Mereka membuang motor Calvin ke laut.
"Ah.. Ini gila." Gumam Emma dengan memijat batang hidungnya.
"Itu tidak penting. Apa lagi yang ingin kau bicarakan?" Tanya Troy.
Tiba-tiba suara gemuruh mesin motor membuat mereka semua menoleh. Itu adalah Martin yang sudah menyalakan motor dan menggeber gasnya. Lalu ia mengenakan helm full facenya "Aku tidak punya waktu lagi. Aku duluan! Dah!" ia langsung melaju kencang.
"Kenapa lagi anak itu?" Tanya Nico.
"Dia lupa sedang mengunduh film prono di komputernya. Kau tau mulut adiknya seperti apa." Jawab Ian dengan wajah datar. Penjelasan itu membuat mereka semua menggeleng tidak habis pikir. Tapi semua memang sudah terbiasa pada tingkah laku Martin.
"Kenapa kalian bisa tiba-tiba datang menolongku?" Tanya Calvin, mengembalikan fokus mereka.
Troy menunjuk Emma dengan dagunya "Dia yang datang meminta bantuanku."
Emma berdehem "Tentu saja aku harus melakukan itu. Bayangkan saja jika kami tidak datang, mungkin kau sudah mati di sana."
"Aku tau kau berusaha menyelematkanku. Tapi kini kau mungkin saja berada di dalam bahaya, Emma." Ucap Calvin.
"Kami sudah menutup wajahnya. Seharusnya dia aman." Sela Nico.
Calvin menghela gusar. Tentu saja sebuah kain buff dan kacamata tidak akan cukup untuk menutupi identitas Emma. Mereka kira The North Viking itu siapa? Di kota Handway, mereka terkenal seperti gabungan ninja dan mata-mata yang bisa melacak orang dengan mudahnya.
"Dia yang minta ikut. Aku sudah melarangnya tadi." Troy mengangkat kedua tangannya, tanda tidak bersalah, saat Calvin menatapnya.
Calvin menggeleng dengan wajah tidak nyaman "Baiklah. Aku tidak memermasalahkan itu lagi. Tapi kalian.. aku tau kalian menghindari ini. Kenapa kalian bisa datang untukku, padahal kalian tau apa yang mungkin saja terjadi kedepannya?"
Troy terdiam, ia hanya menatap seluruh teman-temannya secara bergantian. Memang kalau dipikir, untuk apa juga mereka melakukan ini?
"Aku minta maaf. Kelihatannya permintaanku membawa kalian ke dalam masalah.." Ucap Emma tiba-tiba dengan wajah bersalah.
Semua pria itu langsung menatapnya. Mereka mulai salah tingkah dengan menggaruk belakang kepala mereka yang tidak gatal.
"Ini sulit dijelaskan. Intinya, kau tidak perlu merasa bersalah. Ini adalah masalah laki-laki yang tidak dimengerti perempuan.." Ucap Ian tidak yakin.
Dahi Emma berkerut, ia merasa agak terintimidasi oleh kata-kata Ian. Namun ia berusaha berkepala dingin dengan memikirkan bahwa apa yang Ian katakan hanya untuk kebaikan Emma sendiri.
Emma sadar diri bahwa para laki-laki itu pasti menilai dirinya sebagai perempuan yang lemah dan harus dilindungi. Jika memang melindunginya adalah dengan cara menjauhkan Emma dari masalah mereka, maka itu adalah keputusan yang tepat. Cara untuk jauh dari masalah adalah dengan menghindari masalah itu sendiri.
"Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu kembali ke bengkel Troy. Mobilmu ada disana, kan?" Tanya Ian.
Emma mengangguk, lalu ia menatap Calvin.
"Aku akan pulang setelah mengurus beberapa urusan dengan Troy. Trimakasih sudah datang untukku, Emma." Calvin tersenyum lembut.
"Ya.. Kami benar akan mengurus sesuatu." Troy menekankan kalimatnya. Lalu ia merogoh saku celananya dan melemparkan sebuah kunci pada Ian. "Kau tunggu di rumahku sampai aku kembali."
"Baiklah." Ian menutup kaca helmnya dan menyalakan mesin motor. Kemudian ia melaju pergi setelah memastikan Emma sudah naik dalam posisi benar.
Kepergian Ian diikuti oleh teman-temannya yang lain.
***
Dua orang pria terlihat duduk di sebuah kursi kayu tua di dekat dermaga. Angin laut yang dingin, beserta turunnya sedikit salju menerpa tubuh mereka. Namun nampaknya otot mereka bekerja sempurna untuk melindungi dari terpaan cuaca dingin. Kedua pria itu bahkan tidak terlihat terpengaruh oleh udara yang menusuk tulang.
Troy merogoh kantung jaket jeansnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna putih. Ia menarik keluar satu batang rokok dan menawarkan pada pria di sampingnya.
"Maaf, aku tidak merokok." Ucap Calvin.
"Aku juga." Troy memasukkan lagi batang rokok tersebut dan menyimpan kotaknya kembali ke dalam jaket. "Ini milik ayahku."
"Aku masih tidak menyangka kau datang untuk menolongku." Ucap Calvin.
Troy menggidik bahu "Aku pun begitu." Lalu ia menatap Calvin dengan kedua mata menyipit. "Aku sudah mengatakan, hal seperti ini suatu saat akan terjadi. Mereka semakin gila, begitu pula denganmu."
"Untuk apa kau datang membantuku, Troy? Kau tau Jita Kyoei akan terseret ke dalam masalah." Tanya Calvin.
"Bukankah sebaiknya kau berterimakasih, dari pada harus mempertanyakan alasanku menolongmu dari masalah anak-anak itu?" Ketus Troy.
"Aku sudah berterimakasih tadi." Sahut Calvin sembari mengingat-ingat. Ia sungguhan sudah berterimakasih pada Troy dan teman-temannya.
Troy berdehem, "Sepertinya keberadaanmu sudah dianggap serius oleh mereka."
"Dari awal aku serius pada mereka. Entah mereka yang mulai terusik.. atau mereka sedang gencar memperbesar bisnis gelap." Ucap Calvin. Lalu ia menatap Troy tajam. "Tidak mungkin kau rela membuat Jita Kyoei terlibat masalah anak-anak yang akan membuat kalian kesusahan.. Hanya demi menolong seorang bocah yang tidak terlalu kau kenal. Sepertinya masalah ini bukanlah sebuah masalah anak kecil lagi, ya?" lanjutnya.
Troy mengerutkan dahi. Ia tau Calvin mengetahui sesuatu. Pria itu bagaikan burung elang yang selalu terbang mengitari langit kota Handway. Ia seperti tau segalanya yang bahkan sebelumnya tidak disadari oleh Troy.
"Sepertinya kau tau masalahnya, ya? Mereka mulai menyenggol jalan kami. Entah apa keuntungannya dengan menghalangi orang-orang yang sedang berusaha meraih impian mereka dengan cara baik-baik." Imbuh Troy.
Calvin mengangguk "Memang itu yang mereka lakukan. Aku masih belum tau apa kaitannya. Namun semakin besar bisnis yang mereka kembangkan, akan semakin banyak pihak yang tersenggol. Dan kali ini.. sanggar-sanggar mulai kehilangan sumber pemasukan mereka. Sepertinya orang-orang itu memberikan tawaran lebih menarik ketimbang mendali lapis emas yang diperebutkan oleh ratusan orang di seluruh dunia."
Troy terlihat berpikir sembari menatap jalan aspal yang sudah mulai tertutupi salju putih. Wajahnya terasa berdenyut. Meski bukan itu yang menyebabkannya kesulitan berpikir, tapi ia akan menjadikannya sebagai alasan untuk pergi dari obrolan sulit itu.
"Aku akan pulang. Wajahku yang tampan harus segera diobati." Pria itu bangkit berdiri. Lalu ia menoleh pada Calvin yang masih duduk bersadar agak lemah. "Motormu benar dibuang ke laut?"
Calvin menggidik bahu "Aku harap masih bisa diselamatkan. Apa kau bisa memberiku diskon lagi?" ia menyengir penuh harap.
Troy memutar bola matanya malas "Aku harus lihat kerusakannya dulu. Aku akan mengantarmu pulang." Katanya dengan melangkah naik ke jalan utama dimana motornya terparkir.
"Terimakasih lagi, karena sudah membantuku lagi." Ucap Calvin ramah.
***
"Hah.. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang aku lakukan?" Gumam Emma seraya melempar tubuhnya ke atas sofa begitu tiba di rumah.
Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Udara yang dingin membuat kondisi hatinya semakin memburuk. Ia melempar tasnya sembarangan dan segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat demi kesehatan otot dan pikirannya yang sedang sumeraut.
Begitu selesai mandi, Emma masuk ke dalam kamar yang pemanas ruangannya sudah ia nyalakan. Di atas ranjang, gadis itu termenung sendiri. Ia membayangkan kejadian beberapa jam lalu yang terasa seperti sebuah mimpi gila.
Dari segala kejadian, kenapa Ia harus terseret ke dalam masalah serupa? Emma mereka ulang segala kejadian yang terjadi sejak ia baru saja menginjakkan kaki di kota Handway. Kenapa ia bisa mengenal Calvin Lee? Kenapa ia bisa mengenal Troy Roner? Dan berakhir masuk ke dalam pertarungan gangster.
"Uahh! Aku benci ini.." Gusar Emma dengan mengusap-usap kedua matanya yang terasa panas.
Entah mengapa ia merasa sangat sedih dan kesepian. Kalau dipikir, sebenarnya yang membuat perasaan Emma tidak nyaman adalah perkataan Ian tadi. Selama ini, Emma tidak pernah merasa sebegitunya tidak berdaya. Ia tidak pernah merasa selemah itu di hadapan orang lain. Selama ini, Emma tidak pernah dicap lemah, sementara ia terpaksa harus membenarkan lebel itu.
"Sebenarnya aku kenapa?" Gumamnya lagi pada diri sendiri.