Ponselnya terus berbunyi sejak tadi pagi. Namun, gadis itu malas menanggapi. Tubuhnya seakan-akan telah kehilangan jiwa.
Ia baru saja merasakan indahnya jatuh cinta, tapi Sharmila memaksanya untuk menyerah. Gheisha duduk bersandar di kepala ranjang. Wajahnya tertunduk, ditopang kedua lututnya yang ditekuk.
Dua belas panggilan dari Yani, tiga puluh panggilan dari Aryk, satu panggilan dari Gery. Ia hanya melihat pemberitahuan itu sekilas, lalu menaruh ponselnya di nakas. Tangisannya pecah kembali, memilukan hati setiap orang yang mendengar.
Ratapan sang Kakak membuat Johan ikut terisak sedih. Sejak pulang sekolah, ia duduk di kamarnya. Mendengarkan tangisan Gheisha yang tak kunjung berhenti. Padahal, kakaknya sudah menangis sejak pagi sebelum Johan berangkat sekolah.
Gheisha tidak pergi bekerja ke minimarket. Ia juga tidak akan datang bekerja di klub malam. Jam tujuh malam nanti, ia harus pergi menemui Darwis, atasannya Sisi.
Mereka benar-benar sudah mempersiapkan segalanya, untuk menjodohkan Gheisha dengan pria hidung belang yang sudah memiliki dua istri dan simpanan yang tidak terhitung jumlahnya.
"Pah, kenapa Papa tidak datang menjemput Ghe-Ghe? Kenapa … Papa dan Mama tidak mengajak Ghe-Ghe tinggal di surga bersama kalian? Hiks …."
Di kamarnya, Johan semakin sedih mendengar ratapan Gheisha. Ia tidak bisa tinggal diam. Sejak tadi, ia sudah menunggu Gheisha berhenti menangis. Namun, gadis itu semakin terpuruk, semakin putus asa.
Johan keluar dari kamarnya. Pergi ke kamar sang Kakak untuk menegurnya. Bukan karena terganggu, tapi karena tidak tahan mendengar kesedihan gadis itu. Ia ingin menghibur kakaknya, memberinya semangat agar tidak putus asa dalam hidup.
Tok! Tok! Tok!
"Kak! Buka pintunya! Izinkan Jo masuk," pinta Johan.
Gheisha tidak ingin melibatkan adiknya dalam persoalan antara ia dan Sharmila. Ia tidak beranjak sedikitpun dari atas ranjang. Membiarkan adiknya mengetuk pintu dan memanggilnya berkali-kali.
"Jo lapar, Kak." Johan tahu, kakaknya sangat menyayanginya. Jika semua kata-kata bujukan tidak membawa pengaruh apa-apa, maka cara satu-satunya adalah bersikap manja.
Ceklek!
"Kamu itu, hiks. Kamu sudah besar, memangnya tidak bisa masak sendiri," gerutu Gheisha sambil menyeka air matanya dengan kertas tisu. Ia melangkah ke dapur.
'Setidaknya, Kak Ghe-Ghe tidak mengurung diri lagi.' Johan mengikuti Gheisha ke dapur. Ia membantu kakaknya menyiapkan bahan makanan. "Lain kali, kamu harus belajar masak. Kakak …. Mungkin di masa depan, kakak tidak akan bisa memasak untukmu lagi," ucap Gheisha dengan suara serak.
"Kakak, tidak perlu pergi. Jo akan mencoba membujuk Mama untuk membatalkan perjodohan ini. Jo tidak rela jika, Kak Ghe-Ghe … menikah dengan pria seperti itu," ucap Johan.
"Kakak tidak apa-apa. Jangan melawan Mama. Yang harus kamu lakukan hanya belajar dengan baik. Buat kakakmu ini bangga," pinta Gheisha.
Keinginan yang sederhana. Ia hanya ingin Johan meraih cita-citanya, tidak mengikuti jejaknya. Gheisha berhenti mengejar cita-cita karena sebuah keinginan untuk mencari uang.
Johan mengangguk dan tersenyum. Disaat Gheisha sendiri sedang banyak masalah, ia justru mengkhawatirkan pendidikan adiknya. Johan merasa sangat bersyukur, memiliki gadis itu sebagai kakaknya.
***
"Ghe! Ghe-Ghe!" teriak Sharmila dari ruang tamu. Ia sudah memegang kunci mobil. Malam ini, dia akan mengantarkan Gheisha sendiri ke klub Sun. Ia khawatir, gadis itu tidak datang ke sana.
"Iya, Ma," saut gadis itu.
Gheisha sudah memakai dress tanpa lengan, warnanya merah terang, membuat Gheisha sangat tidak nyaman. Panjang gaun hanya sebatas lutut, memperlihatkan betis jenjang dan ramping milik gadis itu. Gheisha terus menarik bagian bawah dress. Namun, saat bagian bawah ditarik, bagian atasnya tertarik turun.
Ia melangkah dengan perlahan. Kakinya terasa berat untuk melangkah keluar rumah. Malam ini, setelah ia keluar dari rumah itu, maka semua impiannya menghilang.
"Lambat sekali! Cepat naik!" perintah Sharmila yang sudah naik ke mobilnya.
Gheisha masuk ke mobil. Sharmila segera memacu mobilnya menuju klub malam, tempat Darwis menunggu Gheisha bersama Sisi. 'Tenang, Ghe! Hanya bertemu dengannya dan membicarakan tanggal pernikahan. Tidak melakukan hal lain, jadi tenanglah!' Gadis itu mencoba menghibur hatinya yang sedang gugup.
Debaran di dadanya sangat cepat. Menemui seorang pria mata keranjang dengan pakaian yang saat ini dipakai olehnya, tentu ia harus ekstra waspada. Gheisha menyelipkan sebuah pisau lipat ukuran kecil diantara bukit kembarnya untuk berjaga-jaga.
"Ingat! Usahakan agar dia mau menikahimu dalam waktu dekat. Bersikap baiklah kepada Bos Darwis," tandas Sharmila.
"Tunggu, Ma! Ghe-Ghe akan masuk, tapi tolong berikan foto itu terlebih dulu. Ghe-Ghe janji, tidak akan melarikan diri," tawar gadis itu. Ia tidak mau berkorban tanpa hasil.
Gheisha khawatir jika ibu tirinya itu tidak mengembalikan foto mendiang ibu kandungnya, bahkan setelah Gheisha mengorbankan hidupnya. Sharmila percaya, gadis itu tidak akan berbohong. Ia menyerahkan foto milik Gheisha. Setelah menurunkan Gheisha, ia memutar balik dan pulang ke rumah. Ia hanya perlu menyerahkan semua urusan di klub kepada Sisi.
Ia duduk di samping Sisi. Tempat itu paling jauh dari posisi Darwis. Melihat tatapan mesum pria itu membuat Gheisha serasa ingin muntah.
"Dek Ghe-Ghe, cantik sekali, ya," puji Darwis. Ia mengusap bibirnya sendiri, seperti tidak sabar ingin melahap habis gadis di samping Sisi.
Ghe-Ghe hanya diam. Dalam hati, ia mengutuk pria itu. Sudah tua, tidak tahu diri, maki Gheisha dalam hati.
"Minu dong, Ghe. Masa tidak sopan begitu," cibir Sisi. Ia mengambil segelas red wine dan memberikannya kepada Gheisha. "Ini! Ayo minum." Pandangan Sisi begitu mencurigakan, membuat gadis itu tidak mau mengambil wine dari tangan Sisi.
"Kau pikir, aku akan terjebak kedua kalinya? Jangan mimpi!" bisik Gheisha dengan kata-kata penuh penekanan. Ia mengambil bir kalengan dan membukanya. Setidaknya, Sisi tidak akan menaruh obat jika kaleng itu masih tertutup rapat. Gheisha menenggak habis isi di dalam kaleng.
Pluk!
Kaleng bir itu terjatuh di atas karpet, memantulkan bunyi sangat pelan. Gheisha merasa pandangannya berkunang-kunang. Kadar alkohol dalam bir kalengan biasanya tidak akan membuatnya mabuk.
Tubuhnya mulai terasa panas dan seperti terbakar. Gheisha menggigil, ia menoleh kepada Sisi. Dengan senyuman kemenangan, Sisi mendekatkan wajahnya ke wajah Gheisha.
"Kau pikir, aku menaruh obat pembangkit hasrat di dalam gelas wine. Sayangnya, kau salah. Aku menyuntikkan obat itu ke dalam kaleng bir. Karena kau sudah sangat berhasrat, sudah waktunya aku membantu kalian check in di motel sebelah klub ini."
Sisi menyuruh dua orang pengawal Darwis untuk membawa Gheisha ke kamar nomor 5. Sementara ia meminta uang kepada Darwis sebelum pulang. "Oke, Om. Terima kasih banyak atas uang jajannya. Aku harus pulang. Selamat bersenang-senang, Om," pamit Sisi. Ia mengecup bibir Darwis sebelum keluar dari klub.
"Nomor 5 'kan?" tanya Darwis. Sisi mengangguk. Setelah gadis itu pergi, ia bangun dan merapikan jasnya sambil menyeringai. Ia pergi ke motel di samping klub. Di pintu masuk, ia bertemu kedua anak buahnya.
"Kami sudah membawanya ke kamar nomor 5, sesuai pesan Mbak Sisi," lapor salah satu dari mereka.
"Bagus. Aku akan menginap di sini, jadi kalian pulang saja." Darwis menyuruh kedua anak buahnya untuk kembali ke rumahnya. Membayangkan tubuh Gheisha membuat jakun Darwis turun naik.
***
"Panas hh …. Tolong aku," ucap Gheisha dengan suara lemah. Ia mengusap-usap lehernya untuk meredakan rasa panas yang membakar. Obat yang diberikan Sisi memiliki efek dua kali lipat lebih kuat dibanding obat yang pernah diberikannya dulu.
Ceklek!
Ruangan yang temaram itu membuat Gheisha tidak bisa melihat dengan jelas, pria yang berdiri di tengah pintu. 'Tidak! Jangan mendekat!' Ia hanya bisa berteriak dalam hati. Pengaruh obat itu begitu kuat, sampai-sampai Gheisha tidak memiliki tenaga sama sekali.
Sekujur tubuh gadis itu sangat tidak nyaman. Jika obat itu sama dengan yang dulu, Gheisha masih bisa menahannya. Ia bisa menghajar pria hidung belang yang hanya seorang diri itu. Gheisha mencoba bangun, tapi ia terjatuh.
Pria itu menutup pintu dan segera menghampiri Gheisha. 'Pergi! Kumohon, pergi!'
"Hah, panas." Hatinya menolak dengan keras, tapi tubuhnya tidak berdaya untuk melawan. Ia merasakan kenyamanan saat tangan pria itu menyentuh kedua pundaknya. 'Mama! Papa!' Kedua sudut mata gadis itu meneteskan cairan sebening kristal, meluncur mulus di pipi tirusnya.
====BERSAMBUNG====