Vote sebelum membaca๐๐๐
.
.
"Itu sudah cukup, Dan," ucap Lexi kembali mengancingkan bajunya. Tanpa menatap ke belakang, dia memakai celana dengan diperhatikan oleh seorang pria. "Kau tidak bisa memanggilku seperti ini, banyak urusan yang harus aku selesaikan di apartemen."
"Seperti menjauhkan Sophia dari suaminya?"
Lexi membalikan badan saat selesai menggunakan pakaian dengan tatapan malas. "Kau tahu hal itu," ucapnya menatap Daniel yang terbaring di atas ranjang.
Tanpa berkata, Daniel berjalan dengan tubuh setengah telanjang ke arah Lexi. Dia memegang kedua bahu wanita itu, Daniel memejamkan kedua matanya sebelum menatap kembali Lexi dengan tatapan teduh. "Hentikan semuanya, Lexi," ucapnya dengan lembut. "Semua obsesimu, bisakah kau berhenti mengejarnya? Pria itu sudah menikah."
Lexi menggeleng. "Tidak, Edmund seharusnya menikah denganku."
"Pria itu akan segera menjadi seorang ayah."
"Hal itu tidak akan terjadi selama aku masih hidup."
"Sisa hidupmu bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna." Daniel menjeda ucapannya sesaat. "Menikahlah denganku, aku akan menjadikan kau wanita paling bahagia di dunia ini."
Wanita itu terdiam sesaat, dia tidak menyangka Daniel yang dia kira hanya menyukai tubuhnya saja itu mengajaknya menikah. Tatapannya begitu meyakinkan, pria itu serius dengan perkataannya.
Namun, obsesi Lexi memaksanya menggelengkan kepala. Memunculkan raut wajah kecewa pada pria itu, tangannya yang menyentuh bahu Lexi mulai merenggang.
"Kenapa kau ingin menikahiku?" Dia bertanya dengan dagu terangkat. "Bukankah kau hanya menyukai tubuhku saja, dr.Dan?"
"Aku tidak sekedar menyukaimu, aku mencintaimu. Sejak pertma kali kita bertemu."
Perkataan Daniel hampir saja membuat Lexi goyah, kepalanya ingin mengangguk mengiyakan ajakan menikah pria itu. Mengingat lagi bahwa pria yang ada di depannya adalah seorang dokter yang dipekerjakan ayahnya untuk mengobati dirinya, Lexi menajamkan tatapannya. Dia yakin itu hanya salah satu cara yang dilakukan dokter jika pasiennya membangkang, mereka melakukan apa pun agar mendapat bayaran atas apa yang telah mereka lakukan.
"Kau berbohong."
"Aku berbohong pada keluargamu, tentang kesembuhanmu, Lexi. Itu semua karena aku mencintaimu."
"Tidak, kau tidak mencintaiku," ucapnya menyingkirkan tangan Daniel daru bahunya."Semua itu hanya bualanmu saja."
Daniel menghela napas saat Lexi menjauh dan menatap jendela, membelakanginya dengan tangan tersilang di depan dada.
"Aku akan kembali ke Buenos Aires beberapa hari lagi, pikirkanlah ucapanku baik-baik," ucap Daniel memakai pakaiannya yang berserakan di lantai.
Lexi menyunggingkan senyumannya, dia kembali mendekati Daniel dan menahan tangan pria itu saat akan memakai jaketnya. "Aku akan ikut dengannya, tapi kau harus ikut denganku sekarang."
"Kemana?"
"Ikut saja," ucap Lexi santai merapikan rambut sebelum keluar dari kamar hotel diikuti Daniel yang sudah merapikan pakaiannya.
Mereka menaiki mobil yang dikemudiakan oleh Daniel. Mengikuti arah petunjuk Lexi sebagai panduan jalan.
"Sebenarnya kita akan kemana?"
"Ikuti saja petunjuk jalanku," ucap Lexi tanpa menatap Daniel.
"Kau harus memberitahuku terlebih dahulu, Lexi."
"Kita akan pergi ke gedung perusahaan D'allesandro."
Kening Daniel berkerut. "Untuk apa kita kesana?"
"Aku akan memberitahumu nanti," ucap Lexi kembali menunjukan arah yang harus diambil Daniel, dia menunjukn jalan yang lebih cepat.
"Apa yang akan kau lakukan jika kita sudah ke sana?"
"Tentu saja kau harus me- Berhenti, Dan!"
Mobil yang dikemudiakan Daniel berhenti seketika. Saat mobil dibelakangnya membunyikan klakson berkali-kali, Daniel segera menepi.
"Ada apa?"
Lexi tersenyum, arah pandangannya tetap pada perempuan yang sedang membeli ice cream di pinggir jalan bersama temannya. Daniel mengikuti arah pandang Lexi, matanya membulat melihat ada Sophia di sana.
"Keberuntungan ada padakku kali ini."
"Apa maksudmu?"
"Kau mencintaiku bukan, dr.Dan?" Dia menatap Daniel dengan puppy eyes yang dibuat-buat.
"Kau mengetahui jawabannya."
"Aku akan menikah denganmu."
Senyuman di wajah Daniel mengembang. "Benarkah?"
Lexi mengangguk membenarkan ucapannya. "Dengan syarat kau harus menabrak Sophia, jika aku sudah melihat hasilnya, maka kita akan menikah."
"Aku tidak akan berbuat hal seperti itu, Lexi!" Bentak Daniel tidak menyukai ide gila Lexi.
"Kalau kau memang mencintaiku, maka lakukan itu. Dan aku berjanji kita akan menikah," ucapnya sambil membuka sabuk pengaman dengan tergesa-gesa.
"Kemana kau akan pergi?"
"Aku akan menunggu hasilnya. Lakukanlah dengan benar." Lexi menatap Daniel sesaat sebelum turun dari mobil, tapi sebelum dia menutup kembali pintu, Daniel menahannya.
"Aku tidak akan melakukan hal sejahat itu, Lexi."
"Itu terserah padamu, karena keputusanmu berpengaruh pada hubungan kita," ucap Lexi menyentakkan tangan Daniel yang menahannya. Dia membanting keras pintu mobil dan berjalan manjauhinya, menunggu taksi beberapa detik hingga akhirnya dia pergi jauh dari sana. Meninggalkan Daniel dengan seribu keraguannya. Dia tidak bisa menyembunyikan membohongi selamanya, bahwa dia benar-benar mencintai Lexi. Dia tahu keinginan wanita itu begitu besar untuk bisa bercinya dengan Edmund. Daniel ingin Lexi berbaghagia, bukan tertekan seperti biasanya ketika dia menjalani pengobatan.
Daniel memang mencintainya, sejak pertamakali mereka bertemu. Dia ingin membuat wanita itu bahagia, apa pun caranya.
***
Lampu bar yang berkelap-kelip tidak membuat seorang wanita terganggu. Dia begitu menikmatinya, semua musik dan juga alkohol. Lexi minum beberapa sloki dengan senyuman yang tidak hilang dari wajahnya. Dia sangat tidak sabar menunggu kabar dari Daniel.
Lexi belum kembali ke apartemen sejak pagi tadi. Tepatnya saat dia gagal dengan rencananya. Hal itu malah membuat Sophia yang menikmati hasil yang dia tanam. Namun, dengan adanya Daniel yang ternyata lebih dari menyukainya, Lexi mekanfaatkannya untuk menyungkirkan Sophia. Dia tidak akan memikirkan akibatnya nanti, dia tidak memikirkan apa yang akan dilakukan Marxel padanya, apa yang akan Edmund perbuat padanya saat dia mengetahui bahwa semuanya adalah rencananya. Yang pasti, untuk saat ini Lexi ingin Sophia hilang, lenyap dan tidak ada di bawah langit yang sama dengannya.
Dia terus bertahan dengan emosi yang hampir mengambil alihnya saat melihat Sohia. Lexi harus menyingkirkannya perlahan. Namun, Daniel akan menyingkirkan perempuan itu dengan cepat.
Membayangkan Sophia berada di dalam peti mati saja membuat senyuman Lexi merekah. Apalagi jika hal itu menjadi kenyataan, dia pasti akan menangis keras dengan histeris saking senangnya. Karena Sophia tidak pantas bersanding dengan Edmund, apalagi mengandung anaknya. Dialah yang pantas, dengan derajatnya yang tinggi dia pantas berada di samping pria itu.
Bahkan Sara pun tidak pantas untuk Edmund. Lexi begitu penasaran bagaimana memiliki Edmund seutuhnya, bagaimana rasanya bercinta dan saling memeluk layaknya sepasang kekasih dengan pria itu. Tentu saja dengan perasaannya yang mencintai dirinya, itu akan membuat semua khayalannya menjadi lebih indah. Saat dimana Edmund mencintainya dan hanya bergantung padanya.
Saat ponselnya bergetar, Lexi mengerutkan keningnya. Dia merogoh tas kecil miliknya. Wanita itu berdehem saat menyadari seseorang yang menghubungi dirinya adalag Marxel. Pria tua yang begitu menyayanginya sejak dia masih kecil. Namun, mengingat posisinya sekarang Lexi mengurungkan niat mengangkat panggilan itu. Dia menyetel mode silent sebelum memasukan kembali ponselnya, membiarkan Marxel menghubunginya hingga lelah.
Malam mulai larut, Lexi pikir ini saatnya dia pulang dan mendengar kabar menyedihkan dari keluarga D'allesandro. Lexi memilih untuk berjalan keluar dari bar menemukan sulit mendapatkan taxi yang lewat.
Wanita itu tidak menghiraukan beberapa pria yang menggodanya saat dia berjalan. Lexi hanya tersenyum sinis mendengar semua rayuan yang diucapkan mereka.
Saat melewati sebuah toko roti yang lampunya padam, Lexi merasa takut. Namun, dia meyakinkan dirinya bahwa di sana tudak ada apa-apa. Hanya menunggu taksi yang tidak kunjung ada membuatnya kesal, dia ingin cepat mengetahui keadaan Sopgia. Apakah dia sekarat atau sudah mati dan siap dibaringkan di bawah tanah.
Tiba-tiba saja seseorang memegang tangannya hingga menahannya untuk melangkah. Dia berteriak ketakutan, tapi seseorang yang dia yakini adalah seorang pria itu membungkam mulut Lexi dan menariknya ke sebuah gang kecil. Menubrukan punggungnha di dinding bata itu hingga dia merintih kesakitan. Rintikan hujan menambah suasana mencekam, Lexi ketakutan.
"Si-siapa kau?"
Dia bertanya saat samar-samar wajah pria yang memiliki bola mata abu itu tersinari cahaya. Garis rahang pria itu mengeras, seolah menahan amarah yang begitu besar.
"Dengar. Jika kau mencoba menyakiti Sophia lagi, maka akan aku pastikan hidupmu berakhir ditanganku," ucap pria itu mencengkram dagu Lexi.
"Apa hubungan kau dengan wanita itu?"
Lexi melihat senyuman miring itu tercetak di wajahnya. Sayang, dia memakai tudung jaket hingga sulit untuk mengenalinya. Apalagi kini kedua tangan Lexi berda di belakang tubuhnya, terjepit hingga dia merasa kesakitan.
"Aku pelindungnya," ucapnya tepat di telinga Lexi. "Anak buahku akan memburumu bahkan hingga ujung dunia kalau kau mencoba menyakitinya lagi. Mengerti?"
Tidak ingin mati sekarang, Lexi menganggukan kepalanya berulang kali. Dia menghela napas lega saat pria itu melangkah mundur dari tubuhnya setelah menepuk salah satu pipinya. Dia hilang di balik kegelapan, bahkan saat Lexi mencoba mengejarnya, pria itu tidak ditemukan di mana pun.
Dia begitu penasaran dengan pria yang menyebut dirinya sendiri sebagai pelindung Sophia.
---
ยฟEstรกs cansado de esperar, Santiago? : Apa kau sudah cukup lelah menunggu, Santiago?
Ig : @alzena2108
๐๐๐