Antariksa meng-konsultasikan masalah perasaannya pada Agung, walaupun nanti belum tentu benar.
"Coba nyanyi aja," saran Agung membuat Antariksa menggeleng malas, haruskah suaranya se-gampang itu di dapatkan jika bukan dahulu konser The Rocket.
"Yang lain,"
Jamkos kali ini Antariksa gunakan untuk rapat penting. Hanya Agung yang terlibat, sedang Rafi bergabung dengan Brian di pojok kelas bermain game.
"Emang otak lo buntu?" Antariksa tak sabaran, maklum saja ia bukan cowok romantis yang pandai menggombal manis.
"Nah, gimana kalau puisi? Tapi lo harus hafalin," puisi akan berurusan dengan Brian, si otak jenius yang suka terjun di dunia penulisan, apalagi jurnalistik.
Antariksa ada ide. "Boleh, tapi lo yang minta ya?" nada Antariksa berubah lunak, mendapatkan simpati dari Agung tidak semudah mencabut singkongnya.
Agung mengangguk antusias, saatnya menjahili Brian. Untuk catatannya Agung menyobek kertas buku tulis milik Antariksa, bukankah berbagi itu indah?
Antariksa menatap sendu, berkurang 37 lembar. "Udah, cepetan sana!" Antariksa menyembunyikan buku tulisnya, Agung bisa mengambil apa saja, semua barang pribadi harus di amankan secara ketat.
Agung berniat menghampiri Brian, namun siapa sangka ada yang meletakkan barang sembarangan di lantai sehingga dirinya tersandung dan berakhir memeluk Brian.
Antariksa menahan tawanya, Agung tersandung kamus bahasa Inggris entah milik siapa. Setelah di gunakan tidak di rapikan.
Brian menyingkirkan Agung. "Ngapain meluk gue? Masih waras lo?" sarkasnya.
Agung manyun. "Maaf, kan habis kesandung." nyali Agung ciut, Brian marahnya dua kali lipat dari Antariksa.
Agung menyodorkan kertas di depan wajah Brian, sehingga cowok itu yang tengah bermain game dan fokus terganggu. "Apaan?" tanyanya malas.
"Buat apa? Gak ada tugas bahasa Indonesia," takutnya karya Brian menjadi pasaran dan jatuh ke tangan yang salah, seperti Agung ke fans-nya.
"Puisi, kan mau belajar juga. Siapa tau ikut lomba sampai internasional,"
"Iyain aja," Rafi membela, beruntung sekali ada Rafi, Agung tak perlu repot membujuk Brian dengan cara anehnya.
Setelah selesai menulis puisi, Agung memberikannya secara kerahasiaan, perlu hati-hati bisa saja Brian menarik kembali kertasnya.
Antariksa akan ke kelas Rinai waktu istirahat.
☁☁☁
Antariksa membaca puisi karya Brian dengan sepenuh hati, Rinai tampak tak peduli. Adel kagum, sayang sekali jika momen ini di lewatkan. Bahkan kelas Ips 5 sangat ramai, di kerumuni para hawa yang penasaran dengan aksi romantis Antariksa.
"Petrichor"
Hujan menimpa bumi
Hingga tanah tak sadarkan diri
Hatiku jatuh mengagumi
Paras cantik seorang bidadari
Membius hati tanpa permisi
Memikat cinta dua hati
Perlukah di nanti
Menunggu kepastian lagi
Sempat tercengang karena puisi itu di tunjukkan untuk Rinai.
Rinai menyobek secarik kertas, menggenggamnya kesal. Meremasnya lalu melemparkan ke Antariksa, mengenai hidungnya.
Sontak yang melihat itu tertawa mengejek, pesona Antariksa di tolak?
Antariksa mengembalikan kertas itu ke Rinai. "Jangan buang sampah sembarangan, seperti perasanku padamu yang hanya angan-angan." Antariksa hanya iseng mengucapkan itu. Namun Rinai dengan semakin ganasnya mendorong Antariksa agar pergi, ingin istirahat ke kantin malah kelasnya macet mengalahkan jalanan Jakarta.
Adel tak rela, sayang sekali. Ia ingin meminjam kertas yang Antariksa bawa untuk di jadikan tulisan di atas coklat, untuk Rafi.
"Yah, Rin. Jangan di usir dong, sayang banget tau, tadi bagus loh puisinya." puji Adel, wajahnya menengadah bagaimana rekasi Rafi jika puisi itu di bacanya? Adel teringat akan pulpen LOL-nya yang masih belum di kembalikan.
"Jadi lo di pihak Antariksa del?" tanya Rinai kesal, Adel mengangguk saja.
"Ayolah Rin, demi gue nih. Pingin taken sam Rafi, masa lo gak setuju?" rayuan Adel selalu tertuju pada Antariksa, pasti puisinya serta kata bualan tadi.
"Terserah lo deh. Gue laper," Rinai berjalan angkuh, menyingkirkan para semut-semut yang belum juga pergi. Ada yang iri, memaki, dan berusaha menjambak rambutnya.
Rinai menepisnya hakus, tidak keributan untuk sekarang. Tenaganya ia simpan untuk Cica.
Rinai memilih duduk sendirian, namun Brian menghampirinya, tak lupa Rafi, Agung dan Antariksa ikutan.
'Bisa gak sih, gak usah ketemu?! Apanya yang cantik sih? Antariksa belum tau kalau gue aslinya tomboy, lebih enak melawan daripada di tindas.' Rinai tak memperhatikan Brian yang kini berusaha menyuapinya bakso.
Setelah hidungnya merasakan aroma makanan, Rinai tersadar. "Maaf, buat kak Brian aja," anti daging, edisi diet, batin Rinai.
"Oh, jangan lupa makan ya," bagi Rinai, nasehat Brian sama saja dengan para kaum Adam diluar sana, perhatian, waktu sayang di tinggalkan.
Kali ini Antariksa beraksi. "Rinai, emang puisinya kurang bagus ya?" Antariksa terlalu polos sekali, bahkan Agung sendiri yang paling ketar-ketir, di liriknya wajah Brian yang masam.
"Oh, jadi lo nyuri karya gue? Antariksa? Apa bener?" tanya Brian menginterupsi.
Antariksa mengacak rambutnya, lupa akan kehadiran sosok Brian. "Habis gimana lagi? Gue bukan cowok romantis," Antariksa terlalu jujur, bahkan Rafi tertawa melihat tingkah Antariksa yang kepergok maling dan di hakimi Brian.
Rinai ingin tersenyum saat itu juga, namun ia tengah kesal. 'Lucu juga ya kalau kak Antariksa di marahin Brian,' Rinai menggelengkan kepalanya, jangan sampai jatuh hati pada wajah imut itu.
Agung menatap Rinai heran. "Rinai ngapain geleng kepala? Pusing? Atau mau denger lagu remix? Dj mungkin?" Agung keluar dari topik, hingga Brian yang paling gemas pun menarik pipi Agung.
"Kenapa nasib gue gini amat sih," Agung tak berani menepis tangan Brian, nanti ujung-ujungnya dimakan.
'Sederhana, bikin bahagia.' batin Rinai, merasa terhibur walaupun kesalnya pada Antariksa semakin meningkat, cowok itu mengedipkan mata.
☁☁☁