Warning typo bertebaran....
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komennya ya... Thank u...
.
.
.
Arlan kembali bekerja dan ia melihat Revan, Angela, Beny, dan Viko masih tengah asik bercengkrama, tetapi entah kebetulan atau tidak Arlan mendapati Revan tengah memperhatikannya. Arlan mencuekinya lalu ia fokus bekerja, jam sudah menunjukan pukul 00.00 dini hari. Arlan sudah membereskan semuanya, lalu ia membuka ponselnya terdapat satu pesan disana. Ponsel jadul yang mungkin orang lain akan tertawa melihatnya. Tahun 2021 ia masih memakai ponsel batangan bahkan di ikat pakai karet pula agar baterainya tidak lepas. Arlan terkadang malu mau mengeluarkan ponselnya, tetapi ia sadar diri. Bahwasanya ia tidak mampu membeli ponsel Android atau IPhone masa kini seperti milik teman-temannya.
Arlan membuka pesannya lalu membaca isi pesan itu. "Nak Arlan, ini saya Om Adi... Maaf sekali Om tidak bisa berpamitan langsung denganmu. Om hanya menyampaikan kalau Om sudah pulang kerumah dan tidak dirawat di rumah sakit. Sekali lagi terimakasih banyak. Jika ada waktu Om ingin bertemu denganmu dan berbicara banyak hal."
Arlan pun membalas pesan itu singkat. "Gak apa-apa Om, yang penting Om sudah di rumah dan baik-baik saja."
Arlan memasukan kembali ponsel bututnya itu ke dalam sakunya. Lalu saat ia berjalan kedepan dan sebenarnya Arlan tau jam segitu tidak akan ada angkutan umum, jadi ia pun sudah terbiasa berjalan kaki di jam malam seperti itu, ia bahkan sudah terbiasa dengan para preman yang selalu mabuk di jalanan bahkan ia sudah akrab dengan beberapa preman disana. Jadi ia tidak perlu takut, bahkan terkadang ia selalu memberi makanan sisa yang tidak habis dari tempat ia bekerja, dan dari pada basi terbuang sia-sia ia selalu membawanya dan membagikan ke beberapa orang yang ia temui.
Tetapi malam ini ia tidak membawa makanan karena habis ludes karena pengunjung sangat ramai, lalu belum jauh Arlan dari Cafe itu mobil dengan plat nomor 5474N itu menghampirinya. Arlan tahu siapa pemilik mobil itu lalu kaca mobil terbuka, Arlan membungkuk lalu melihat Revan di dalam.
"Masuk..." perintah Revan.
"Kau malam-malam begini masih disini? Nunggu siapa? Atau jangan-jangan kau cari mangsa baru setelah bosan dengan Angela?" sahut Arlan.
"Kau, aku suruh masuk ya masuk. Kau gak lihat di depan sana banyak preman, cepat masuk atau aku akan.." ujar Revan.
"Akan apa? Coba aja kalau berani!" ujar Arlan menantang.
Revan keluar dari mobilnya lalu memaksa Arlan masuk kedalam mobil, merasa ada yang tidak beres preman atau anak punk yang kenal dengan Arlan lalu menghampiri Revan dan Arlan.
"Woi... Lepasin dia dan jangan macam-macam dengannya." ujar salah satu preman itu.
Arlan di tarik dengan salah satu preman dan di sembunyikan di belakang mereka. Merasa terancam Revan pun pergi tanpa mengucapkan kata-kata. Arlan merasa terselamatkan dari si Setan itu. Kemudian Arlan berbicara.
"Terimakasih..." ujar Arlan.
"Sama-sama Men, lagian kau selama ini baik dengan kami. Jadi kalau ada apa-apa jangan sungkan, ayo kami antar kau pulang." ujar orang-orang itu.
"Tidak perlu, lagian rumah ku dekat dari sini. Oh iya, ini maaf ya tidak banyak makanan, jadi hanya ada roti ini." ujar Arlan memberikan beberapa roti kepada orang-orang itu.
Orang-orang itu menerimanya lalu membiarkan Arlan pergi pulang, tetapi langkahnya terhenti dan mulutnya di bekap seseorang, lalu saat tau orang itu siapa, ia membuang muka, mau kabur ia pun tidak bisa karena sudah di dalam mobil.
"Kau pikir aku pergi gitu aja ha? Ngeri ya teman-teman kau preman pasar semua." ujar Revan.
"Apa pedulimu? Walau mereka preman pasar, setidaknya mereka masih punya hati. Tidak seperti kau, lagian kau mau bawa aku kemana ha? Ini sudah malam aku mau pulang," ujar Arlan.
"Ikut saja dan nurut denganku kau akan baik-baik saja," ujar Revan.
"Heh sattan, ini bukan arah pulang kerumah ku. Oh tuhan lindungi hamba yang lemah ini, hamba mau di culik." ujar Arlan.
"Ck... Bisa diam tidak?" bentak Revan.
"Iya tapi aku harus pulang Sattan, di rumah paman dan bibi pasti udah khawatir.." ujar Arlan.
"Kau kan bisa telpon mereka, lagi pula besok kan libur sekolah, apa salahnya kau bilang sedang menginap di rumah teman kau. Pakai otak kau itu makanya." ujar Revan.
Arlan membuang muka dan menghadap ke luar cendela, ia melihat sebuah gedung mencakar langit, lalu ia masuk kedalam parkiran gedung itu.
"Ini kan appartement mewah..." ujar Arlan dalam hatinya.
Arlan masih diam saja, lalu saat mobil terpakir mereka pun keluar dari dalam mobil. Revan menarik tangan Arlan kuat, takut kalau Arlan kabur lagi. Lagi dan lagi Arlan tidak bisa berpikir ini anak kenapa? Gangguan jiwa mungkin. Arlan hanya mengikuti langkah Revan, lalu dengan paksa ia melepaskan genggaman tangan Revan, saat tangan itu terlepas Revan melototinya dan lagi Revan ingin menggandeng tangan Arlan, tetapi sebelum terjadi Arlan dengan sigap menyembunyikan tangannya ke belakang.
"Aku gak akan kabur, tenang aja." ujar Arlan.
Revan diam, lalu mereka pun keluar dari lift yang menuju ke lantai dua belas. Lalu mereka masuk kedalam ruangan yang sangat luas. Appartement yang mewah dan sudah penuh dengan furniture yang mewah dan mahal.
"Ini appartement ku pribadi, ayahku memberikannya padaku. Awalnya ini untuk ibuku, sejak ibuku meninggal aku memakai appartement ini untuk menenangkan pikiranku." ujar Revan.
"Oh... Lalu tujuanmu membawaku kesini untuk apa? Mau pamer gitu? Ciiiih, aku tau kau anak orang kaya." ujar Arlan.
"Aku mau berbicara padamu, dan cukup kau turuti kata-kataku saja." ujar Arlan.
"Iya katakan sekarang, aku akan mendengarnya." ujar Arlan, walau sebenarnya ia muak dengan sikap Revan.
Revan duduk di sofa yang empuk itu, sementara Arlan berdiri sambil menanti ucapan dari Revan. Lalu Revan berbicara. "Heh, bagaimana aku mau berbicara, kau berdiri terus begitu."
Arlan pun duduk di sebrang meja dan saling berhadapan. "Lalu, apa mau mu sekarang, Sattan?"
"Aku mau kau berhenti bekerja disana, di Cafe tempat kau bekerja." ujar Revan.
Arlan kaget lalu berbicara. "Apa? Heh sattan, kau kalau ngomong pakai otak dikit kenapa. Cari kerja itu susah di jaman sekarang ini, apa lagi masih sekolah kayak aku. Aku punya keluarga yang harus aku hidupi. Paman dan bibiku, mereka sudah mati-matian membesarkan aku. Lagi pula aku ini orang tidak mampu, seenak jidat kau aja ngomong."
"Berapa gajimu disana? Aku akan membayarnya lebih dari itu, dan kau bekerja denganku menjadi asistenku. Aku akan menggajimu sepuluh juta sebulan, bagaimana?" ujar Revan.
Arlan menghela napas, lalu ia berbicara. "Sattan sattan, kau aja makan masih dari orang tua kau, gak usah sok mau gaji aku. Mending uangnya kau tabung buat masa depan kau yang entah mau kemana arahnya. Udahlah aku mau pulang,"
Arlan berdiri dan berjalan kearah pintu, ia tidak memperhatikan Revan yang sudah kesal, dengan kasar Revan mendorong Arlan dan mencekik leher Arlan. Dengan gigi rapat dan suara parau Revan berbicara. "Aku katakan kepada kau berkali-kali, kau abaikan aku, dan pergi kau dari sini hanya tinggal nama saja."
"Uhuuuk uhuk... Leeepppaaassin, uhuk uhuk..." ujar Arlan tanpa terasa setetes darah mengalir dari sudut bibirnya.
Melihat itu Revan panik dan langsung melepaskan tangannya. Arlan tidak banyak bicara, lalu Revan berusaha ingin menghapus darah dari sudut bibir Arlan. Tetapi Arlan keburu merosot kebawah karena lemas, ia memegangi lehernya yang sakit lalu mengusap darah disudut bibirnya. Revan berjongkok di hadapan Arlan lalu menghapus darah itu, Arlan tidak melawan, ia membiarkan Revan melalukan itu. Karena Arlan takut ia akan berbuat kasar lagi.
"Baiklah, aku akan turuti permintaanmu. Tapi dengan satu syarat. Sepulang sekolah aku akan ke appartement ini, membantu mengerjakan semua soal atau tugas sekolah. Jam tujuh malam aku harus sudah dirumah, karena aku tidak mau paman dan bibiku khawatir." ujar Arlan.
"Oke... Malam ini tidak mungkin kau pulang, tidur disini saja. Disana kamar kau, dan ingat jangan sekali-kali masuk kekamarku tanpa seijinku." ujar Revan.
Arlan mengangguk tanda mengerti, lalu Revan pergi begitu saja meninggalkan Arlan. Sementara Arlan masih duduk disana dan meratapi nasibnya, lalu ia menghela napas dan berdiri. Saat ia ingin berjalan ke kamar, Revan bersuara. "Didalam lemari ada baju bekas abang ku, pakai saja. Baju kau bau."
"Iya..." sahut Arlan.
Arlan masuk kekamar, lalu menutup pintu kamarnya, ia tidak mengunci kamar itu. Arlan pergi mandi lalu saat ia keluar dari kamar mandi ia melihat Revan berdiri di ambang pintu. Revan memperhatikan kulit putih bersih mulus tanpa cela, lalu saat Arlan berbalik ia langsung bicara.
"Ada apa? Kau bilang mau tidur?" ujar Arlan.
Revan bersusah payah menelan salivannya. 'Perasaan apa ini... Tidak aku masih normal.'
Arlan selesai berpakain lalu ia bicara lagi. "Kau mau apa, Sattan?"
"Aku lapar!" sahut Revan singkat.
Arlan Mengangguk, lalu pergi ke dapur dan memasak sesuatu. Kemudian ia memberikan hasil masakannya itu kepada Revan.
"Didapur tidak ada apa-apa, hanya ada mie instant dan telur saja, jadi makan apa adanya aja." ujar Arlan.
"Aku sedang sibuk, kau suapin aku makan." ujar Revan.
"Apa? Woi Sattan tolong kau sadar diri, kau udah besar, punya tangan yang masih sehat. Cuma main game aja kau bilang sibuk," ujar Arlan.
Revan memasang wajah marah, karena takut akan di cekik lagi, dengan terpaksa Arlan melakukan apa yang di minta Revan.
Bersambung....
Hai makin aneh kelakuan Revan ya... Bahahhaha