Sudah hampir dua bulan lamanya Emma berada di kota Handway. Ia berkuliah di Universitas Jardin, menjalani hidup normal seperti keinginannya dan aktif mengikuti latihan di klub ballet. Meski agak kesulitan bersosialisasi, namun cukup banyak anak yang mengerumuninya untuk menjadi salah satu teman gadis cantik itu, namun sejatinya Emma masih merasa kurang nyaman berteman dengan orang-orang itu. Tapi ada seorang anggota klub yang menurut Emma cukup dekat dengannya. Ia adalah gadis manis bertubuh mungil dengan kulit pucat yang pertama kali mengajaknya bicara di kelas ballet.
Emma masih terpelongo menatap Poppy dengan setelan dress berwarna baby pink dipadu mantel putih gading yang membuatnya terlihat semakin manis. Tidak disangka.. ia berpacaran dengan Donny Gruge yang merupakan salah satu anak laki-laki tampan di angkatan mereka. Donny juga terlihat seperti jagoan layaknya seorang boss di dalam kelompok pembully yang beranggotakan Lary dan Brian.
"Emma.." Sapa Poppy ramah. Senyumannya terlihat seperti boneka porselen mahal.
"Poppy! Senang sekali ternyata kau ikut kesini. Aku kira akan mati bosan malam ini.." Celetuk Emma tanpa sadar. Poppy tertawa sambil mengangguk tidak nyaman.
"Ayo kita masuk." Ucap Lary. Tidak mau berlama-lama mendengarkan obrolan para gadis yang merepotkan.
Emma mengerut dahi. Masuk kemana? Namun ia urungkan untuk bertanya lebih jauh. Sudah terbiasa menghadapi bahaya, membuatnya tidak takut lagi masuk kemanapun, bahkan kandang buaya sekalipun.
"Roger! Ayo!" Emma tidak melupakan teman sebangkunya yang dari tadi mengasingkan diri. Menyingkir dari lingkaran kelompok anak keren itu.
"Ck! Kenapa si pecundang itu bisa ikut?" Gerutu Donny. Sontak Brian dan Lary langsung menyikutnya. Jangan sampai kalimat itu terdengar oleh Emma.
"Sayang.. Jangan berkata begitu." Tegur Poppy. Laki-laki itu hanya meliriknya sekilas, tidak perduli. Gadis manis itu hanya bisa menghela lelah.
"Jangan terlalu jauh.. Apa kau sudah tau tempat ini?" Emma menarik lengan jaket hitam itu untuk lebih mendekat ke dalam gerombolan mereka. Ketiga laki-laki lainnya hanya bisa melirik dengan tatapan jengah. Besok, hal pertama yang akan mereka lakukan di kampus adalah menghajar Roger dan menggantung celana dalamnya di atas pohon cemara.
"Kau sering kesini juga?" Emma bertanya kepada Poppy.
Gadis itu menggeleng "Aku juga belum pernah kesini."
"Aku juga.." Gadis yang satunya lagi ikut menyambung. Gaya berpakaiannya sebelas dua belas dengan Poppy. Hanya saja, ukuran tubuhnya tidak semungil Poppy dan kulitnya tidak terlalu putih. Tadi mereka sempat berkenalan sebentar. Namanya adalah Rina Beker, kekasih Lary yang baru seminggu jadian.
"Hemm.." Emma menyipitkan kedua matanya untuk melihat kilauan gemerlap lampu yang berada di ujung gang jalan. Bersama dengan langkah mereka, samar-samar mulai terdengar kebisingan dari ujung gang itu.
Kedua mata Emma membesar. Alisnya terangkat tinggi. Jadi ini yang namanya jalan Jen Marrie?!
Bar-bar berhias lampu neon berbagai warna. Dan yang paling mendominasi adalah tempat-tempat perjudian dengan plang nama gemerlap mengalahkan kelap kelip bintang di langit. Emma seakan baru saja terjatuh ke sebuah lubang dan mendarat di gemerlapnya pusat kota Tokyo. Ia menoleh ke belakang. Jadi gang gelap nan sepi itu adalah pintu masuk ke surga orang-orang malam?
Emma melirik Poppy dan Rina yang sama-sama memasang wajah melongo. Jalan Jen Marrie bukanlah tempat untuk gadis-gadis baik seperti mereka. Lary dan kawan-kawannya memang bajingan.
"Hey! Jangan bengong saja. Tempat ini seru loh! Mau minum?" Ucap Lary riang gembira.
**
Mereka semua berakhir di sebuah lestoran sushi abal-abal yang varian minuman kerasnya lebih banyak di dalam buku menu, ketimbang sushinya sendiri. Tampang Emma layaknya seekor anjing yang belum diberi makan seharian. Ia sedang menahan untuk tidak mengeluarkan taringnya.
Namun tidak mungkin ia emosi disini, terlebih ada Poppy yang adalah anggota klub ballet. Dari tadi Emma sibuk memperhatikan Poppy. Biasanya ia adalah gadis yang ceria dan bawel, namun disini ia agak murung dan pendiam.
Seorang pria denga lengan penuh tato datang membawa tujuh gelas bir besar yang buihnya masih mengepul hingga tumpah keluar.
"Cheerss!!" Brian dan Lary mengangkat gelas mereka. Yang lain meladeni dan meneguk cairan kuning berbuih itu.
"Jadi.. Emma. Sebenarnya aku agak terkejut saat melihat tiba-tiba ada anak baru yang masuk ke kampus. Padahal belum pergantian semester. Hal itu tidak pernah terjadi. Kenapa kau melakukan itu?" Brian membuka obrolan.
"Secara teknis aku tidak tau proses pendaftarannya. Pamanku yang melakukannya untukku. Aku pindah karna ada kepentingan mendadak." Jawab Emma.
"Kepentingan apa?" Tanya Brian lagi.
Emma menggeleng sambil tersenyum tipis "Aku tidak nyaman membahasnya."
"Auw!" Pekik Biran.
Lary menjitak kepala temannya itu "Bodoh! Membuka obrolan saja tidak becus. Kau membuat kita memalukan di depan gadis-gadis." katanya besar-besar agar terlihat seperti sebuah candaan. Yang lain terkekeh.
"Aku tidak tau ternyata kalian berada di klub yang sama. Biasanya di pertengahan tahun ada pentas seni. Klub ballet yang memberikan penampilan paling luar biasa." Lary menatap Poppy dan Emma bergantian.
Kedua mata Emma lantas bersinar dengan seluruh jemari kedua tangan saling mengait di depan dada. Ia menatap Poppy dengan kilauan itu. "Apa benar begitu?"
Poppy mengangguk "Para petinggi klub ballet akan memilih penari center, lalu Ms Diana akan memilih siapa saja anggota yang akan tampil."
Emma tersenyum dengan memalingkan wajahnya untuk menunduk. Bisakah ia ikut tampil di pentas itu nanti? Meskipun sekarang ia masih mengikuti latihan-latihan dasar saja, tapi sudah dapat ia bayangkan bagaimana rasanya menari di atas panggung besar dengan lampu sorot bercahaya di atas kepalanya. Bahkan di dalam bayangannya, ia menjadi penari center.
"Kelihatannya kau sangat menyukai ballet." Celetuk Donny dengen kedua tangan terlipat di depan dada.
Poppy mengangguk "Emma berlatih ballet dengan keras. Aku sampai kagum pada kegigihannya."
"Lalu.. Bagaimana denganmu.. Siapa namamu? Roby?" Ia menoleh ke bangku paling pojok bagian dalam. Sepenuhnya mengabaikan Poppy yang jelas berbicara dengannya.
"Ro.. roger." Jawab laki-laki yang seakan tidak nampak wujudnya dari tadi. "Aku.. Kuliah untuk belajar saja."
Brian dan Lary menertawakan jawaban itu. Donny hanya tersenyum miring dengan wajah sombong. "Tidak heran kau menjadi pecundang."
"Hahahahaa.." Emma tertawa terbahak sanking kesalnya mendengar omongan Donny. Yang lain sampai menatapnya bingung. "Ehm.. Maaf. Roger pintar sekali melucu. Dan kau juga.." ia menatap laki-laki tinggi dengan jaket baseball itu. "Siapa namamu? Don..key?"
Kening Donny berkerut, dengan pipi agak memerah karena merasa terhina. "Do.." ia nyaris menjawab. Namun lebih memilih meraih gelas bir dan meneguk isinya hingga habis. Poppy sampai menegang melihat kejadian itu.
Brian dan Lary saling menatap sebelum tertawa penuh perjuangan agar suasana kembali cair. Jangan sampai Donny mengamuk disini.
"Astaga Emma.. Kau polos sekali. Namanya Donny. Donny. Jangan lupa lagi yah.." ucap Brian.
"Ahh.. Hahaha.. Iya, maaf. Aku mudah melupakan nama orang. Tapi tolong dimaklumi yah.. Tadi Donny juga sempat lupa nama Roger, kan?" ia mengibas-ngibas tangannya di depan mulut, satu tangannya lagi menutupi jajaran gigi putihnya yang terekspos. Khas gadis manis.
"Ngomong-ngomong.. Ini tempat apa? Kenapa banyak sekali orang berjudi dan mabuk?" Tanya Rina dengan wajah polosnya. Ia merasa cukup terganggu dan agak takut melihat banyak pria berlalu-lalang di sekeliling meja mereka dalam keadaan mabuk. Asap rokok juga mengebul bagai kabut di tempat itu.
Sebenarnya bukan Rina saja yang merasa terganganggu. Poppy juga tampak tidak nyaman. Namun kelihatannya gadis itu masih bisa bernafas cukup normal di udara penuh racun ini. Sedangkan Emma? Jangan ditanya. Ruangan meeting ayahnya lebih parah mengebul dari tempat ini. Seakan terjadi kebakaran, namun hanya ada asapnya saja.
Brukkkk!!! Barakkk!!
Mereka semua menoleh ke arah pintu masuk mendengar kegaduhan itu.
"Sial!" Umpat Donny dan Lary bersamaan.