Bau lembab yang menganggu adalah aroma paten di tempat itu. Sebuah bangunan pabrik lama yang sudah ditinggalkan kini menjadi sarang para parasit yang merugikan inang mereka untuk mengenyangkan perut.
Seorang pria berpostur tinggi dengan kemeja yang kancingnya terbuka dari atas hingga setengah baju sedang duduk santai di sebuah sofa kulit hitam yang nampak mahal dan nyaman. Ia menyesap sepuntung rokok lalu menghembuskan asapnya ke udara. Pria itu masih sangat muda, umurnya baru 22 tahun. Namun ia mampu membawahi ratusan anak buah dan ruangan kerjanya penuh dengan karung-karung berisi uang. Seorang pria berkaos hitam masuk ke ruangannya dan melangkah menghampiri.
"Dragger akan menyetor." Ucap pria dengan kulit coklat beralis tebal.
Tidak lama seorang pria lainnya masuk. Gayanya sangat norak dengan kalung rantai emas besar menjuntai-juntai di lehernya. Tangannya penuh cincin emas behias permata menenteng koper besi yang dicat hitam.
"Salam!" Ia memberi hormat, namun tidak bisa menutupi tingkah soknya.
"Minggu inu Dragger menyetor tepat waktu. Bisnis bagus akhir-akhir ini." Tawanya. Namun kedua pria itu hanya diam saja. Mereka sesungguhnya tidak suka pada bocah ingusan yang banyak basa basi itu. Agak mengherankan kenapa ia bisa jadi ketua geng.
"Baiklah. Kita percaya padamu dan akan menghitung nanti." Ucap pria yang berkaos hitam. Biasanya mereka langsung menghitung uang setoran saat itu juga.
"Bagaimana keadaan di utara?" Tanya pria yang duduk di kursi.
"Akhir-akhir ini ada beberapa anak yang menggangu anak buah ku saat mereka bekerja. Aku masih mengusut siapa orangnya."
Pria itu meletakan puntung rokoknya diatas asbak berbentuk tengkorak "Sepertinya bocah-bocah yang sama dengan yang menggangu di wilayah barat. Sebaiknya kalian mengurus masalah ini sampai selesai. Jangan sampai aku yang turun tangan."
"Siap! Kalau begitu aku pergi dulu. Selamat malam!" Ucapnya semangat.
"Kalau bukan karena jago berkelahi, mungkin dia sudah berakhir di kolong jembatan." Pria tadi melanjutkan kegiatan merokoknya.
"Hem." Pria berkaos hitam hanya mengangguk. Lalu ia menaikan koper yang dibawa tadi ke atas meja dan membukanya.
Koper itu berisi uang-uang lusuh dan rapih bergabung menjadi satu. Namun semua sudah disusun rapi di dalam sana. Mereka tau ada serangga yang berusaha menganggu bisnis mereka. Meski saat ini mereka belum tau siapa pelakunya, namun mereka juga tau bahwa orang itu tidak tau dimana letak kepala ular dari bisnis ilegal ini.
***
Hari ini adalah hari ketiga Emma berada di kota Handway. Kemarin ia sudah berkeliling sedikit dan pergi ke supermarket untuk memenuhi isi kulkas. Meskipun sebenarnya Jonas sudah mengisi semuanya, termasuk lemari pakaian Emma sebelum gadis itu pindah kesini.
Pagi-pagi, Emma sudah berangkat menggunakan mobil pribadinya menuju universitas barunya. Kini ia menjadi murid pindahan di kampus. Tentu ia berdebar-debar menghadapi lingkungan baru dan membayangkan seperti apa rasanya hidup sebagai siswa normal dimana orang-orang tidak mengetahui dari keluarga mana ia berasal. Sejak kecil Emma tidak memiliki teman karena ia sangat nakal dan semua orang tau bahwa ia adalah putri dari Andreas Hilland, pemimpin mafia kelas kakap yang kaya raya.
Mobil yang dikendarai Emma sampai pada sebuah gedung universitas besar. Meski ukurannya tidak sebesar kampusnya yang dulu, namun kampus ini sama sekali tidak buruk, arsitekturnya juga bagus.
Emma masuk ke parkiran dan keluar dari mobil dengan tas ransel kulit melekat di punggungnya. Keadaan kampus masih cukup sepi, namun sudah ada beberapa siswa yang berkeliaran. Tidak disangka, siswa siswi disini memiliki selera mode yang bagus. Mereka semua terlihat keren, sama seperti siswa di kampusnya yang lama. Sepertinya Emma bisa beradaptasi dengan baik disini. Ia hanya harus mengingat cara anak-anak kelas di kampus lamanya berbicara, pasti tidak jauh berbeda dengan disini. Ketika berjalan, Emma merasakan beberapa anak memandanginya. Ternyata sama saja dimana-mana, wajahnya selalu menjadi pusat perhatian.
Emma harus mengambil kunci loker dan beberapa berkas di ruang administrasi yang berada di lantai tiga. Dengan itu ia harus menaiki lift atau tangga dari lantai dasar. Setelah mencari sedikit, Emma mendapati sebuah lift berada berdampingan dengan tangga setelah masuk tidak jauh dari pintu utama. Tentu ia memilih naik lift ketimbang tangga, masalahnya pintu lift yang tadinya terbuka lebar itu mulai menutup otomatis.
"Tunggu!" Teriak Emma sambil berlari kesana. Namun printunya masih tetap bergerak.
"Tunggu!" Teriaknya lagi setelah hampir sampai. Dan usahanya membuahkan hasil. Sertinya ada yang menekan tombol buka dari dalam.
Emma terengah sembari mengucapkan trimakasih di depan pintu. Lalu tatapan matanya bertemu dengan seorang pria yang menahan pintu lift tersebut untuknya. Pria itu bertubuh tinggi dengan hidung manjung ramping dan mata agak sipit. Ia mengenakan kemeja biru muda kebesaran dan celana jeans putih. Ia tersenyum ramah dan bergeser ke samping sedikit untuk memberi gadis itu ruang.
"Lantai?" Tanya pria itu.
"Lantai 3. Trimakasih." Ucap Emma.
"Yup! Sama-sama." Jawabnya.
Emma mengeluarkan kertas besar terlipat-lipat yang adalah peta kampus mereka. Ia membuka sedikit bagian yang sebelumnya sudah ia tandai dan meneliti bagian itu.
"Maaf, apa kau baru pindah ke sini?" Tanya pria itu menyadari gadis disampingnya nampak kesulitan.
"Eh? Iya, benar. Ini hari pertamaku disini. Jadi.." Ia memamerkan petanya dengan senyum miring. Menyatakan dirinya tidak tau apa-apa mengenai gedung ini.
Pria itu mengangguk "Kau mau ke ruang apa? akan ku tunjukan padamu." katanya dengan melirik layar kecil diatas pintu lift yang sudah menunjukan lantai dua.
"Ah... Tidak apa-apa. Aku tidak mau merepotkan."
"Tidak akan merepotkan. Lagi pula, aku datang terlalu pagi. Kau mau kemana? Ruang administrasi?" Tebaknya bersamaan dengan pintu lift yang terbuka di lantai tiga.
"Benar." Jawab Emma seketika.
"Oke, akan kuantar." Ia menahan pintu dan tangannya memberi gesture agar gadis itu turun duluan.
"Ruang administrasi tidak jauh dari sini. Dia berada di lantai tiga, karena lantai satu dan dua dipenuhi oleh aula dan teater besar." Jelasnya sembari melangkah.
Emma yang berjalan di sampingnya mengangguk-angguk. Ia tidak terbiasa mengobrol dengan anak sepantarannya dengan santai begini "Trimakasih informasinya."
"Nah.. Itu ruangannya." Ia menunjuk sebuah pintu kaca dengan papan nama administrasi tergantung di depan. Lalu melangkahkan kaki jenjangnya lebih cepat.
"Biasanya mengurus administrasi membutuhkan waktu satu sampai dua jam di sini. Kelas pertama mulai sekitar satu jam lagi. Sebaiknya kau cepat." Ucapnya setelah tiba di depan pintu.
"Trimakasih banyak sudah mau meluangkan waktumu mengantarku." Ucap Emma berbunga-bunga. Baik sekali pria ini. Meski begitu, ia sudah terbiasa pada pria yang selalu baik padanya karena parasnya yang cantik.
"Jangan sungakan.. Ah, maaf. Aku Calvin. Senang bertemu denganmu." Ia menjulurkan tangannya cepat.
"Emma." Balasnya.
"Aku harus pergi sekarang. Semoga betah di kampus ini. Dah!" Ia melambai sembari melangkah terburu-buru.
"Trimakasih sekali lagi!" Seru Emma dibalas lambaian kecil pria itu. Ia naik ke lantai selanjutnya menggunakan tangga. Sepertinya pria itu berbohong ketika mengatakan ia datang terlalu pagi. Jelas ia terburu-buru akan suatu hal.