"Gisti, ada surat tadi," ucap Darmi kala melihat Gisti selesai mandi dan bersih-bersih selepas pulang kerja tadi. Gisti yang tengah mengeringkan rambutnya dengan kain lantas berhenti dan bertanya kepada Darmi.
"Surat dari siapa?"
"Ndak tahu, ndak ada nama pengirimnya," jawab Darmi seraya menyerahkan amplop bewarna cokelat tua. Gisti meraihnya, amplopnya sama persis seperti surat yang ia terima kemarin.
"Mungkin dari orang yang kemarin, Nduk."
Gisti membuka surat itu, duduk di kursi rotan yang kemudian disusul Darmi di sebelahnya. Kepala Darmi sedikit menyembul di depan Gisti kala Gisti mulai membaca surat itu, matanya ia sipitkan untuk melihat tulisan latin di atas kertas tersebut.
Teruntuk Gisti,
calon istri saya di masa depan.
Apa kabarmu hari ini? Saya harap kamu baik-baik saja dan akan selalu baik. Sudah baca surat saya yang kemarin?
Saya tahu kamu sedang bingung sekarang, bingung mencari tahu siapa yang mengirimkanmu surat aneh seperti ini, bingung mencari tahu bagaimana pengirim itu bisa mengerti apa yang kamu lakukan setiap saat.
Gisti, jangan membuat kepalamu pusing karena memikirkan hal-hal seperti itu. Saya adalah Dewa, akan selalu mengerti dan tahu apapun yang sedang kamu lakukan. Bahkan saya pun tahu, kamu tengah duduk bersama dengan ibumu untuk membaca surat ini. Benar?
Gisti lantas mendongak, menoleh ke samping dan mendapati Darmi yang juga tengah menatapnya. "Kok bisa tahu ya, Nduk?"
Gisti menggeleng cepat, dirinya juga sama penasarannya dengan sang Ibu. Gisti melirik ke arah kertas yang ia pegang, mendekatkannya ke wajah kemudian membacanya. Darmi pun ikut membacanya dengan pelan, karena mata tuanya sudah mulai merabun.
Jangan terkejut, Gisti. Saya hanya ingin kamu tidak terlalu memikirkan siapa yang mengirimkanmu surat, bersikap lah seperti Gisti yang biasanya. Bacalah surat saya yang akan saya kirimkan kepadamu setiap hari. Iya, saya akan kirimkan surat setiap saat untukmu. Dan saya akan memastikan bahwa kamu akan selalu menerima surat itu.
Salam dariku.
Dewa.
Gisti menyandarkan punggungnya, menghembuskan napasnya dengan kasar. Kepalanya benar-benar ingin meledak sekarang. Setelah seharian berkutat dengan latihan-latihan militer, kini dirinya harus berkutat dengan pemikirannya, siapa yang mengirimkan surat ini?
Darmi mengusap pelan kepala Gisti, "Sudah, ndak usah terlalu dipikirkan. Nanti kamu sakit, mending makan malam dulu setelah itu kamu istirahat," ajak Darmi pada sang putri. Gisti mengangguk, menutup kembali kertas itu dan memasukkannya dengan rapi ke dalam amplop cokelat. Menuju kamar dan meletakkannya di laci lemarinya, bersama dengan surat yang ia terima kemarin.
Seorang pria tersenyum lebar, kala dirinya melihat bahwa Gisti telah menyimpan surat yang ia kirimkan. Sedari tadi dirinya mengintip di balik celah rumah yang terbuat dari kayu ini, bagaimana Gisti dan Darmi membaca surat itu dengan pelan dan teliti, dan sesekali keduanya terkejut.
***
"Kamu kenapa?" Gisti menoleh, mendapati Patih yang kini tengah melepas seragam kebanggaannya dan hanya menyisakan kaos oblong berwarna putih yang terlihat mulai sedikit menguning karena mungkin terus-terusan dipakai oleh si pemilik.
"Masih memikirkan tentang pengirim surat itu?" tanyanya dan Gisti hanya mengangguk. Tak berniat untuk membuka suara, dirinya kini hanya menatap lurus ke depan. Memperhatikan sang Jenderal yang tengah berbincang dengan anggota militer yang lain.
Gisti mendengar hembusan napas kasar dari Patih, ia menoleh, Patih sudah duduk dengan manis di sampingnya. Dengan seragam yang sudah bertengger di pundaknya.
"Mungkin penulis surat itu tidak mau mati di tanganmu," ucap Patih tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" bingung Gisti.
"Kamu itu perempuan keras, siapa yang tidak mengenalmu? Satu-satunya perempuan yang berani menjadi anggota TNI itu hanya kamu. Bahkan seluruh penghuni alam semesta ini tahu, kalau kamu itu Gisti si wanita yang berhasil mematahkan leher lawan hanya dengan satu tangan dengan gerakan yang gesit."
Gisti hanya merotasikan bola matanya jengah, terlalu malas untuk mendengar penuturan Patih yang berlebihan tentang dirinya.
"Buka matamu Gisti. Banyak lelaki yang mengincarmu, namun mereka tidak berani mendekat karena kekerasanmu."
"Saya tidak peduli."
"Gis, coba lihat dirimu, di usiamu yang sudah mulai tua ini kamu belum menikah sama sekali."
Gisti membelalakkan kedua matanya, "Kau gila?!" teriaknya. Patih tidak terkejut, telinganya sudah kebal dengan teriakan Gisti yang berat seperti ini. Jantungnya pun sudah ia latih agar tahan banting dengan perilaku Gisti yang terkadang suka menyerang dadakan.
"Saya masih muda, sembilan belas tahun! Seenaknya saja kamu menyebut saya sudah tua," lanjutnya tidak suka.
Patih mendecak pelan, "Hei bodoh. Asal kau tahu saja, semua perempuan seusiamu itu rata-rata sudah menimang bayi di pangkuannya. Dan kau? Malah asik bergelut di medan perang."
"Saya adalah saya. Bukan mereka, jangan pernah samakan saya dengan mereka atau kubunuh kau sekarang juga!" ucap Gisti geram dan meninggalkan Patih yang tengah menahan tawanya.
Sedangkan beberapa pria yang ada di sekitanya pun hanya bisa menelan ludah dengan kasar. Gisti adalah wanita yang sangat keras, mendekati dan mengajaknya berkenalan untuk lebih dekat dengannya berarti sama saja dengan menjemput ajalnya.
Parasnya yang cantik, kulitnya yang seputih susu, hidungnya bak perosotan, serta alisnya yang tebal. Siapa yang tidak akan tergiur jika dihadapkan dengan sosok gadis seperti itu. Namun sayang, nyali para pria di sini terlalu ciut untuk sekadar mendekatinya.
Hanya Patih lah yang berani mendekatinya, karena ia adalah teman masa kecil Gisti. Meskipun begitu, tak jarang pula Patih mendapatkan perilaku tidak senonoh, seperti di hajar secara tiba-tiba oleh Gisti hanya karena mulut Patih yang asal bicara. Seperti tadi, untung saja dirinya tidak dijadikan samsak oleh gadis itu.
"Sabar, cinta itu memang sulit." Tepukan kecil pada bahu Patih membuatnya menoleh, Jenderal Sakardi telah duduk di sampingnya.
"Saya tidak jatuh cinta."
"Betul?"
"Iya."
Sakardi hanya terkekeh kecil, kemudian menepuk lagi bahu Patih seraya tersenyum singkat dan berlalu dari hadapan Patih. Sedangkan pria itu hanya menggelengkan pelan, kemudian menoleh kala mendapati Gisti yang berjalan ke arahnya dengan muka datarnya seperti biasa.
"Ikut saya," ajaknya membuat Patih mengerutkan dahinya bingung, kedua alisnya hampir saja tertaut. "Jangan banyak tanya, ikut saja," lanjut Gisti cepat kala melihat gerak-gerik Patih yang ingin bertanya padanya tadi. Sang pria hanya mampu menghela napas, bangkit dan mengikuti gadis di depannya yang tengah berjalan menuju ke gudang senjata.
"Ada apa?" tanya Patih ketika mereka sudah sampai di dalam gudang. Hanya berdua.
"Ambilkan senapan saya di atas lemari," pinta Gisti seraya menunjuk sebuah senapan yang entah mengapa bisa sampai di atas lemari.
"Kenapa bisa sampai sana?" Gisti hanya mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. Patih meraih senapan itu, menyerahkannya kepada Gisti.
"Cepatlah tinggi."
Gisti mencibik, merampas senapan dari tangan Patih. Berlalu meninggalkan pria itu di dalam gudang sendirian, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Sekadar mengucapkan terimakasih pun tidak.
"Untung saya sabar, Gis," gumam Patih menatap nanar punggung Gisti yang perlahan menjauh dari pandangnya.