mata, dan mengengam tanganku.

๐Ÿงก๐Ÿงก๐Ÿงก